Satu

219K 10.6K 87
                                    

Hari itu ibadah perayaan Natal Koum Christian University digelar.

Cuaca bulan Desember tidak kenal kompromi. Hampir semua jemaat mengenakan pakaian tebal. Satu-satunya yang membangun kesan hangat adalah lampu hiasan LED oranye yang, layaknya tanaman parasit, mengitari tanaman serta pohon natal di pelataran kapel.

Obrolan ringan menemani langkah para mahasiswa masuk ke dalam kapel.
Para mahasiswa penyambut tamu menyalami mereka dengan senyum ramah. Di dalam sana lampu mati. Hanya panggung yang disorot lampu yang terang dan terfokus, menyinari pasukan paduan suara yang terlihat seperti malaikat surgawi yang anggun dalam balutan pakaian serba putih. Lantunan lagu Natal berputar manis memenuhi ruangan, menjadi latar obrolan ringan para jemaat sebelum acara dimulai.

Pukul 7 tepat, liturgos membuka acara. Ia mempersilakan satu-persatu sosok berpengaruh universitas bergengsi itu untuk menyampaikan kata sambutan.

"Kepada Pendiri Koum Christian University, Bapak Kevintra Ronald Sabatier, waktu dan tempat dipersilakan."

Saat itu, Arya menjadi satu-satunya di kursi jemaat yang bangkit berdiri. Ia mengundang kernyitan dalam dari beberapa orang yang mengenalnya di fakultas kedokteran serta fakultas ekonomi dan bisnis.

Di podium, Arya berhadapan dengan beberapa wajah yang kesulitan menyembunyikan pertanyaan mereka.

"Selamat malam," pemuda itu mengawalinya dengan penuh percaya diri dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, menatap audiens tepat di mata mereka dengan hormat. Kemudian ia tersenyum. "Pak Kevintra Salbatier berpesan pada saya untuk menyampaikan betapa beliau sangat menyesal berhalangan menghadiri perhelatan yang beliau tunggu-tunggu sepanjang tahun ini. Meskipun begitu, beliau menunjuk saya selaku putranya untuk menyampaikan kata sambutan yang beliau sudah siapkan sendiri."

Helaan nafas serentak terdengar dari bangku jemaat. Perbincangan lemah pecah. Tidak ada yang peduli bahwa Kevintra Sabatier absen. Satu dengan yang lain sibuk membahas bagaimana pemuda di depan sana adalah anak sulung dari pendiri sekaligus pemilik universitas peringkat dua nasional itu, dan dengan demikian, juga Salbatier Holdings beserta seluruh anak perusahaannya.

Kalimat sambutan Arya berakhir tidak tersimak terlepas dari betapa menggugahnya pria itu menyampaikannya.

Saat Arya mencapai akhir dari penuturannya, orang-orang telah selesai dengan pemindaian maya mereka mengenai latar belakang pria itu. Putra sulung keluarga Salbatier, gabungan dari Sabatier dan Alba. Ia berarti anak sulung yang itu yang dikabarkan sedang memimpin sebuah perusahaan di samping kesibukannya sebagai mahasiswa strata kedua fakultas bisnis setelah secara resmi menyandang gelar dokter beberapa bulan lalu.

Tepuk tangan yang terdengar seperti riak yang ragu dan tidak serempak, mengisi ruangan ketika pemuda 26 tahun itu menuruni panggung. Mengabaikan tatapan terang-terangan yang mengiringi langkahnya ke bagian belakang dan tergelap dari kapel, Arya kembali ke tempat duduknya di samping putri tunggal Tirtajana, Rachel Helena.

"Apa poin dari menyampaikan kata sambutan kalau mereka berhenti menyimak setelah kalimat pembuka epik lo itu?" tanya Rachel datar.

Arya tidak menjawab pertanyaan Rachel, tapi dia menyesali bahwa acara hari itu memang tidak ada poinnya.

Jemaat gagal mengikuti acara. Sesekali orang-orang mencuri pandang ke arahnya dan beberapa menoleh seluruhnya ke belakang. Mereka berada di sana secara fisik, tapi sibuk mendapat gambaran sejelas mungkin dari sosok putra sulung Salbatier yang tadi berdiri di podium, bagaimana perawakannya, selera fesyennya, caranya berbicara, dan bagaimana ia begitu tampan dan kaya, tapi juga gemar menyamarkan diri hingga saat ini ia duduk di bawah kegelapan. Dan mereka tidak juga berhenti bahkan ketika khotbah dibawakan oleh Pendeta Maria setelah Pendeta Christopher diberitahukan berhalangan hadir.

She who Breaks Generational CursesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang