Semua penghuni meja itu menggut-manggut. Mereka membuka forum gosip di Kantin Bu Ti, perempuan Aceh yang jualan lontong di basement gedung kantor itu. Enggak elit, memang. But, who cares?

"Terus, kenapa putus?"

"Because, this is just a game. And everygame deserves an end, right?"

Semuanya terdiam.

"Bukan karena kalian beda agama, kan, Lun?" tanya Alisya.

Luna nyengir. "Lol, no."

Dimulai dari Alisya, semuanya memeluk Luna. Mereka membentuk sebuah pelukan erat yang walaupun mungkin sebenarnya penuh kepura-puraan tapi tetap menyebar kehangatan--yang semu. 

"Stay strong, darling." Terdengar sebuah suara yang menguatkan, disusul suara-suara lain yang gagal Luna identifikasi pemiliknya.

"Ih kalian bikin terharu." Luna nyengir-nyengir setelah pelukan itu diuraikan. 

***

Anisa menatap Adil yang sedang tertidur dengan lemas. Tadi pagi, sekitar pukul enam, Ari, sahabat karib Adil menelepon ke nomor rumah dan meminta Anisa datang. Tidak ada penjelasan, satu-satunya yang keluar hanya, "Adil lagi kacau banget, Tante."

Adil sudah terlelap di kamarnya saat Anisa sampai. Ari yang membukakan pintu. Menurut penuturan Ari, semalam, Adil meneleponnya sekitar pukul sembilan. Satu jam kemudian, saat Ari sampai, Adil sudah menegak setengah botol dari dua botol minuman keras yang ada. Adil, yang emang pada dasar enggak pernah minum, langsung mabuk dengan cepat. 

Dalam mabuknya, Adil menangis. Persis anak kecil. Dan kata 'luna' enggak ada henti-hentinya dia ucapkan di antara ketidaksadarannya dan refleks tangannya meneguk minuman berwarna mirip kencing kurang minum itu.

"Masih ada satu botol lebih yang sisa, tan," cerita Ari. Semalam, Ari langsung mengankan minuman-minuman itu ke dalam lemari. Anisa menatap dua buah botol minuman keras di depannya--satu jack daniels yang tinggal kurang dari setengah dan satu botol vodka yang meskipun udah terbuka tapi masih utuh.

"Kamu kenal pacarnya Adil, Ri?"

"Luna?" Ari memastikan. Anisa mengangguk. "Kenal, tan."

"Tante mau ketemu dia. Kamu punya nomor kontaknya?"

Ari menggeleng lemah. Walau kenal Luna dan sering diceritakan Adil, Ari jelas enggak punya nomor kontak Luna. Buat apa? Apa lagi mengingat karakter Adil yang walaupun pendiam tapi cemburuan. Bisa-bisa Ari dikira mau nikung. Amit-amit.

"Kamu tau alamat rumahnya atau apa gitu? Info tentang dia?"

"Dia kerja di Adibrata group, tan. dia kepala divisi minuman."

Anisa memejam. Benar. Di kantor. Memang di mana lagi anak laki-lakinya yang pemalu itu akan ketemu perempuan? 

"Ya udah. Makasih, Ri. Nanti kalau sempat, tante ke kantor ketemu dia."

Ari pamit untuk pulang, mandi dan siap-siap kerja. Meski badannya masih capek banget karena nyaris semalaman enggak tidur, mendengar racauan Adil tentang Luna. Tentang betapa Adil mencintai, ralat, memuja Luna. 

Jam sudah menunjukkan pukul sebelas. Anisa sudah menyiapkan masakan untuk putranya itu--sandwich ikan. Satu-satunya menu yang bisa dibuat dari bahan yang ada di kulkas. 

Ini pertama kalinya Anisa mampir ke apartemen Adil. Bukan karena enggak mau, tapi karena enggak diizinkan oleh anaknya itu. Sudah tiga tahun apartemen ini resmi dimiliki Adil, dan Anisa baru pertama kali ke sini. Dia pasti terkesan sebagai ibu yang gagal, kan? 

Anisa sudah puas berkeliling. Ia sudah menatap keranjang kain kotor yang berisi campuran pakaian anaknya dengan campuran pakaian perempuan. Ia bahkan sudah tau wajah perempuan yang dipuja habis-habisan oleh anaknya itu dalam sebuah foto yang terbingkai dengan frame monokurobo hitam. Anisa tidak tahu bagaimana cara mendeskripsikannya, tapi satu-satunya yang dapat ia lihat di foto itu adalah binar kebahagiaan yang jelas. Anisa juga tidak luput menemukan dua bungkus kondom di laci samping tempat tidur. 

Bunyi air mendidih dari dispenser terdengar jelas. Anisa berjalan lemah dan membuatkan dua gelas teh panas untuknya dan Adil. Setelah selesai, Anisa membawa sandwich dan teh menuju kamar anaknya dan meletakkan makanan itu di nakas. Di atas laci yang berisi... kondom. Ah sudahlah. 

Anisa mengacak rambut anaknya. "Dil, bangun."

Adil bergerak-gerak, matanya terbuka sedikit. Wajahnya mengukir senyuman. "Lun..."

Anisa meneguk ludahnya. Adil mengharapkan akan melihat perempuan itu lagi sekarang? Pasti. 

"Ini mama, sayang."

Adil membuka matanya dengan sempurna. Lalu terbelalak. Belum sempat ia memberi respon, tubuhnya sudah keburu membawanya lari menuju kamar mandi. Seluruh sarapannya sampai makan malamnya kemarin ia muntahkan ke westafel. Anisa muncul di sisinya, memijat tengkuk dan membawakan minyak kayu putih untuk dihirup wanginya. 

"Ma? Mama? Kok bisa di sini?" Adil bertanya-tanya dalam hati, apa dia semabuk itu semalam sampai harus menghubungi Ibunya? 

"Ari yang nelpon mama."

Sialan.

"Kamu jangan marah sama Ari," pinta Anisa. Adil tidak menyahut, hanya membuang muka. "Mama tau ini berat buat kamu, Dill. Tapi, sekarang atau nanti, hubungan kamu sama pacar kamu, siapa namanya? Luna? Emang enggak bisa dilanjutin lagi. Hubungan kalian enggak punya masa depan, Dil."

"Iya, ma," potong Adil cepat. "Adil tau."

"Kamu masih pusing? Minum aspirin dulu, ya. Sekalian sarapan. Itu udah mama siapin."

[1/3] It's yesterday.जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें