Finally, gue liat dia, lagi jalan sendiri di trotoar. Kadang gue bingung, apa dia terlalu miskin sampe-sampe naek angkot pun gak bisa? Tapi, bagus sih. Gue bisa nemu dia di sini. Kalo naek angkot kan susah diajaknya.

Gue neken klakson tiga kali di samping dia, seperti dugaan, Tibby nengok. Bukannya diem, dia malah lari.

Ya ampun, dia bener-bener langka.

Gue makin suka aja sama Tibby.

# Lance

"Jadi, Mama Papa kapan pulang?" tanya gue, berjalan di atas koridor kampus yang masih sepi. Biasa, gue selalu dateng ke kampus jam lima pagi.

Pagi ini dan hari-hari kemaren kayaknya ada yang beda ... apa ya.

Oiya, rumah lebih rame gara-gara koki baru, Tiberon.

"Mama pulang nanti, masih ada proyek baru di Spore. Kamu jaga-jagain adek kamu ya."

Yailah, tiap bulan juga ngomongnya gitu. Gak ada penggunaan kata yang laen apa.

Tapi, gue juga males sih sebenernya mikirin kata yang beda dari sebelumnya. Jadi gue tinggal jawab, "iya. Ati-ati ya. Lance jagain adek-adek kok. Dah."

Dan gue nutup telepon itu, menghela nafas lalu kembali berjalan. Kayaknya idup gue gini-gini aja. Kayaknya idup gue gak ada konfliknya sama sekali. Dari awal gue idup, semuanya serba diatur.

Dan kayaknya lagi, gue punya masalah di diri gue sendiri. Entah apa.

Gue baru sadar. Selama gue di kampus, gue sama sekali gak punya temen. Atau lebih tepatnya gue gak punya temen yang klop sama gue.

Mereka sama aja.

Dateng pas butuh.

Pergi pas seneng.

Udahlah, semuanya aja ninggalin gue--jir, kenapa gue kayak cewek gini.

Semangat Lance semangat, apalagi di rumah ada orang baru. Cakep lagi. EH.

# Rico

"Bro, dia Tibby kan?"

"Hm," jawab gue singkat, jelas, padat.

"Cewek ormis yang kita jadiin bahan taruhan?"

"Codh lo," gue melirik benci Sean.

"Kok marah?" Sean menyeringai dan duduk di samping gue dengan entengnya, "jangan-jangan lo jadi suka sama dia?"

"Sean, lo bisa diem gak?"

Pagi ini dan pagi-pagi sebelumnya bener-bener neraka batin. Sebenernya dari dulu gue udah ngerasain itu. Perut dan hati gue terasa tabrakan kalo inget dia. Gue ngerasa bersalah saat natep matanya.

Apalagi, dia gak mau ngomong sama gue lagi.

Padahal sejak SMP setelah kami putus, gue tetep nge-stalk dia kemanapun. Gue cuman ngerasa gak punya tujuan hidup lagi kalo jauh dari dia.

Karena keseluruhan hidup gue semuanya udah diatur, gue gak bisa mikirin apa-apa lagi selain dia.

Kenapa sih, dulu gue bego banget? Kenapa gue mau-mau aja ikutin taruhan itu? Kenapa hubungan gue sama dia udah gak bisa diselametin lagi?

"You play drama, you get karma," celetuk Sean dengan dalemnya sambil nyenggol bahu gue, lagi-lagi dia berdiri dan mulai men-dribble bola basket.

Ninggalin gue sendirian di bawah ring basket.

Saat gue mencari sosoknya yang tadi duduk di taman bareng temennya, dia udah gak ada.

Tibby, gimana kalo gue bilang, karma yang gue dapet adalah jatuh cinta ke lo?

# Raga

"Tibs," sahut gue sambil nepok pundaknya.

Finally, dia nengok setelah lama bertatapan dengan Tiffany. Gak tau deh mereka ngapain, lama banget tatep-tatepan soalnya.

"Apa?"

"Ada waktu gak?"

"Buat apa?"

"Ngomong," jawab gue langsung sambil senyum.

"Oh."

Pipinya merah, lucu, kayak buah tomat gitu.

Setelah agak menjauh dari ketujuh temennya yang langsung natep kami penasaran, gue membeli air mineral dua. Ngasih satu ke Tibby, bukannya nerima dia malah buka dompet dan ngasih uang ke gue, baru setelah itu dia mengambil air mineralnya.

Gue naikin alis. Cewek ini bener-bener gak mau hutang budi.

Kami berdua duduk di tempat yang agak terisolir, karena, ehm, ini pembicaraan penting.

"Jadi?" tanyanya santai, menegak air mineralnya.

"Sabtubesokkitajalanya," jawab gue kelewat cepet saking gugupnya.

Sial, gue gak pernah senerveous ini sama cewek.

"Hah? Apa?"

"Sabtu besok ... kitajalanya."

"Ngomong yang jelas dong."

"Sabtu besok kita ... jalanya."

"APA?"

"Sabtu besok kita jalan ... ya?"

Tibby tersedak, batuk-batuk sebentar dan natep gue gak percaya.

"Sodara gue mau ulang tahun. Dan dia cewek. Gue gak tau kado yang pas apa. Makanya gue...ajak lo," kata gue cepet-cepet.

"Oh, gue kira apaan." Tibby senyum sambil mengelap sisa air mineral tadi yang ada di ujung bibirnya.

Kayaknya perkiraan lo tadi bener deh, Tibs. EH. GAK-GAK APAAN DAH.

"Lo mau gak?" tanya gue sok kasual.

Mau ya.

Mau ya.

Mau.

Plis mau.

Mau dong.

"Gue mau, Sabtu kan?"

YES.

YES.

"Oke," kata gue sambil senyum, "gue jemput lo nanti. Thank's ya."

Hal yang aneh, muka Tibby langsung pucat. Tapi gue gak terlalu mikirin, gue malah acak-acak rambutnya sambil ketawa.

Gue bener-bener seneng dan gak sabar nunggu hari Sabtu.

*

[A/N]

Yang penasaran sama mukanya Tiffany, bisa dilihat di sebelah^^

Sejujurnya kelima cogan yang gue cintai gak semuanya suka sama Tibby karena well its impossible. Jadi, tebak-tebak berhadiah aja siapa orang yang bakal di adore in sama Tibby dan orang yang merjuangin Tibby XD

Luv,

LolittleAvery

ST [4] - Tibby's JournalWhere stories live. Discover now