chapter 2

2.2K 467 256
                                    

Chapter 2

Netta terbangun tepat pukul dua dini hari. Pendingin yang sedang menyala seakan menusuk tulang. Ia merapatkan selimut yang tengah menutupi dirinya.

Dipandangnya sekeliling. Lampu sengaja diredupkan agar penumpang dapat tidur dengan nyenyak. Entah mimpi buruk apa yang membangunkannya, tapi ia yakin, ia tidak akan bisa tidur lagi.

Netta menoleh kesamping di mana Luke tengah tertidur pulas. Kepalanya tersandar pada jendela pesawat. Hanya langit berwarna indigo dan serabut-serabut awan yang terlihat. Diafragmanya teratur. Luke bagaikan malaikat dengan wujud manusia.

Mengapa ia bisa begitu sempurna?

Sepasang headset terjatuh di bahunya. Sepertinya terlepas ketika ia sudah terlelap. Lelaki itu masih sama seperti dulu-benar-benar sama. Kebiasaan ini masih dipeliharanya sampai sekarang. Tidak heran jika baterai ponselnya lebih cepat habis dari manusia normal lainnya; lagu selalu terputar dan ia tidak pernah mematikannya, bahkan ketika ia tertidur.

Netta mengambil lalu memasangkan kembali benda tersebut ketelinga kiri Luke. Penasaran, ia mengambil headset yang satunya dan memakainya di telinga kanan. Ia sempat terkekeh sebentar, ada lagu Moments di ponselnya?

Netta memejamkan matanya. Diiringi alunan lagu yang mengalir di telinganya, ia berusaha untuk kembali terlelap. Bukan karena alasan apa-apa ia menyandarkan kepalanya di pundak Luke; hanya ingin. Mungkin ia rindu dengan kenangan mereka yang sudah pasti tidak bisa diulang kembali.

Luke membuka matanya perlahan-lahan. Ia tahu apa yang sejak tadi Aquanetta lakukan. Hembusan nafasnya berubah menjadi gugup. Jujur, tidak ada perempuan lain yang mampu membuatnya salah tingkah seperti ini. Hanya Netta.

Seakan ingin larut dalam memori masa lalu, Luke memiringkan kepalanya-menempelkan pipinya pada puncak kepala Aquanetta.

Kepingan puzzle di otaknya mengembara jauh pada masa lalu. Mereka seakan kembali pulang ke rumah. Jauh memang. Tapi ketika sampai, rasa penat seakan hilang tak berbekas.

Karena cinta adalah rumah terbaik untuk kembali.

---

Wangi kopi adalah alarm bagi Luke Hemmings. Ia mengucek kedua matanya yang sedikit silau karena diterpa sinar matahari dari samping.

"Selamat pagi, Luke Robert Hemmings." Netta menyapanya dengan senyuman yang mengembang. Disodorkannya secangkir black coffee ekstra es pada lelaki di sampingnya. "Kejutan kecil buat lo."

"Thanks." Luke menyeruput kopi hitamnya. "And good morning to you too."

Netta membahas tentang betapa bodohnya wajah Luke saat baru terbangun tadi. Keduanya tertawa begitu lepas. Semuanya terasa tanpa beban.

Langit lebih terang dibanding beberapa jam yang lalu. Ponselnya menunjukkan angka 11:00. Luke mengambil sesuatu yang terselip di tempat duduknya.

"Lo ngapain?" tanya Netta sambil memicingkan mata.

"Bentar," ia masih sibuk mencari sesuatu di tempat duduknya. "Nah, dapet!"

Sebuah sketch book terangkat di tangannya. Luke kemudian mengambil pensil dari kantung jeansnya. "Gue mau gambar wajah lo, boleh?" tanyanya dengan suara yang pelan dan meneduhkan.

Sekeras apapun Netta mencoba, keterkejutan di wajahnya tetap tak bisa disembunyikan. Ia lalu mengangguk.

"Jangan gerak, ya. Tahan kayak gitu." Luke memiringkan badannya, menaikkan satu kaki dan mulai menorehkan garisan-garisan di atas kertasnya.

"Sampai kapan?"

