Teruntuk Pandu

Mulai dari awal
                                    

Tetapi jika kakak ingin tahu, aku ingin sekali masuk DKV di Stockholm University. Ketinggian, ya, mimpiku? Sayangnya jika tidak bisa digapai, aku malah ngikutin apa yang tidak aku inginkan ; menjadi mahasiswa manajemen bisnis. 

Memang aku yang pastinya hanya berceloteh "Aduh Diandra bingung" karena memang aku awalnya enggak tahu. Aku bingung. Mungkin orang berpikir kalau aku tidak bisa menceburkan diri saat forum karena memang aku terlalu bingung dan keinginanku untuk berpendapat hanya mengapung begitu saja. Pada akhirnya aku hanya memojokkan diri bersama para silent-readers-mujarab. Karena aku pikir kalau aku enggak tertarik untuk menimpali serunya forum yang membara dan lebih tertarik untuk mengerjakan orderan dari sekolah sebelah. Lumayan, siapa, sih, yang enggak mau duit buat dana usaha?

Benar, dan aku ingat kamu sangat menyukai bintang meskipun pada faktanya sekarang jarang tampak bintang-bintang di langit Jakarta. Satu saja jarang, apalagi milyaran bintang. Namun, kamu tetap sabar untuk menantinya dan menceritakan semuanya padaku. 

Yup, Berkali-kali bocah gila sebangsa Gibran, Fabian, dan Randika selalu saja memancing aku biar ngomong sepatah kata. Ya, berhubung aku lebih suka menimpali secara brutal daripada ngomong dan menimpali pendapat orang lain saat forum hukumnya haram ; lebih baik aku diam dan menghasilkan uang secara diam-diam. Bahkan sesekali aku juga mengoleksi foto-fotomu dan beragam foto aib semua siswa satu SMAN XYX yang kukenal agar galeriku lebih terlihat seperti "phone gallery goals."

Sekali lagi, saat itu aku hanya anak berusia 15 tahun yang kelewatan brutal dan memberontak serta menabung kata daripada memboros kata-kata. Bagiku kata dan uang adalah unsur yang sama dan saling berkesinambungan satu sama lain. Ya, orang juga mengecapku dengan streotype seperti "Padang perhitungan."

Tetapi, pas aku tahu alasan kenapa kakak memilih Diandra sebagai penerus dan ahli waris tunggal dari sebuah benda sakral ; terus wajahku hanya bereaksi "oh." Entah kenapa aku enggak bisa menampilkan wajah angkuh nan baper seperti Kanaya, wajah girang nan santai seperti Fabian, apalagi wajah-wajah yang over bahagia mampus seperti Randika. 

Hingga akhirnya aku mendapat sebuah cheat sheet dari Kak Salman. Katanya aku mirip sama kamu, Kak. Masak, sih? Boong, ah. Aku, 'kan, enggak suka cabut pelajaran ekonomi LM kayak kamu. 

Namun, aku merinding saat kakak bilang kalau kakak memperjuangkan aku. 

Maksudnya, aku pernah terpikir saat menjelang sertijab kalau aku benar-benar underated. Pernah aku abis dari rumahnya Kanaya terus langsung duduk di bathtub dengan pakaian ala-ala seperti sweater biru dan celana jeans. Aku nangis. Aku mikirin kenapa harus segitunya padahal aku benar-benar hanyalah anak berusia 15 tahun yang bikin orang berpikir kalau aku memanipulasi orang lain dengan apa yang kupunya ; bakatku. 

Tapi, apa yang membuat kakak memperjuangkan aku? Lagipula sepintas aku pernah menulis hal konyol di group chat seperti "aku mau loncat dari lantai dua, tapi ditangkep sama Theo James biar aku tidak mati tergenang oleh darahku sendiri."

Aku juga biasa saja. Cantik pun tidak dan aku benar-benar bukanlah sesuatu yang bisa diraih seperti yang orang lain pikirkan. Bahkan aku bukanlah sosok yang sudah pasti bakal disukai oleh orang lain. Tetapi, jika boleh jujur, aku memang seseorang yang lebih butuh kepastian dan fakta daripada orang lain yang berusaha untuk mendekatiku dan membiarkanku tenggelam diantara bahunya. 

