Tanda

3.9K 301 16
                                    

Sudah lebih dari dua jam Melisa menghabiskan waktu di perpustakaan kampus. Duduk di atas kursi dan mulai menumpuk gunungan buku di sampingnya. Beberapa kali dia diperingatkan petugas perpustakaan agar tidak menumpuk buku terlalu tinggi, hal itu bisa menyebabkan buku terlipat dan rusak. Dasar Melisa, sekali diperingatkan tidaklah cukup baginya. Esok harinya dia melakukan hal yang sama. Dan mungkin karena petugas perpustakaan sudah menyerah dalam usahanya menyadarkan Melisa dari sikap ″peduli nasib buku″, akhirnya mereka membiarkan Melisa menumpuk buku yang ingin dibacanya.

Beberapa buku yang sering dibaca Melisa tidak jauh-jauh dari literatur. Kebanyakan novel yang dibaca Melisa bercerita mengenai mahluk fantasi yang melegenda di Eropa, seperti naga, penyihir, vampir, goblin, dan manusia serigala. Mahluk tersebut tidak ada di dunia nyata, namun mereka mungkin ada di dunia yang pernah Melisa kunjungi. Jika memang itu bukan khayalan Melisa. Setidaknya Melisa meyakini keberadaan mereka di suatu tempat.

Masih jelas dalam ingatan Melisa kejadian demi kejadian yang jika ia ceritakan kepada sahabat karibnya, Bety, maka dia sangat yakin akan disarankan untuk segera memeriksakan diri ke dokter terdekat.

Semua berawal ketika Bety mengajak Melisa berkunjung ke sebuah toko antik. Lalu Melisa menemukan sebuah kotak musik yang membawanya berkelana ke sebuah dunia yang dihuni oleh demon, mahluk buas dengan mata menyala, fairy, manusia berbaju zirah, penyihir, kurcaci buluk karnivora, dan sederet mahluk anonim lainnya. Di sana Melisa berkunjung ke beberapa tempat seperti padang lavendel yang menutupi bukit bagaikan selimut alam, hutan yang dipenuhi mahluk astral, dan istana yang lebih cocok digunakan sebagai uji nyali.

Seluruh petualangan itu masih membekas jelas di ingatan Melisa, terutama kenangan mengenai pemuda berambut perak. Rufus, pangeran fairy yang meminta Melisa menjadi pendampingnya. Apakah pemuda itu benar-benar merindukan Melisa sama seperti dirinya saat ini? Melisa masih belum bisa melupakan janji yang mereka ucapkan di malam berbintang—janji bahwa suatu saat mereka berdua akan berjumpa kembali.

Terbesit penyesalan di dalam diri Melisa. Kadang dia berpikir bahwa akan lebih baik baginya menerima pinangan sang pangeran. Hidup di dalam istana megah, dilayani dan tidak perlu repot memikirkan tugas kuliah yang rasanya hampir menguras masa muda, menjadi istri yang baik dan ... mungkin mereka berdua akan memiliki beberapa anak.

Bayangan terakhir itu membuat wajah Melisa merona, segera saja Melisa mengembalikan pikirannya ke masa sekarang—masa di mana mahluk dongeng itu tidak ada di dunia.

Lelah. Melisa memutuskan meninggalkan perpustakaan yang disambut dengan keluhan petugas perpustakaan. Beruntung mereka tidak memasang palang dengan tulisan, ″Melisa dilarang masuk″. Beberapa mahasiswa yang melihat raut pasrah para petugas hanya menggelengkan kepala.

Melisa berjalan pelan melewati koridor ruang bahasa, tas ransel melekat erat di punggungnya. Rambut hitamnya dikuncir ekor kuda, dan seperti biasanya ketika dia berjalan semua mata—terutama laki-laki—tak bisa lepas darinya. Sebenarnya itu merupakan hal yang wajar. Kulit Melisa putih bersih, mulus tanpa satu pun bekas luka, sementara bulu matanya melengkung sempurna tanpa bantuan dari alat rias, dan yang lebih membuat gadis seumuran Melisa iri padanya adalah kedua pipi dan bibirnya yang terlihat merona meskipun tidak menggunakan riasan kosmetik. Dengan sekian anugerah yang diberikan Tuhan kepada Melisa, lelaki mana yang sanggup memalingkan pandangan dari Melisa?

Atau lebih tepat jika dikatakan, lelaki mana yang bisa menarik hati Melisa?

Hatinya tidak tergerak sedikit pun untuk membina hubungan cinta dengan salah satu mahasiswa yang ada di kampusnya. Tidak satu pun yang bisa membuat hati Melisa menjadi gundah gulana. Melisa sendiri bertanya-tanya, adakah sesuatu yang salah dengannya? Melisa pun tidak bisa menjawab pertanyaan semudah itu, mungkin benar apa yang dikatakan Bety: Melisa perlu berkunjung ke dokter terdekat. Jika saja ada dokter di dunia ini yang bisa memahami penyakit hati, Melisa rela meluangkan setengah waktunya untuk penyembuhan.

Arc of Sacred (Pending)Where stories live. Discover now