Tawa mereka berhenti. Juna mau protes, tapi El menyerahkan tongkat kayu padanya. Laki-laki beranting hidung itu melangkah sambil ngedumel. Dia berdiri di sebelah sasaran lain, merentangkan tangannya agar tongkat sejauh mungkin.

"Di atas kepalamu dong," kata Ardela. "Kau cowok paling berani se-sektor pabrik, 'kan?"

Semua orang datang menonton. Juna pun mendengus, mengangkat tongkat dengan dua tangan tak jauh di atas kepalanya.

"Anak Penjaga! Jika kau mengenai kepalaku—"

"Iya, pasti kena." Ardela fokus membidik lewat scope, mataya sampai pegal. Lalu ia menyiagakan jari di pelatuk. "Ada kata-kata terakhir?"

Dia meyakinkan kedua tangan dan matanya. Bidik, yakin dan lepaskan. Itu yang sering ayahnya bisikkan sebelum menembak. Kerumunan pun rewel karena Ardela terlalu lama. Dia menghela napas dan menekan pelatuk.

Timah panas meluncur.

Juna menjerit, panjang dan tinggi. Kerumunan tercekat bersamaan. Ardela pun menurunkan senapannya, panik, tapi wajah paniknya perlahan berubah jadi cengiran. Bagian atas kayunya bolong terkena peluru. Itu belum tepat tapi setidaknya kepala Juna masih utuh.

Kerumunan bertepuk tangan, termasuk El. Dia tepuk tangan sambil mengangguk. Ardela hanya tersenyum awkward, belum pernah jadi pusat perhatian.

"Selamat, kau kutempatkan di pos jaga," kata El. "Matamu akurat."

"Itulah kenapa dia dipanggil eaglet," serobot Dirga. Dia melirik Ardela, datar. "Lumayan, Dik."

Tiba-tiba seseorang berlari ke tengah kemah. Itu Sagita, membawa radio sambil berteriak memanggil semua orang lalu jatuh berlutut di atas salju. Kerumunan pun berpindah. Ardela berlari, menyerobot orang-orang dan berlutut di sebelahnya.

Radionya tidak rusak, malah terdengar orang bicara. Sagita mengangkat kedua tangan, menyuruh semua orang diam mendengarkan. Itu... suara gaduh hasil kombinasi jeritan puluhan orang, langkah kaki dan sirine. Terdengar panik. Ada pula bunyi ledakan di kejauhan.

Baru Ardela mau bertanya, El menariknya berdiri dan membawanya menjauh. Dia melawan tapi dua tangan sekuat baja itu menahannya. Dirga hendak menolong tapi Juna mendorongnya menjauh.

"Apa yang terjadi?" tanya Disty, ia duduk di sebelah Sagita.

"Aksa sedang ngobrol dengan Sheryl, tiba-tiba saluran pindah ke sektor pertahanan," balasnya. "Yang terdengar hanya ini. Aku bertanya tapi tak ada respon."

Gibran menerobos. Keningnya berkerut saat mendengar bunyi sirine. "Aku tau bunyi itu! Sirine penanda malfungsi mesin pembangkit listrik. Berulang-ulang berarti darurat." Matanya memancarkan kengerian. "Itu sirine evakuasi."

"Apa maksudmu?!" teriak Disty.

"Sayang, akan terjadi ledakan sekitar lima menit lagi! Sirine itu pertanda semua orang harus keluar." balasnya. "Mesin di sektor pertahanan adalah generator utama, terbesar. Jika meledak..." Dia tak melanjutkan.

"Seluruh gedung tengah hancur," lanjut Sagita. "Itu lokasi teramai."

Di radio semua orang masih berteriak diiringi sirine. Lima detik berlalu, seharusnya kegaduhan berkurang karena orang-orang dievakuasi, tapi teriakan masih ramai. Setelah didengar lebih teliti, mereka berteriak buka sambil menggedor-gedor.

"Di sini... Lasya," katanya terengah-engah. "Aku tak punya banyak waktu. Catat koordinat ini. Jemput para penumpang HOPE II dan temukanlah padang hijau."

Sagita menarik pulpen dari saku. Dia menulis koordinat dari Lasya di tangannya, beserta semua spesifikasi wilayah. Setelah tangannya penuh, ia pun menarik tangan Gibran.

Di Bawah Nol (Book 1)Where stories live. Discover now