Gea sedang beribadah hari ini. Dia memberitahu Shafa tentang itu lewat LINE semalam, tapi Shafa baru membacanya setelah bangun tidur. Sejak dari rumah Algy kemarin sampai bangun tidur, Shafa tidak membuka handphone-nya. Ponselnya mati, Shafa membaca LINE dari Gea saat ponselnya tengah di-charge.

"Pagi on the way siang, Cutie!"

Shafa terkejut setengah mati. Spontan matanya menatap tepat di bola mata seseorang di sebelahnya. Senyum orang itu terbilang sangat sumringah, juga ikhlas untuk Shafa. Shafa membenarkan rambutnya yang sempat menghalangi sebagian wajahnya. Lalu, tersenyum tipis kepada orang itu.

"Too."

Willy tersenyum puas mendengar jawaban itu. Tangannya terangkat untuk mengusap puncak kepala Shafa. Willy sudah tidak bisa membohongi perasaannya lagi, entah mengapa ada hasrat yang menyala-nyala di dalam hati, ingin sekali bisa mengusap mahkota kepala Shafa. Seperti yang kita ketahui, mahkota kaum hawa ialah rambut mereka sendiri.

Shafa mengangkat wajahnya untuk menatap Willy yang jauh lebih tinggi darinya, ekspresinya tak dapat dibaca. Ia memaklumi tingkah Willy, ia tidak ingin berbuat ramai disini.

"Gue mau minta tolong, boleh?" ucap Willy. Ia tak segan melontarkan senyumnya lagi, meyakinkan Shafa, matanya terus saja meminta balasan iya dari Shafa. Shafa mengangguk seraya tersenyum kecil.

Langkah selanjutnya, Willy mulai berani menarik tangan Shafa menuju sebuah kursi panjang di kantin. Kursi itu terletak berbeda dari kursi lain, kursi yang terletak lebih dekat sedikit dengan taman belakang sekolah mereka, dan tanpa meja. Kantin mereka memang bersebelahan dengan taman belakang. Tanpa pembatas.

Shafa terperangah, kursi ini menghadap ke taman belakang sekolah mereka, mempertontonkan pemandangan asri nan damai. Shafa tidak pernah melihat ini sebelumnya, terhitung selama tiga tahun bersekolah disini Shafa baru dua kali mengunjungi kantin. Waktu istirahatnya selalu dihabiskan untuk membaca di perpustakaan. Sewaktu itu ia kesini pun, itu karena temannya yang memaksa, gara-gara Shafa belum sarapan, dan yang kedua saat Ve berulang tahun. Itu juga, Gea butuh waktu dua jam pelajaran untuk membujuk Shafa.

Shafa memang seperti itu, tidak suka keramaian, tidak suka jadi pusat perhatian.

"Silahkan" ucap Willy, suaranya sangat lembut. Shafa menoleh ke samping kirinya, di antara mereka sudah ada sekotak bento dengan berbagai lauk yang terlihat menggiurkan. Shafa menelan ludahnya, ia pun mengangkat wajahnya untuk menatap Willy.

"Maksudnya?" tanya Shafa. Tidak mengerti.

Willy tersenyum. Lalu mengambil bento tadi dan memberikannya pada Shafa. "Tolong nilai bento ini, ya. Apa lo gak laper? udah sarapan ya?"

Shafa menggeleng. Sesekali matanya melirik kotak bekal yang sudah terjulur dari tangan Willy untuknya. Dia tahu, masakan negara mana itu.

"Will, gue sebenernya kurang su-"

"Lo gak suka masakan Jepang. Lo gak suka sushi. Lo cuma suka masakan tertentu aja."

Shafa benar-benar terperangah. Baru saja, Willy menyebutkan sedikit pengetahuan tentang dirinya dengan lancar. Shafa melipat bibir bawahnya ke dalam agar basah kembali. Lalu dengan setengah hati, ia pun mengambil kotak bekal itu dari tangan Willy. Willy tampak sangat senang.

Shafa belum memakan bento itu secuilpun. Bento itu ia letakkan di atas pangkuannya. "Lo buatin ini.. buat gue?" tanya Shafa. Baru menyentuh sendoknya.

"Makan aja dulu," sahut Willy. Shafa bimbang, ia ingin harinya diawali dengan makanan Indonesia, bukan negara lain, meski negara yang ada hubungannya dengan dia sekalipun.

Tanpa menunggu lama, Shafa mulai menyendokkan makanan itu dan memakannya. Shafa tidak ingin mati kelaparan. Senyum Willy mengembang menyaksikan itu.

Shafa terdiam cukup lama. "Oishi.." ucapnya dengan pandangan lurus ke depan.

"Enak, kan?" tanya Willy, pertanyaannya itu langsung saja direspon anggukan oleh Shafa. Shafa menambah cepat cara makannya. Membuat Willy tertawa gemas melihat itu. Matanya menatap Shafa dalam-dalam.

•••

      Ardi baru saja keluar dari ruang club basketball SMAN 77 Jakarta. Ia pun berjalan fokus menyusuri koridor, lalu berbelok memasuki pagar kantin. Ardi menduduki kursi kantin di dekat stand Roti Bakar Bandung, tasnya dihempaskan asal ke atas meja. Ardi membuka resleting tas bagian depannya, lalu mengambil ponsel dari dalam situ. Matanya tak mengamati apapun sedari tadi, ia sedang penat tak tertolongkan.

Ardi mencoba mengirimi Shafa satu pesan singkat, guna menanyakan perihal rencana mereka esok hari. Ia belum bertemu Shafa sejak pagi tadi. Jelas, Ardi berangkat awal dan Shafa hampir terlambat.

From Ardi to Shafa: Don't forget, we are having a plan this weekend. Entah kenapa gue mendadak jadi orang gak sabaran untuk itu. Hehe. Oh, iya, lo dimana? Gue samperin ya?

Ardi menaruh kembali ponselnya di dalam tas. Ia lalu membuka resleting tas utama, mengambil tempat makan tupperware-nya dari dalam. Elma tadi sempat membuatkan bekal untuk Ardi. Algy tidak sekolah hari ini. Disana memang libur hari Sabtu. Sebenarnya sama seperti disini, tapi Algy tidak mengambil kegiatan ekstrakulikuler apapun.

Ardi tak sengaja mengedarkan padangannya ke segala penjuru, lalu menangkap dua sosok tak asing di sebuah kursi panjang menghadap taman. Dilihatnya si laki-laki tengah asik tertawa sembari terus memandang ke arah sang gadis. Tatapan pemuda itu tampak dalam sekali. Sementara si gadis kelihatan tengah sibuk menyuap makanan ke mulutnya sendiri.

Ardi membuang pandangannya. Dadanya sedikit nyeri, namun dia sudah berjanji pada dirinya sendiri, tidak boleh ada kesalahpahaman lagi lebih dari kemarin, tidak boleh ada setetes air mata lagi yang turun dari mata Shafa karena ulahnya lagi. Ardi ikhlas menyayangi gadis itu.

•••

The WorstWhere stories live. Discover now