0: Tabrak Lari dan Sepatu

38 3 7
                                    

Roda mencicit nyaring. Bau ban terbakar menyeruak menusuk hidung. Mesin berderu terbatuk-batuk. Aspal berhias jejak ban.

Dan aku, berada tepat di hadapan itu semua. Di hadapan mobil, yang hendak menyerbuku karena bersikeras melawan lampu merah.

Mulanya aku hanya melangkah ringan hendak menyebrang melewati halte bus, memakai zebra cross layaknya warga negara yang baik. Tapi, bukannya jadi jalur sederhana menuju kos—eh, malah kap mobil yang ingin mencium ususkulah yang kudapat. Aku yakin, momen ini telah terpotret indah dibuku sejarah hidupku nan singkat ini, di mana aku hampir dihantam oleh kumpulan besi jumbo bling-bling bergelinding ekstra mahal hasil foya-foya milik orang kaya. Aku sungguh hampir kehilangan pendirian saat kantung kemihku ingin pecah, menangkap adegan mobil sport merah yang mengerem mendadak di depan mataku. Juga hampir kehilangan semua uang jajan bulanan kala kresek putih belanjaan yang baru kubeli tadi terbang melontarkan isinya bila aku tidak cakap dalam hal menangkap ini dan itu. Hampir jantungan kalau saja aku punya penyakit jantung kronis.

Yang jelas, sewajarnya sebagai orang yang berpendidikan, aku jengkel hampir ditabrak.

"Woi!" seruku berdampingan bersama beberapa labrakan pada moncong mobil. "Lo buta apa?! Nyetir tuh liat ke depan dong! Lo mundur kagak?! Udah tau lampu merah, belagak asal nyelonong aja lo! Emang nih jalan milik nenek moyang lo apa?!"

Aku tidak tahan. Aku emosian. Tersungut api amarah. Tak habis pikir aku, kok bisa sih, ada orang yang mampu seenak jidatnya melanggar hukum laknat berlalu lintas? Tak tahu malu apa? Tak punya budi pekerti apa?

Daripada memikirkan ini ataupun itu, kuputuskan untuk melakukan hal yang seharusnya untuk memberi efek jera karena aku ini warga yang taat dan penuh martabat. Dan warga negara yang taat penuh martabat ini dengan lumrah menedang mobil bling-bling penyebab iritasi mata pada lampu depannya. Biar tahu rasa! Masa bodo soal si punya mobil, salah dia juga yang menyetir ceroboh sekelas buron ikan kakap.

Jendela mobil di sisi tempat duduk pengemudi berangsur-angsur turun, menampilkan wajah dipoles make-up seorang wanita yang tak kalah bling-bling dari mobilnya, yang melongok berekspresi bosan dari kendaraan tersebut.

"Hellooo, Mata Empat! Gue dari tadi diem aja, ya. Tapi lo ngelunjak. Pake acara nendang-nedang Kristie segala lagi! Kalo lecet...!" Wanita itu menggelengkan kepala, entah maksudnya apa. "Ah, whatevs! Hush, hush! Enyahlah dari hadapan gue!"

Bila kata 'mobil', 'mahal', 'milik', 'orang', 'gue', dan 'lecetin' digabungkan menjadi sebuah kalimat, seharusnya sudah cukup untuk mengguncang hidup seorang Bayu Wirna Anggara (alias aku) yang serba tidak berkecukupan ini. Tapi apa daya, ada satu—eh, tidak, dua kata yang membuatku kesal bukan main.

M-Mata Empat?! Gue? Yang benar aja! pikirku, nadi dipelipis berdeyut rasanya.

(Tak kugubbris soal perihal si Mbok yang menamai mobilnya Kristie. Kalau aku tidak dialihkan perhatiannya dengan masalah yang lebih menekan, aku pasti berpikir; menamai objek seolah mereka makhluk hidup...? Memang kurang waras, ya, nih cewek?).

Sebagai lelaki nan tegap pantas penuh wibawa, aku mencak-mencak tak terima. Aku buru-buru perbaiki bingkai kacamata dengan mencopot gagangnya dari daun telinga, menenggerkannya pada ufuk rambut tentu ingin membuktikan bahwa aku tak perlu kacamata untuk melihat. Sekali lagi aku berulah dengan menghantamkan satu kepal nan bebas dari kresek pada mesin transportasi mahalnya itu, harga diriku telah diludahi! Diludahi kubilang!

Wanita yang serupa Mbok-Mbok arisan itu memutar bola mata yang ditempeli sepasang lensa kontak biru, rambut coklat madu sepundak kepunyaannya—yang tertiup sepoi-sepoi berkat hawa panas Ibu Kota itu—tergerai padat dan terlihat kasar jika diraba. Aku jamin, rambutnya itu pasti ladang kutu. Si Mbok tanpa sebatang komentar apapun kembali ke dalam habitatnya, memutar bengis setir dan menyerobot tombol klakson, menyeru mencoba mengusir.

Heh, klakson aja terus. Aku kukuh, berkacak pinggang masih berhadapan dengan mobil. Meminta bisu sebuah pertanggung jawaban. Pertanggung jawaban yang ingin lem untuk harga diri, penghapus untuk rasa malu, dan ke mall terdekat supaya bisa beli celana baru.

(Semoga saja perasaan basah ini cuma imajinasiku saja).

Terlampau larut akan keadaan celana sendiri, aku—bisa ditebak dari jauh-jauh hari—lengah. Wanita itu menyerah mempertahankan—secuil—tata krama cara beretiket kepadaku, mendecik keras dan tiba-tiba menyalakan mesin, mundur lalu meluncur berbelok mengitari dan dengan sengaja banget menyerempetku di tengah jalan. Aku tumbang, menjerit sempoyongan dan pantatlah yang jatuh duluan pada trotoar. Alhasil, kresek putih yang sumpah adalah tali penyangga hidupku terlepas dari tangan, isinya bertebaran mengitari jalan raya.

Syok, sumpah serapah spontan kutembakan pada si Mbok arisan.

Juga, sepatu kets-ku.

"DASAR LO! NENEK KERIPUTAAAN!"

Sepatu kreditanku melayang dan-...!

PRANG!

Mataku terbelalak.

S-sepatunya... sepatunya...! Sepatunya memecahkan kaca belakang mobil si Mbok!

Mampus gue!

***

Dan karena kasus percobaan tabrak lari dan sebuah sepatu...

Bayu dan Sinta bertemu.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 01, 2016 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Between UsWhere stories live. Discover now