"Kau siapa?" katanya dengan suara kuat dan dalam. "Aku akan berhenti saat aku mau."

Laki-laki itu kembali ke lawannya. Dia hendak menendang wajahnya sampai hancur, tapi tongkat bertegangan listrik datang menghantam punggungnya. Seketika ia jatuh berlutut. Penjaga lain menyetrum pundaknya, ia pun jatuh berguling, tapi segera bangkit dan menyelengkat Penjaga yang hendak menyetrumnya lagi.

"Hey, cukup!" Dimitri menarik Penjaga itu mundur. Lalu ia menghela napas melihat El. "Kau lagi, Elvan! Mulutku sudah pegal menasihatimu! Cepat bangun!"

El mendorong tangan Dimitri dan berdiri sendiri. Dia melirik Ardela saat Dimitri mendorongnya keluar ruang makan. "Kenapa, Pak?" Dia nyengir. "Tidak mau menyetrumku di depan putri kesayanganmu ya?"

Penjaga lainnya menyuruh semua orang bubar, namun Ardela masih berdiri di sana. Matanya mengikuti ayahnya yang menggiring El keluar. Dia seketika merinding saat Chief Bara memergoki mereka berdua. Namun Dimitri mengatakan sesuatu pada Chief Bara, ia pun mengangguk dan membiarkan El pergi.

Sebelum melangkah, El menatap Ardela sejenak. Datar dan tenang. Lalu ia tersenyum tipis. Bibirnya melengkung di antara rahang tegas itu.

Jantung Ardela seakan meledak.

***

Jarum ditusukkan ke pergelangan tangannya.

Lubang jarum itu hampir selebar sedotan. Bola besi kecil yang berkedip biru meluncur dari jarum ke balik kulitnya. Orang berjas putih itu menutup lukanya dengan perban dan bilang baru boleh dibuka sejam lagi.

"Apa ini?"

"Pelacak, Nak," balasnya. "Untuk memantau kondisi tubuh kalian. Jangan dilepas."

Ardela kembali melangkah. Dia melamuni jendela balai atas yang memperlihatkan garasi. Di dalam garasi super luas itu terparkir pesawat.

Tidak setiap hari ia bisa melihat kendaraan antik itu. Pesawatnya ada dua, mereka seperti sepasang burung elang di buku Biologi kelas tujuh. Badannya kokoh berlapis besi kelabu, dua sayap membentang tegas di kedua sisi. Buntutnya berbentuk segitiga melancip ke atas, terukir tulisan Swa Bhuwana Paksa di sana berikut lambang bendera Merah Putih.

Elang besi itu sudah parkir di garasi Graha sejak 200 tahun lalu. Tak banyak kendaraan militer yang berhasil diselamatkan dari badai salju. Jadi, Graha super beruntung memiliki mereka. Meski keduanya tidak pernah beroperasi hingga hari ini.

Sebelum berangkat, semua anggota misi HOPE berkumpul bersama kerabat di garasi. Sementara barang-barang besar seperti koper, diangkut oleh caddy menuju bagasi.

"Eaglet!" seseorang datang memeluk Ardela sampai mengangkatnya sedikit.

"Dirga!" Ardela tertawa, merasa beruntung satu tim dengan cowok manis berlesung pipi ini. Tak semua orang bisa satu tim dengan sepupu mereka.

Kemudian datang dua orang bercengiran lebar. Ardela dan mereka berpelukan sambil melompat-lompat.

"Kita akan naik pesawat!" teriak Damar.

"Ya, naik pesawat!"balas Kalista. "Aku harus segera naik, ingin duduk dekat jendela di HOPE II." 

Ardela terdiam memandangi kedua sahabatnya. Belum berpisah pun ia sudah merindukan mereka. "Sampai jumpa di padang hijau, Orion's Belt."

"Hidup, Orion's Belt!" teriak Damar. Semua orang pun menoleh.

Kalista nyengir. "Da, jangan mempermalukan Del di pesawat, oke?" Lalu ia bergegas.

Ardela berbalik saat dua suara merdu memanggilnya. Dua pelukan pun datang menyambar Ardela. Ia segera memeluk erat ayah dan ibunya. Tak peduli meski orang-orang bingung melihat Penjaga—yang dikenal kejam—memeluk seseorang.

"Kau akan menginjak padang hijau, Nak," kata Dimitri sebelum melepas pelukan.

"Kita semua, Yah."

Lasya memeluk Dirga juga. "Orang tuamu pasti bangga padamu," katanya. "Jaga dirimu ya dan aku titip Ardela."

Terdengar bunyi sirine dan seseorang bicara di speaker. Katanya HOPE I dan II akan lepas landas lima belas menit lagi, semua anggota diwajibkan naik ke pesawat. Seketika tubuh Ardela merinding, membayangkan sepuluh menit lagi ia akan lepas dari kehangatan Graha dan dari orangtuanya. 

"Sampai jumpa di padang hijau."

Ardela memeluk ayah ibunya lagi. Kali ini ayahnya menyelipkan sesuatu ke saku mantel Ardela— keras, seperti segitiga dan berat—mungkin inhaler tambahan. Ia tak dibolehkan membukanya sampai pesawat mendarat.

Tidak sulit mencari tempat duduk di pesawat. Ada dua baris kursi empuk dengan rak barang di atasnya. Ardela memilih di baris kiri, dekat kaca. Damar duduk di sebelahnya.

Terdengar suara gaduh di pintu kabin. Itu Chief Bara, ia menarik seseorang dari barisan. Elvan. Dia melawan dan mendorong Chief Bara, namun setelah dibisiki sesuatu, dia mau dibawa keluar kabin.

Ardela terkejut saat Chief Bara menoleh ke arahnya. Ia pun buang muka.

"Dia dari keluarga kriminal," kata laki-laki di depan Ardela. "Baguslah, tidak jadi ikut HOPE."

"Hey, itu tidak benar," balas Ardela reflek.

Laki-laki itu naik ke kursinya lalu menoleh ke belakang. Dia membuka hoodie biru tuanya, terlihat rambut hitam lebat dan kulit porselen itu. "Ayahnya dieksekusi dan ibunya akan menyusul," katanya. "Eksekusi tuh hanya untuk pelanggaran berat."

Ardela diam. Dia bahkan tak mengerti kenapa tadi membela El. Dia tidak kenal cowok itu.

"Hai, Cantik. Aku Gibran." Dia menyodorkan tangan sambil tersenyum sok tampan.

"Kau enggak selevel dengan dia, Loser," kata Damar.

Mereka berdua bertatap sinis, Ardela kira mau saling meninju. Ternyata malah tertawa dan Damar mendorong Gibran sampai kembali duduk.

"Maaf, dia kesepian jadi agak centil."

Di sini pilot Sagita berbicara. Dua menit lagi HOPE I lepas landas. Kencangkan sabuk pengaman. Bersiaplah untuk penerbangan di ketinggian sedang selama tiga jam.

Pesawat berguncang dan perlahan bergerak maju. Ardela pun mencengkram sabuk pengaman di badannya.

"Saya direktur Argus, berbicara terakhir kalinya sebelum pesawat mengudara," katanya di speaker. "Anggota misi HOPE, kita semua lebih kuat dari badai salju, kebersamaan adalah rumah kita dan kebaikan menghangatkan jiwa kita. Jangan putus harapan. Sampai jumpa di padang hijau."

Itu semacam alinea perpisahan di Graha. Mendengarnya membuat Ardela merinding.

Tiba-tiba ia merasa sesuatu menekan paru-parunya hingga sesak. Semakin buruk saat pesawat meluncur cepat, tapi ia menutup mata dan menenangkan diri. Aku lebih kuat dari asma. Ia mengatakannya di dalam hati terus menerus.

HOPE I pun mengudara. Semua penumpang berebut melihat keluar jendela. Terlihat Graha di belakang yang perlahan menjauh.

Baru pertama kali Ardela melihat Graha dari luar, dari langit. Bangunan itu seperti tiga kotak besi raksasa yang berjajar. Gedung tengah menjulang setinggi belasan meter diatapi kubah yang berselimut salju. Dua gedung yang lebih pendek mengapitnya, parabola solar bersusun di atasnya, bergerak menangkap cahaya matahari.

Pesawat terbang melewati pagar utama. Dari sini, terlihat seperti garis hitam yang memanjang mengitari Graha. Pos-pos jaga tersebar di setiap sudut. Setelahnya, hanya ada padang salju yang luasnya seakan tak terhingga.

HOPE I telah lepas landas. Sampai jumpa di padang hijau. Sekian dari pilot Sagita.    

Di Bawah Nol (Book 1)Where stories live. Discover now