"Sampe gue gak ganteng lagi."

Netta mengerucutkan bibirnya sebagai tanda permusuhan.

Setelah lima belas menit menggambar, Luke menutup sketsanya.

Netta mengernyit. "Loh, kenapa?"

Luke menggigit ujung pensilnya dengan wajah yang kelihatan sedang berpikir keras. "Susah gambarnya, Nett."

"Kok susah?"

"Abisnya lo cantik banget."

Untungnya Luke langsung menunjukkan hasil gambarnya sebelum Netta mati kutu karena tidak tahu harus menjawab apa.

"Mirip banget!" Netta mengagumi gambar yang dibuat oleh Luke. "Emang berbakat, deh."

Yang dipuji hanya mengulum senyumannya.

Setelah menghabiskan waktu untuk berdebat tentang sesuatu yang sama sekali tidak penting, mereka baru sadar jika perjalanan tinggal tersisa empat jam lagi

"Nonton, yuk." Ajak Luke sambil mengutak-atik movie list pada layar yang menempel pada bangku di depannya.

"Itu tawaran atau paksaan?" tanya Netta karena Luke tahu-tahu sudah menyetel film Sherlock Holmes.

"Dua-duanya. Tergantung lo merasa yang mana yang cocok. Udah nonton film ini?"

Netta mengangguk. "Udah. Yang Game of Shadow juga udah."

Luke membenarkan gulungan headset yang kusut sambil mendumal. "Padahal gak gue apa-apain. Kok bisa kusut sendiri, ya?"

"Coba lo tanya Holmes." Canda Netta sambil tertawa kecil.

Setelah merasa selesai dengan urusan kabelnya, Luke kemudian memasangkan sebelah headsetnya ke telinga Netta. "Enjoy the movie."

Luke menoleh kembali. "Bentar," tangannya bergerak untuk menyingkirkan anak rambut yang terselip di dekat headset yang ia pasangkan tadi. "Nah, udah."

Ini adalah pertama kali dalam hidupnya di mana Luke tidak mengikuti alur film Sherlock Holmes. Sama halnya dengan Luke, Aquanetta pun begitu. Mereka tahu jika waktu semakin menipis tiap detiknya, namun keduanya malah memilih diam alih-alih mengutarakan pesan yang selama ini terpendam selama enam tahun.

Mengapa Netta begitu egois dan bersikukuh untuk memutuskan hubungan mereka saat itu? Mengapa Luke tidak berusaha untuk mempertahakankannya waktu itu?

Selama dialog antara Dokter Watson dan Holmes berlangsung, selama itu pula mereka terdiam. Waktu dua jam seakan terbuang sia-sia. Sesekali mereka tertawa karena kelakuan konyol detektif jenius itu, lalu terdiam lagi dengan aura canggung yang menyelimuti.

Pilot baru saja mengumumkan bahwa pesawat akan mendarat di bandara sepuluh menit lagi. Beberapa detik yang lalu, makan siang baru saja berlalu. Setengah jam yang lalu, film detektif itu pun sudah habis.

Saatnya berpisah.

Untuk yang kedua kalinya.

Luke dan Netta mengencangkan sabuk pengaman mereka untuk persiapan pendaratan pesawat. Telinganya lagi-lagi berdengung. Kali ini Luke yang menghampiri Netta dengan menggenggam tangannya kuat-kuat.

Ia memberikan isyarat. "Close your eyes and everything is gonna be alright, okay? I'm here for you, I promise."

Netta mengangguk samar. Begitu roda bagian dalam pesawat menyetuh permukaan aspal, ia makin mengencangkan pegangannya pada Luke.

"Luke, gue takut."

Ia mengusap telapak tangan Netta dengan lembut. "Gak apa-apa."

Gue yang sebenarnya lebih takut, Netta.

Karena setelah kita keluar dari pesawat ini, kita akan kembali menjadi dua orang yang gak saling mengenal. And I hate to admit it that I'm...

Still in love with you.

***

WAH PUSING JUGA YA KEBANYAKAN WORKS YANG BELOM SELESE

DAH AH

AquanettaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang