2. Fragmen Kenangan

Start from the beginning
                                    

     Belum sempat tangan Leo meraih benda itu, Arkan sudah lebih dulu mengempas tangan Leo untuk tidak menyentuhnya.

     "Ouch, ngelamunin apa sih lo?!"

     "Ngelamunin Albert Einstein lagi buat anak!" celetuk Roni garing, begitu melihat tatapan ketus dari Arkan, lelaki itu meringis dan berhehehe ria. "Iya, Ar, ampun. Buruan lagi ganti baju seragam Ar, bentar lagi Bu Miyati masuk."

    Berhubung jam olahraga sudah habis, dan mereka diberi waktu setengah jam untuk istirahat dan ganti baju sebelum pergantian jam selanjutnya.

     Arkan bangun dari kursi, mengambil seragamnya yang diletakkan di belakang kursi. Dia lantas berjalan keluar kelas sambil merutuki kenangan di kepala. Berharap agar kenangan itu berlalu dan tidak akan singgah kembali di kepala. Entah Arkan bisa menyebutnya sebagai kenangan yang paling manis atau kenangan yang paling tragis. Tidak tahu, apakah seharusnya Arkan mengucapkan kata terimakasih kepada Rani karena pernah memberikan warna dalam hidupnya, atau marah kepada Rani yang telah membohonginya akan banyak hal.

     "Dasar kunyuk! Gue tungguin malah ninggalin, eh Ar!" Roni berdesis sebal.

     Langkah Arkan terhenti di koridor, dilihatnya siswi-siswi di kelasnya berkerumun ramai di depan toilet wanita. Terdengar keributan berkoar di sana dan juga teriakan-teriakan penuh amarah. Arkan mendekati kerumunan itu. "Ada apaan?" tanyanya tiba-tiba, membuat keramaian seketika berubah hening begitu Arkan angkat suara.

     Semua mata memandang ke satu arah. Pada Arkan yang muncul di antara barisan.

     Arkan berpaling, menatap Rani.

     "Maksud lo apaan nyeburin seragam gue ke bak?!" Rani berteriak di depan Loli.

     Loli tiba-tiba melengsak ke belakang Arkan, berlindung di balik tubuh tingginya.

     "Nggak usah sok berlindung di balik Arkan, gue nggak takut!"

     "Ada apaan?" Arkan mengulang pertanyaannya, kali ini lebih dingin.

     "Jangan ikut campur!" Rani menatap Arkan tajam, "atau jangan-jangan lo juga berkomplotan dengan Loli untuk ngusilin gue? Apasih salah gue, apa gue pernah ngusik kehidupan lo-lo semua?"

     Arkan geleng-geleng kepala, jelas terlihat dari matanya, ada sorot merendahkan tercetak jelas di sana. "Lo mungkin nggak mengusik kehidupan kita, tapi keberadaan lo ..." Arkan merendahkan tubuhnya yang tinggi supaya setara dengan Rani, "itu benar-benar parasit dan menganggu, seharusnya lo sadar dan tahu diri," bisikan itu lirih, tapi berhasil membuat Rani terdiam tanpa suara.

     Begitu dilihatnya Rani mati kutu, Loli tersenyum puas.

     Arkan menegakkan tubuh. "Kalian semua cepat ganti, bentar lagi bel bunyi, gue harap udah pada di kelas sebelum Bu Miyati masuk," perintahnya dengan nada khas seorang ketua kelas dan dibalas anggukan mengerti. Mereka yang tadi berkumpul di depan toilet, tanpa mengulur waktu segera masuk ke dalam untuk berganti baju.

     "Ran," Jean menyentuh pundak Rani, "lo nggak apa-apa, kan?"
     Namun Rani masih tertegun dan membeku di posisinya.

****

      Bel pulang sekolah berbunyi sejak setengah jam yang lalu. Rani melirik jam di pergelangan tangannya. "Jean, masih lama?" tanya Rani. Dia masih menunggui Jean yang sedang menunggu pacarnya, Dio, anak kelas XI-IPA-7 yang lantainya berada di lantai tiga. "Udah keluar belum?"

     "Ya udah lo duluan aja, deh, masih lama kayaknya."

     "Bener nggak apa?"

     "Iya." Jean menganggukkan kepalanya. "Lo buru-buru, kan? Ya udah duluan aja nggak apa-apa."

SERENDIPITYWhere stories live. Discover now