Perang Batin

Mulai dari awal
                                    

“Maafkan Mama dan Ayah yang membuatmu jadi trauma. Tapi, percayalah perjalanan cinta setiap anak manusia sudah punya jalannya masing-masing.” Ucap Mama bijak. “Sudahlah, pergilah tidur. Ini sudah terlalu larut malam. Besok kita lanjutkan lagi obrolan ini.” Sambungnya seraya melirik jam weker di meja belajarku yang persis berada di samping tempat tidur. “Good night, Sayang.” Ucapnya sembari mengecup dahiku dengan lembut.

“Good night, Mom.” Balasku lirih mengiringi kepergiannya dari kamarku.

Kurebahkan kembali badanku di atas pembaringan. Fikiran-fikiran yang tak menentu itu kembali memenuhi otakku. Ku coba menghalaunya dengan membaca buku, bermain game dan push up, tapi tak ada satupun yang berhasil. Akhirnya kupasrahkan otakku bermain-main dengan imajinasinya, biarkan saja ia lelah, dengan begitu aku bisa cepat tertidur.

“Hmm... Rana pasti diapa-apain sama suaminya. Hahaha... buta-buta begitu, kan, dia lelaki normal. Kucing mana, sih, yang nolak dikasih ikan? Hahaha...”

“Bener, tuh! Terus kamu berbuat apa? Apa kamu mau diam saja? Dasar laki-laki bodoh!”

Teriakan-teriakan di kepalaku membuatku jengah dan marah. Kuputar badanku ke samping kanan, semoga dengan begitu bisikan-bisikan itu bisa dihentikan.

“Heh! Kamu tuh nggak berhak mengganggu keutuhan rumah tangga orang lain. Kesempatan kamu untuk melakukan itu udah lewat, bro. salah siapa dulu sok-sok nggak peduli gitu, ya udah sekarang terima nasib saja. Nggak usah pake-pake ingin memperjuangkan segala. Itu perjuangan yang salah, tau!”

Aku memikirkan apa yang baru saja dikatakan bisikan lain di otakku. Kurasa bisikan itu ada benarnya. Aku terlalu mengikuti perasaan hatiku dan telah melakukan hal yang salah pada Ravi. Padahal siapa tahu ternyata memang laki-laki itu yang tepat untuk Rana, dan ternyata Rana juga bahagia bersamanya. Ahhh.... Aku menyesal telah mendikte nasib rumah tangga mereka!

“Woiii... Apa yang kau sesali, Boss? Kau yang berhak untuk memiliki Rana, Rana mencintaimu dan tidak semudah itu ia akan mencintai orang lain. Kamu akan menjadi lelaki yang paling tega di dunia jika terus membiarkan Rana terikat dengan lelaki buta itu. Bisa apa lelaki itu, hah? Rana akan semakin tersiksa. Rana milikmu. Rebut kembali.”

“Iya, kamu harus rebut dia lagi. Lalu, kalian akan hidup bahagia selamanya.” Suara lain ikut memanas-manasi.

“Apakah dengan merebut orang yang kita cintai dari pelukan orang lain menjamin kebahagiaan kita untuk selamanya? Bagaimana kalau pada akhirnya, ternyata semakin banyak hati yang terluka, apakah kita berdua akan tetap bahagia?” Tanyaku pada diri-sendiri seraya menatap langit-langit.

Diam. Hening. Senyap.

“Kenapa tidak ada yang mau menjawabku lagi?” Bisikku pelan. Putus asa.

“Entahlah, pertanyaanmu membingungkan. Yang jelas sekarang Rana dalam bahaya, kamu tak mau, kan, kegadisannya direnggut oleh lelaki buta itu? Segera telpon dia. Ganggu aksi laki-laki buta itu jika kamu tidak ingin menjadi orang yang paling menyesal sedunia. Sekarang!” Perintah suara dari sudut hatiku.

“Jangan! Tidak baik mengganggu orang yang sedang istirahat. Kamu juga tidak berhak melakukan itu.” Suara yang lain menepis niatku.

Ahhhhh.... Aku pusing sekali. Otak dan hatiku penatnya bukan main. Suara-suara itu masih terdengar riuh di telingaku. Ada yang memanas-manasi, tapi ada juga yang mencoba menghalangi niatku dan mengingatkanku untuk tidak merusak mahligai rumah tangga orang lain. Aku bingung untuk mendengarkan suara hati yang mana. Kalau begini terus, bisa-bisa aku dimasukkan ke rumah sakit jiwa.

Dengan tangan gemetar kutekan nomor kontak Rana. Aku memutuskan untuk menghubunginya malam ini dan memperingatkan betapa berbahayanya berdekatan dengan laki-laki itu. Aku takkan membiarkan laki-laki itu merebut kehormatan gadisku. Aku harus menyelamatkannya.   

Sampai panggilan ketiga teleponku belum diangkat juga. “Aduh, Rana kamu baik-baik saja, kan?” Desisku cemas bukan main. Please, angkat telponnya biar aku tenang.” Kataku penuh harap dengan telepon genggam yang masih menempel di telinga kiriku.

Ku-dial lagi nomornya untuk yang kelima kalinya, sebentar kemudian terdengar suara tut-tut-tut di seberang sana, teleponku di-reject. Aku yakin ini pasti kerjaan suaminya. Rana tak akan menolak telepon dariku. Aku yakin itu.

“Brengsek.” Seruku marah sambil membanting hapeku ke atas kasur.

Tak ada yang bisa kulakukan lagi selain berdoa agar hal yang tidak diinginkan itu tidak akan pernah terjadi. Aku mencoba memikirkan hal-hal yang bisa menenangkan hatiku. Aku harus selalu yakin, Rana hanya mencintaiku dan tak akan sebodoh itu menyerahkan hati dan dirinya pada orang lain, meskipun orang lain itu suaminya sendiri.

Sekarang aku harus tidur karena besok aku ingin menjumpai Rana dan memastikan semuanya baik-baik saja.

***

Bukan Siti NurbayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang