When Your Gone

1K 25 1
                                    

Aku menatap keluar jendela kamarku, salju memenuhi penglihatanku. Di luar sana begitu putih, tertutup salju tebal bulan Januari. Aku menekuk lututku, memandang kosong dengan pikiran yang penuh hanya dengan satu orang.

Apa kalian pernah merasakan kehilangan tempat untuk bersandar? Aku tengah merasakannya sekarang. Efek dari perasaat tersebut sangat hebat, membuatku limbung berdiri di atas kakiku sendiri. Aku tidak tahu ini karena aku tidak bisa berdiri sendiri atau karena aku telah terbiasa ditopang olehnya. Oke, intinya sama, aku tidak bisa berdiri tanpanya. Aku membutuhkannya, aku terbiasa dengan dia yang berada dalam jangkauanku. Dan sekarang... Dia pergi tanpa kabar. Aku tidak bisa menghubunginya. Dia hilang seperti ditelan bumi.

Ia menghilang begitu saja tepat pada hari ketiga setelah aku menyatakan perasaanku padanya. Ya, aku menyatakan perasaanku padanya. Aku mengatakan aku telah memiliki perasaan yang lebih dari kadar sebelumnya sebagai teman terhadap dirinya. Saat itu, ia tidak mengatakan apa-apa selain berkata bahwa ia terkejut.

Padahal, aku telah memintanya untuk tidak pergi dariku. Aku sudah bilang padanya kalau aku hanya perlu mengatakan perasaanku, aku hanya perlu ia mendengarkan tanpa pelu paham atau membalas. Aku hanya... Ingin dia tahu.

Apa aku salah? Sebenarnya tidak, ya kan? Aku hanya mengungkapkan apa yang kurasakan. Tapi pada kenyataannya adalah, aku menyalahkan diriku sendiri karena telah mengatakan perasaanku padanya, karena aku mengatakan perasaanku, dia pergi. Bukan aku yang salah, tapi dia yang kejam, ya kan? Aku mohon kali ini kalian berpihak lah padaku. Katakan bahwa aku tidak salah, tapi Nicholas lah yang salah. Well, aku rasa aku mulai tak waras.

Nicholas tanpa ia sadari telah membuatku merasa butuh padanya. Setiap kali aku terjatuh, dia lah yang membantuku untuk bangkit dengan caranya sendiri. Dia bukan pria yang hangat kalau kalian pikir dia hangat. Dia adalah pria yang dingin, ia tidak banyak bicara, ekspresi sangat jarang bermain di wajahnya. Bahkan melihatnya tersenyum kadang adalah hal yang langka. Memangnya, kalian pikir, siapa yang tidak menaruh hati pada teman pria kalian jika pertemanan itu sudah terjalin selama dua tahun di antara kalian? Ah, aku rasa aku tahu siapa yang tidak akan menaruh hati pada temannya biarpun telah bersama-sama selama dua tahun. Nicholas. Ya, dia orangnya. Karena aku yakin... Dia tidak memiliki sedikit perasaan pun padaku.

"Carolline!" aku mengerjap mendengar suara melengking yang tidak enak didengar. "Demi Tuhan, Carolline! Ini kali ke sepuluh aku memanggilku dan kau baru terseret dari lamunanmu? Hell yeah." Annabelle memutar matanya jengah, ia bertolak pinggang.

Aku menarik napasku, kembali melihat keluar jendela kamar. Aku tidak ingin memikirkan bagaimana bisa temanku yang berisik ini masuk ke kamarku, meskipun aku telah menempelkan tulisan besar-besar di daun pintu kalau aku tidak ingin diganggu.

"Tidak ada kabar darinya?" aku diam. Aku tahu siapa yang dimaksud oleh Annabelle, tapi aku terlalu enggan untuk menyahut. "Apa kau dengar aku? Jangan bertingkah seolah kau bisu dan tuli." Annabelle kembali berkata dengan nada jengkel.

Aku menoleh padanya, menatapnya datar. "Kau tau jawabannya tanpa aku harus menjawab pertanyaanmu." ucapku pelan. Aku memeluk kakiku yang diteku, memeluknya erat saat aku merasa ngilu di hatiku. Ini sudah dua minggu. Aku tidak tahu dia ada dimana, yang aku tahu saat ini hanyalah... Ia pergi karenaku.

"Carolline," nabelle duduk di hadapanku. Ia menggenggam tanganku, genggamannya terasa hangat. "Kau tau, ini bukan salahmu. Nicholas pergi karena ia ingin, bukan karena kau apalagi perasaanmu terhadapnya." lanjut Annabelle, ia mengeratkan genggamannya pada tanganku.

Aku tersenyum sinis. "Aku merindukannya." aku berucap dengan bibir bergetar. Entah kenapa aku merasakan dorongan kuat untuk menangis.

"Aku tau, Carolline. Kau telah melakukan hal yang benar, kau sendiri 'kan yang bilang kalau, belum tentu ada lain kali untuk mengatakan yang sesungguhnya?"

"Aku merindukannya...." aku mengulang ucapanku. Mengabaikan apa yang dikatakan Annabelle. Aku menatapnya dengan pandangan buram. Oh, sejak kapan airmata ini menggenangi pelupuk mataku? Sial.

"Kembali lah seperti biasa, Carolline." Annabelle berucap lirih, ia menarikku kedalam pelukannya.

Tidak bisa. Aku tidak bisa seperti biasa saat aku merasa tidak baik-baik saja. Aku merutuki diriku sendiri sejak hari pertama ia pergi. Aku merutuki diriku yang sebegitu hancurnya saat aku tidak bisa menemukannya dalam jangkauanku.

Dia adalah tempatku pulang, dan saat ia tidak berada di sana, aku tidak tahu harus pulang kemana. Pada siapa.

Apa Nicholas tahu kalau ia menghilang seperti ini menimbulkan efek yang hebat untukku?

Aku begitu bahagia saat bulan Januari datang, tapi kali ini tidak. Bahkan Januari tidak bisa membuatku kembali biasa.

"Aku merindukannya, Annabelle. Nicholas...." ujarku di sela-sela isakanku. Aku menangis dengan hebatnya setelah dua minggu hanya diam dan mematung. Annabelle menepuk-nepuk punggungku pelang.

Nicholas, apa kau tahu kalau kau telah berpengaruh besar untukku?

Nicholas, apa kau tahu aku begini saat kau pergi, meninggalkan aku sendirian?

Nicholas, apa kau tahu aku telah menyukaimu dengan kadar yang sudah tidak dapat kuhitung?

Nicholas, apa kau tahu....

Cerita Sekali AbisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang