Sejak itu gue nggak nyia-nyian kesempatan gue. Gue pacarin cewek-cewek yang menurut gue hebat, gue cium mereka, dan gue tinggalin mereka setelah dapet kemampuan mereka. Karena yah, buat apa gue masih sama orang yang udah nggak berguna?

"Ehm Mei," kata gue sambil tersenyum riang. Mei menoleh. "Kita putus ya?"

Date her. Kiss her. Break her heart.

☺☺☺

Gue berjalan menyusuri koridor lantai satu sambil berusaha berhenti tersenyum lebar seperti orang idiot. Shit, gue seneng banget. Sekolah sudah lumayan sepi karena bel pulang sudah berbunyi sekitar setengah jam yang lalu. Ini semua gara-gara Bu Ira, guru Fisika, yang meminta gue ke ruangannya sebelum pulang sekolah. Gue kira, dia mau nasihatin gue lagi gara-gara nilai Fisika gue yang turun, ternyata dia malah muji-muji gue berkat nilai Fisika gue yang sempurna waktu tes Fisika tadi pagi. Berkat kemampuan Fisika Meira yang akhirnya gue dapetin.

Putus dengan Mei tidak hanya berdampak pada nilai Fisika gue, tapi juga berdampak pada beberapa cewek cantik yang saat berpapasan sama gue di koridor, mulai menyapa gue dengan genit. Gue hanya memasang senyuman andalan gue yang biasanya tanpa mau menanggapi lebih lanjut. Cewek-cewek otak kosong tanpa kemampuan apa-apa kayak mereka nggak pantes gue sapa balik.

Pandangan gue sekarang terpaku ke arah tim basket putri yang sedang berlatih di lapangan tepat di depan koridor. Ke arah seorang cewek yang sesaat tadi berhasil merebut bola dari sang lawan. Cewek itu mulai bergerak ke depan. Dan walaupun dihadang banyak lawan, dia tidak kehabisan ide. Saat mendapat celah, dia langsung menembakkan bola tadi dari posisinya sekarang. Dan melesatlah bola tadi ke dalam ring. Menghasilkan tembakan tiga angka yang sempurna.

Cewek tadi langsung ber-highfive ria bersama teman-teman satu timnya lalu menyingkir ke pinggir lapangan dan mulai mengambil air putihnya. Latihan sudah selesai rupanya.

Target gue selanjutnya sudah sangat jelas; Tara dan kemampuan tembakan tiga angkanya.

Gue berjalan ke arah Tara dengan modal senyuman yang merekah lebar. Beberapa anak basket putri yang ingin pulang menuju tempat parkir sempat melirik gue dengan curiga, yang hanya gue balas dengan lambaian tangan ringan. Saat ini gue sudah berada tepat di belakang Tara, memperhatikan rambut kuncir kuda cewek itu yang diterpa angin sore. Tara masih sibuk memasukkan botol minum ke dalam tasnya.

Tanpa aba-aba, gue langsung menutup kedua mata Tara dengan tangan gue. Membuat cewek itu terlonjak kaget lalu mendecak kesal. "Apaan sih? Nggak lucu ya, Adrian!"

Gue melepaskan tangan gue. Tara langsung berbalik sementara gue memasang tampang pura-pura cemberut. "Kok lo tau kalo itu gue?"

"Taulah! Kan lo doang yang paling iseng." Tara memeletkan lidahnya. Gue hanya mencubit pipinya gemas. Tara langsung memukul-mukul kecil tangan gue. "Lepasin Oon!"

Gue melepas tangan gue dari pipi Tara lalu beralih mengacak-acak rambut cewek itu. "Yuk, balik."

"Yang baru jomblo takut banget balik sendirian sih?" Tara tertawa. Shit, manis. "Bawain tas gue dong. Katanya gentle, tapi barang gue nggak pernah dibawain. Giliran barang pacar aja, beh ... getol banget macem kuli panggul. Gima-"

Gue langsung berjalan ke arah tempat parkir sambil membawa tas yang diminta Tara dengan tangan kanan gue, membuat cewek itu akhirnya menghentikan ocehannya, dan memilih mengekori gue seperti anak baik-baik. Sial, harusnya gue berhentiin ocehannya Tara pake bibir gue.

Tapi, sabar Adrian, sabar. Tara ini beda.

Atau memang dasarnya gue yang nggak siap nyium sahabat gue sendiri? Atau memang dasarnya gue yang nggak siap macarin sahabat gue sendiri, lalu bikin dia sakit hati?

Behind Every LaughWhere stories live. Discover now