Kulihat dari sudut mataku Sam bergeser mendekat padaku. Dia melingkarkan salah satu lengannya ke pinggangku, dan menempelkan tubuhku padanya. Aku menyandarkan kepalaku ke bahunya. Dia mencium puncak kepalaku. 

"Untuk sekarang, aku ingin kita menjalaninya saja. Jika kita memang ditakdirkan untuk bersama, sejauh apapun kau pergi, aku tetap akan menemukanmu," ucap Sam.

Aku menyembunyikan wajahku di bahunya. "Apa itu artinya kau menyerah pada takdir?" tanyaku. Sam diam sejenak. Kurasakan dia mengeratkan jemarinya yang berada di pinggangku. "Jika... aku berpacaran dengan Fred, apa kau juga akan membiarkan hal itu?"

Sam masih tetap diam.

"Kau lebih memilih takdir menuntunmu, atau kata hatimu?" tanyaku lagi. Untuk ke sekian kalinya dia tak menjawab pertanyaanku. Aku mendongak dan melihat wajahnya. Sam balas menunduk dan melihatku, kemudian tersenyum padaku. "Saat kau baru mengetahui bahwa aku membenci penyihir es, apa yang kau pilih?" tanyanya.

Aku diam sesaat, berpikir, lalu menelan ludah. "Aku... emh... entahlah," kataku menyerah dan kembali menatap ke jembatan di depan kami. Saat itu aku hanya memilih untuk menjauhi Sam hanya agar dia tak memaksakan diri untuk menerimaku. Tapi aku sadar sejak awal dia memang sudah menerimaku apa adanya. Aku saja yang terlalu berlebihan, berpikir bahwa dia terlalu memaksakan diri. Mungkin saat itu aku memilih takdir. 

"Aku hanya ingin menjalani apa yang ada saat ini. Jika itu memang waktunya bagiku untuk memilih kata hatiku, maka aku akan melakukannya," jelasnya.

"Baiklah..," desahku.


***


Seseorang datang ke jembatan itu. Seorang pria. Aku melihat jam sakuku. Sudah pukul delapan malam. Sam bangkit berdiri dan berjalan ke depan agar bisa melihat pria itu lebih dekat. 

"Kau kenal dia?" tanyaku. Untuk beberapa saat dia terdiam, lalu dia berkata, "Itu... kakekku."

"Apa?" tanyaku tak percaya.

Tak lama setelahnya, datang lagi seorang wanita dari pintu gerbang seberang. Wanita itu berlari dan memeluk pria itu. Dari raut wajahnya sepertinya mereka sangat bahagia. Seolah-olah mereka sudah lama tak bertemu. Aku hampir bisa mendengar percakapan mereka.

"Aku sungguh takut jika kita tak bisa bertemu lagi, Charles," kata wanita itu.

Pria bernama Charles itu memegang kedua pipinya. "Aku pasti akan menemuimu bagaimanapun caranya," kata Charles.

"Bagaimana jika ayahmu tau?"

"Akan kupastikan dia tak tau hal ini. Karena itu aku berencana melarikan diri bersamamu."

"Apa?" pekikku.

"Shh... Fallen, diamlah," bisik Sam.

"Maaf. Aku hanya... terlalu terkejut," kataku.

"Kemana kita akan pergi, Charles? Kau adalah calon Raja semua bangsa disini."

"Kemanapun asal aku bisa bersamamu," ucap Charles dengan tulus. Namun ucapannya itu mengingatkanku akan ucapan Sam yang sama. Dia mengucapkannya padaku. Aku melirik Sam. Mata birunya masih tetap terfokus pada dua orang di jembatan itu. Kupikir sifat kakeknya itu menurun padanya.

"Jika... ini adalah awal kejadiannya, lalu kenapa ayah kakekmu sudah memberikan larangan untuk bertemu wanita itu?" tanyaku bingung.

"Kita lihat saja nanti," jawab Sam. Selama beberapa jam mereka hanya saling berbicara. Dan aku melakukan hal konyol dengan menggambar di atas tanah menggunakan batu hanya untuk mengatasi rasa bosan. Aku melihat Sam yang ada di hadapanku. Dia bahkan tak merasa bosan mendengarkan percakapan mereka. Rasanya aku ingin mempercepat waktu saja. Dan aku yakin dia takkan mau karena sepertinya dia benar-benar tertarik dengan kejadian di hari ini.

FALLEN (the Fiery Passion)#3Where stories live. Discover now