Yang kudengar, kakak berpikir bahwa aku sudah benar-benar jadi diri sendiri. Maksudnya, kakak tahu kalau tabiatku yang kelewatan kurang ajar dengan komplikasi penuh pencitraan nan kemunafikan. Kadang mulutku tidak berhenti-hentinya berbicara sambil bersumpah serapah kala bersama Gibran atau mataku yang selalu memandang sinis secara spontan, tetapi kakak tahu bahwa aku memang seperti itu. 

Ingat kala sebuah jurit malam kamu mencoba untuk menakut-nakutiku dengan tampang menyeramkan? Aku sendiri hanya berdecak sambil memandang dengan wajah datar ; "Ini Kak Pandu, ya? Kok gantengan, sih? HAHAHAHAHAHAHAHAHAHA."

Yup, kakak mengatakan semuanya dan aku merasa aneh. Maksudku, aku benar-benar terlalu bebas dan tidak terkendali begitu saja. Bahkan orang-orang di sekitarku saja benar-benar ragu jika aku...mulai berubah. Kamu hanya bilang "Ndra, jangan biarkan orang lain mengubahmu. Mereka hanya iri padamu."

Namun, ada kalanya dibalik semua kenangan itu, aku pernah menyesal karena tidak pernah mengucapkan sepatah kata ataupun sekadar menyapa hangat. Aku merasa canggung dan...aneh.

Dan sekarang aku hanya ingin berterimakasih karena kakak benar-benar memperjuangkan Ganindra agar tetap bertahan. Karena aku tahu kalau kakak memang percaya padaku. Serta kakak juga sabar kala harus mempertahankan aku agar tidak terlepas. Kakak membuatku kuat. Kakak tau dan seperti inilah jadinya yang kurasakan. 

Hingga setelah menjabatpun, kala aku memikirkan suatu hal yang aneh ; "Kok Kak Pandu enggak, ada? Oh iya...."

Aku selalu saja membayangkanmu berdiri di hadapanku dan memberikan senyum manis yang menjadi ciri khasmu. Kadang aku selalu membuka sketchbook (yang konon tidak bisa kubeli karena kemahalan) dengan semua halaman yang sudah kamu lukis dengan quotes menarik terus kamu berikan padaku. Katanya agar aku selalu mengingatmu ketika aku membuka halaman buku tersebut lalu mencium bau buku yang khas. 

Pandu, aku terlalu banyak mengingatmu dan aku lupa akan suatu hal yang membuatku benar-benar terhalang. Ya, kupikir dunia kita tidak terhalang, namun ada sebuah penghalang yang menghalangi dunia kita, Ndu. Terkadang aku merasa bersalah karena aku tidak berusaha maksimal, tetapi saat itu kamu santai dan mengatakan "pelan-pelan karena kamu bukan mie instan."

Sangat memotivasi. Terima kasih.

Terkadang pikiranku tersempil sebuah gundukan tanah dengan buket bunga sedap malam. Bunga kesukaanmu. Kesukaanku juga. Mungkin itulah yang menyadarkanku bahwa kamu pergi.

Dan sekarang aku di Stockholm, Swedia. Aku menulis tulisan ini disela aku harus sibuk menulis thesisku. Dalam dekapanku sambil mencium bau parfum vanili yang manis lalu merasakan desiran angin malam Eropa Utara sambil membayangkan tanganmu yang hangat sedang melambaikan tangan ke arahku.

Lalu kamu tersenyum padaku, Ndu. Sepuluh tahun setelah kamu meninggalkanku dengan luapan kenangan dan pikiran bahwa aku benar-benar gila karena kamu pergi jauh dari radarku. 

Fin.

N/n : NOOOO NASA ENGGAK TEGA BIKIN PANDU MENINGGAL GITU. SUMPAH ASLINYA MAU BIKIN BIASA AJAAAAA HUAAAAA.

Jadi ini kayak loveletnya Ndra buat kakak OSIS. Jadi Pandu ini adalah kakak OSIS Seksi Bidang 8 yang menjadi pendahulunya Ndra dan Nasa bikin konfliknya berupa strugglenya Ndra buat percaya sama dirinya sendiri. Ya gitu, ah, gajelas.

Hari ini sertijab dan semuanya terasa berbeda. Entahlah.

Penuh cinta,

Nasa

5. 9. 16.

Predecessor, Successor and the LettersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang