“Yah. Bayangkan saja orang-orang yang datang ke pesta itu.”

“Nyonya Hilde... Nona Mildburg... Tuan Hereweald....”

“Hereweald? Bukannya dia mucikari sinting yang menjual ibunya sendiri demi bir murah?”

“Katanya dia kehabisan stok akhir-akhir ini... semuanya diambil Űbeltat dan sang Raja.”

“Raja? Bah. Dia dan Űbeltat tidak ada bedanya.”

“Yah... sama-sama kaya, mungkin?”

***

Ayumi menghela napas dalam-dalam. Di tangannya, terdapat sebaki sarapan sang pangeran yang belum disentuh sama sekali. Roti bakarnya sudah mulai mendingin. Ia berdiri dengan ragu di depan pintu ruang baca, mencoba menangkap suara apapun dari dalam ruangan itu, tetapi sunyi senyap. Mungkin Takumi tidak ada di sini?

Diketuknya pintu ruang baca dengan hati-hati. Tidak ada jawaban. Ayumi mencoba mendorong pintu itu dengan telapak tangannya. Berhasil. Pintu itu terbuka secelah, memperlihatkan ruang baca yang masih sama seperti sebelumnya dan seorang pemuda berambut biru kehijauan duduk di salah satu kursi di dekat jendela, membaca buku. Pemuda itu menoleh ke arahnya.

“Ini sa—“

“Kenapa kau ke sini?” tanya Takumi, suaranya datar dan acuh tak acuh. Ayumi melangkah masuk ke dalam ruang baca, matanya terpaku pada pot-pot tanaman hias yang dipasang di sudut ruangan, tidak berani menatap pemuda itu secara langsung.

“Ini sarapanmu,” katanya pelan. Ditaruhnya baki sarapan Takumi di atas meja. Baki itu mengingatkannya akan pekerjaan singkatnya sebagai pelayan kafe. Takumi kembali tenggelam pada buku yang dibacanya. Pemuda itu tidak memerhatikan Ayumi sedetik pun.

Ayumi terdiam dengan canggung di tempatnya, tidak ingin meninggalkan ruang baca sebelum berbicara dengan Takumi—benar-benar bicara, bukan hanya bergumam sendiri tanpa dipedulikan oleh lawan bicaranya. Gadis itu menghenyakkan diri di atas sofa yang paling jauh dari tempat Takumi berada, menunggu. Menunggu Takumi bicara sesuatu.

Detik demi detik berjalan dalam kesunyian. Ayumi tidak tahan lagi. Bukan hanya demi persahabatannya dengan sang pangeran yang sempat renggang, tetapi juga karena roti di atas piring mulai mendingin dan mengeras. Ia harus bicara sesuatu.

“... Sarapannya.”

“Hmm.”

Ayumi menundukkan wajah. Kelopak matanya memberat. Takumi masih tidak memerhatikannya, sementara jarak di antara mereka bertambah renggang.

Pemuda itu, meskipun dalam balutan pakaian Hide yang mewah, terlihat berantakan. Rambut biru kehijauannya acak-acakan. Jas dan kemeja hitamnya kusut, dan dasi merahnya—yang seharusnya terselip rapi di balik kerah kemejanya—melingkar di seputar bahunya seperti seutas syal pendek. Kancing lengan jasnya terbuka dan celana hitamnya berkerut-kerut di bagian lutut. Takumi tidak mirip pangeran mana pun yang pernah dilihatnya. Ia justru terlihat lesu.

“M-masih ingat soal... bintang harapan?”

Kali ini, Takumi menatapnya heran. Ayumi menundukkan wajahnya lagi, pipinya memanas. Menyebut-nyebut hal kekanak-kanakkan yang sudah lama ingin dilupakannya adalah hal terburuk yang pernah dikatakannya terhadap seorang pangeran, apalagi Takumi. Ia baru akan minta maaf, ketika pemuda itu tiba-tiba berkata,

“Ya, samar-samar.”

Takumi menutup bukunya dan menaruhnya kembali ke rak. Perhatiannya teralih pada Ayumi. Gadis itu membuang muka. Wajahnya memanas sedari tadi, dan kelopak matanya memberat—pertanda akan menangis. Tidak mungkin ia menangis di hadapan Takumi.

ElementbenderМесто, где живут истории. Откройте их для себя