Drie - Schaduw (Bayangan)

Mulai dari awal
                                    

*

"Ada Open Recruitment buat kru pementasan drama yang diproduksi dosen-dosen FIB loh. Kamu ikutan nggak?" suara Rana sayup-sayup terdengar dari sela-sela musik yang kudengar melalui earphone.

Aku mematikan musik sebentar dan menoleh untuk bersitatap dengan gadis kalem berwajah manis di sampingku. "Ogah."

"Kenapa?" Rana mengerutkan dahi. "Kamu cantik. Cocok buat aktris panggung."

Bola mataku terputar ke atas. Aku menutup The Metamorphosis dan bersendang dagu mengamati beberapa mahasiswa yang berseliweran di perpustakaan kampus.

"Aku nggak suka disorot publik." Memang itu alasan pertamaku. Dan aku memiliki riwayat penyakit 'demam panggung'. Hal tersebut diakibatkan oleh trauma di masa kecil sewaktu aku menampilkan sebuah drama panggung dan melakukan kesalahan. Aku terjatuh di atas panggung, ditertawai teman-temanku, lalu menangis seharian. Tolol.

"Coba aja. Tim produksinya nggak main-main loh. Pak Narayana jadi produsernya."

Praktis saja mataku memelotot nyaris melompat dari rongga. "Pak Naray produser?" Kok ia tak mengabariku atau mengajakku bermain? Jangan berharap terlalu berlebihan, Agni. Ia membatasi diri sebagai dosen. Di sini, ia bukanlah Papamu.

Aku merosot di atas meja dengan dagu terbenam pada sampul buku. "Aku takut main drama."

Rana menelengkan kepala ke satu sisi, mengamatiku dari balik mata jernihnya. "Kenapa?"

"Aku trauma. Dulu pernah main drama, terus jatuh." Kepalaku terangkat. Teringat olehku mimpi waktu itu, di mana aku menjelma menjadi seorang bintang yang memiliki bakat berakting, menyanyi, dan bermain musik di atas panggung. "Aku adalah bintang yang jatuh." Kalimat terakhir tersebut seperti memberi penekanan pada dua makna. Jatuh, semasa aku kecil. Dan jatuh, yang mengarah pada makna lain, entah apa.

Bahuku diusap oleh Rana. "Aku baru tahu kamu punya trauma. Maaf ya."

Kendati demikian, batinku mencericit di dalam, berbisik meminta aku ikut audisi untuk ikut mengambil peran. Perang batin terjadi saat aku berpikir apakah kutanyakan soal produksi pementasan tersebut pada Pak Narayana. Jika aku bertanya dan pada akhirnya mengikuti audisi—atau katakanlah aku bisa saja terpilih—aku khawatir orang-orang menganggap negatif kedekatanku dengannya. Bibirku mengerucut ke atas. Ck. Aku tak akan ikut. Mungkin begitu lebih baik.

Perpustakaan lengang sore harinya. Aku dan Rana memutuskan mengangkat kaki dari sana. Mendung menggantung di kaki langit sewaktu kami keluar dari perpustakaan. Aku menengadah mengamati gumpalan kelabu yang berarak perlahan bak parade di tengah kota. Selang beberapa detik seraya mendengarkan cerita Rana yang tidak dicerna oleh pikiranku, seseorang menyapa. Suara bariton Pak Narayana yang praktis menghentikan laju cericit Rana.

"Loh Nak Zara, suka baca, ya?"

Aku menyengir kuda. Tidak juga. Aku hanya menemani Rana menimbun dirinya di balik tumpukan buku sekaligus menyelesaikan The Metamorphosis yang herannya benar-benar kubaca nyaris sampai habis.

"Cuma iseng, Pak."

"Tidak ada belajar karena iseng." Ia tersenyum manis madu. "Oh ya, saya lupa mengabarkan kalau dosen-dosen FIB mengadakan pertunjukan teater dan membutuhkan kru. Kamu mau bergabung? Kami membuka peluang mahasiswa untuk mengikuti audisi keaktoran dan tim panggung lain."

Panjang umur. Aku menoleh ke arah Rana yang mengangkat kedua alisnya. Sedangkan Pak Narayana menampilkan wajah penuh harap, seakan benar-benar ingin aku bergabung ke dalam pertunjukan tersebut.

"Sebenarnya, saya nggak bisa akting, Pak," kataku kalem seraya mengaitkan rambut ke belakang telinga sedikit rikuh.

"Kan belum dicoba. Pernah main drama?"

SAMSARA (ON HOLD)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang