2 | Kau Tak Berharga

5.1K 336 17
                                    


Evan sedang mengintip kartu yang ia pegang. Suasana di dalam sebuah rumah judi yang letaknya berada di pinggiran desa merupakan tempat tongkrongan lelaki ini. Setiap hari ia selalu berada di rumah judi, siang maupun malam. Tangannya dengan lihai melihat isi kartunya. Hari ini dia menang banyak. Dan karena menang, maka ia tergoda untuk bermain lagi dan lagi. Namun yang terjadi terkadang adalah dia tak bisa menahan diri dari godaan untuk terus bermain sekali pun peruntungannya sudah habis. Akibatnya ia kalah, kalah, kalah dan kalah lagi. Hutangnya sudah menumpuk. Ia mau kerja, kerja apa? Pendidikannya saja rendah, satu-satunya harta yang ia punya adalah harta yang dibawa oleh istrinya yang sekarang sudah tiada. Tak ada lagi harta. Tak ada lagi istrinya. Dan anaknya? Bahkan ia sama sekali tak menganggap Langit sebagai anaknya.

Bagi Evan hidupnya telah berakhir dan semangat hidupnya sudah pergi semenjak kepergian Nia. Dia masih teringat saat-saat bersama Nia. Tiap malam ketika mabuk ia selalu memanggil-manggil mendiang istrinya. Evan masih berduka, masih mengingat tentang kebahagiaan yang ia peroleh dulu. Hidup memang singkat. Begitu juga kebahagiaan yang ia rasakan bersama Nia.

Semuanya salah Langit. Sebuah pelarian dari rasa keputus-asaan yang terus menghantuinya. Dia tak ingin lagi melihat Langit, atau kalau dia melihat anak itu ia ingin mencekik anak itu sampai mati. Gara-gara Langit, semua gara-gara Langit. Dia harus mati!

Tapi apakah yakin Evan mampu membunuh anak itu? Setidaknya sampai sekarang cuma niat tanpa tindakan. Beberapa kali ia bertemu dengan anak itu sedang berada di rumah pohon, bahkan kedua mata mereka bertemu. Langit tersenyum bahagia tetapi tidak bagi Evan. Ia meludah, bahkan ketika anak itu mendatanginya dan memanggilnya "ayah". Evan menampar anak itu dan memukulinya. Kalau saja Sarah tak melihat itu pasti Langit akan menerima yang lebih lagi.

"Biadab, anakmu sendiri kamu pukuli?!" bentak Sarah.

"Dia bukan anakku!" bantah Evan.

Tersadar dari lamunannya Evan membanting kartunya. Tampaklah kartu Jack dan As sekop terbuka. Semua lawan-lawannya pun mengeluh. Mereka membuang kartu-kartu mereka. Evan kali ini menang. Semua chip yang ada di atas meja ia ambil.

"Mau main lagi?" tanya Evan.

"Cukup, aku sudah bangkrut," jawab salah seorang lawannya.

Evan tertawa puas. Setidaknya ia bisa membayar bunga hutangnya. Dengan langkah mantab Evan menuju ke kasir untuk menukarkan uangnya. Penjaga kasir kemudian menghitung lalu menyerahkan uangnya. Evan mengambil uang tersebut lalu meninggalkan rumah judi.

Malam seolah menjadi selimut. Gelap dengan bintang-bintang bertaburan di langit membentuk gugusan bernuansa seni alami. Angin malam berdesir membisikkan hawa kegelapan yang dingin menusuk. Lampu-lampu minyak dinyalakan di depan rumah-rumah yang ditemui oleh Evan ketika ia berjalan di jalanan desa. Tujuannya tentu saja ke tempat Seno. Seorang yang boleh dibilang bos preman. Menguasai semua tempat maksiat yang berada di desa dan juga beberapa tempat di perkotaan.

Evan menoleh kiri dan kanan. Sekali pun ia bukan cenayang, tetapi perasaannya mengatakan bahwa ia diikuti. Apalagi dengan membawa uang yang jumlahnya tidak sedikit pastilah rasa kekhawatiran itu ada. Botol bir yang ditentengnya mulai ringan karena separuh isinya sudah ia tenggak. Mabuk sudah menjadi kebiasaannya sejak lama dan ia sudah tak peduli lagi sekali pun dengan kondisi mabuk ia sering membuat orang-orang takut dengan tingkahnya. Sebab ketika Evan mabuk, ia lupa apapun. Bahkan hampir selalu perbuatan-perbuatan yang tidak menyenangkan seperti melempari rumah orang lain dengan batu, membuat kerusuhan selalu dilakukannya ketika mabuk. Bagaimana dengan aparat keamanan? Aparat keamanan yang ada di desa ini tak banyak. Hanya ada dua orang dan itu pun sudah sering menangkap Evan dengan alasan yang sama. Dua orang tak akan mampu untuk melindungi semua orang yang ada di desa. Bahkan dua orang petugas ini tak bisa berbuat banyak ketika harus berhadapan dengan Seno ketua preman.

Sayap-sayap Langit #wattys2016 [Complete]Where stories live. Discover now