Frisca entah kenapa ikut tersenyum kecil, lalu terperanjat saat merasakan Luke menarik dagunya lagi. Pemuda itu mendesah kecil lalu memegangi pipi gadis di hadapannya dengan kedua tangan. Dengan lembut, Ia menggerakkan pipi Frisca sedemikian rupa hingga ujung-ujung bibir gadis itu tertarik ke atas, membentuk senyuman yang disengaja.

Luke berucap pelan, "Saya tahu kamu gadis yang kuat. Saya mungkin hanya sedikit mengerti apa yang terjadi. Apapun itu, mungkin memang tak ada hubungannya dengan saya. Yang saya minta tetaplah jadi Ica yang setegar karang. Dan kalau kamu memang butuh bahu seseorang untuk menangis, jangan anggap saya tak kastamata,"

Setelah itu Luke melepasakan tangannya dari wajah Frisca, berdiri dan sekali lagi mengusap rambut gadis itu.

Sesaat Frisca terperangah saat dilihatnya punggung Luke menuju kearah pintu, lalu entah apa yang mendorongnya Ia berkata tertahan.

"Tuan.. betul-betul Ilu?"

Luke menghentikan langkahnya lalu berbalik, sejurus kemudian mengerutkan kening seraya mengangguk, "Itu.. nama pemaksaan dari nenek buyut saya, yang sudah begitu renta saat saya kecil. Jadilah dengan keadaan alat bicaranya yang sudah tak jelas, Ia hanya bisa menyebut nama saya dengan panggilan itu." Pemuda itu terdiam, menerawang dalam kenangan, mengingat berapa lama Ia tak dipanggil dengan sebutan itu.

Tak lama Ia menoleh ke arah si gadis penanya, "Kamu.. tahu darimana?"

Frisca memainkan jari-jarinya dengan ragu. Lalu menghela nafas dan berdiri. Ia berjalan ke arah lemari di sudut kamarnya dengan begitu limbung, hingga Luke bersiap, was-was jika gadis itu akan ambruk sendiri.

Entah apa yang mendorongnya melakukan ini. Frisca membuka laci dalam lemari tadi, mencari-cari sebuah benda yang sudah begitu lama berada padanya. Akhirnya. Ia terdiam sejenak saat merasakan lekukan benda yang terasa terlalu familier dalam genggamanannya. Bros Ilu. Yang Ia rasa harus segera dikembalikan pada pemilik aslinya.

Luke menatap Frisca yang tengah menutup pintu lemari lalu kini berjalan tersaruk-saruk setangah buta ke hadapannya.

"Tuan pernah kehilangan bros keluarga?" Tanya gadis itu tiba-tiba, lalu mentap Luke dengan selaput beningnya yang dikabuti sisa air mata.

"Kehilangan? Bros?" Luke mengernyitkan dahi. Ia menggeleng sendiri.

Seluruh dunia tahu bahwa gelengan umumnya berarti 'tidak', jawaban yang membuat Frisca sedikit frustasi.

"Tuan tidak pernah merasa menghilangkan bros ini?" Frisca membuka telapak tangannya, memperlihatkan bros dengan lambang keluarga Hemmings disana. "Tidak pernah menghilangkannya bersama seorang gadis kecil yang tengah menangis dulu sekali?" lanjutnya mendesak.

Lalu tak tahu bagaimana ceritanya, Luke menggeleng dengan pasti, "Saya tak pernah menghilangkan bros keluarga."

"Tidak jugakah pada gadis bodoh dari desa Apit yang selama sepuluh tahun terus menanti dan mencari-cari?" ujar gadis itu sedikit emosional.

Luke tampak terhenyak beberapa saat dan jawaban pemuda itu tetap sama, "Tidak pernah."

Frisca mendesah, merasa hatinya mencelos. Ternyata, Ilu yang selalu menghantuinya selama itu tak pernah repot-repot mengingatnya. Gadis kecil yang tak punya apa-apa. Sepuluh tahun itu sia-sia juga ya. Batinnya sarkatis. Ia bertanya dalam hati, kenapa pula nampaknya hari ini semua kesialan cinta di dunia harus menubruknya tanpa jeda?

Gadis itu memjamkan mata sebentar, mencari-cari sisa kekuatan dalam kegelapan disana, lalu membuka matanya lagi. Masih tidak mengerti. Ia melangkah pelan ke arah Luke, meraih tangan tuan mudanya dan menjejalkan bros keramat itu disana.

Love Command [5SOS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang