SM #2

1.3K 73 2
                                    


"Permisi, Pak Davian, ini laporan yang Anda minta." Seorang pria berusia pertengahan empat puluh tahunan masuk sambil membawa beberapa file di tangannya.

"Duduklah, Albert," kata Davian lembut, ia sangat menghormati pria yang menjadi asisten sekaligus tangan kanannya ini. Selama beberapa tahun ini Albert yang selalu mengurus perusahaannya kalau ia sedang berada di Indonesia. Sikapnya sangat loyal dan dapat dipercaya, namun sayangnya, sampai saat ini ia belum juga mau berkeluarga. Terkadang saat melihatnya, Davian seperti melihat dirinya sepuluh tahun yang akan datang. Karena itu ia percaya padanya.

"Apa ada masalah dengan pembangunan gedung baru kita?" tanya Davian tanpa melepaskan matanya dari file yang ia pegang.

"Ya, sepertinya pekerjanya sedikit malas, sehingga pembangunan sedikit terlambat," jawabnya sopan.

"Kalau begitu, beri mereka kenaikan gaji, asalkan gedung itu bisa selesai tepat waktu," tegas Davian.

"Baik, Pak Davian."

Ketika itu pintu ruangan Davian terbuka, seorang gadis dengan gaun merah yang seksi masuk dengan tampang marah. Di belakangnya, Romilda berdiri dengan ketakutan.

"Maafkan saya, Pak. Nona ini memaksa masuk," ucap Romilda pelan.

Davian mengangguk samar dan dengan isyarat menyuruh Romilda dan Albert pergi.

"Aku tidak pernah suka dengan sekertarismu, kenapa tidak kau pecat saja?" tanya wanita itu sambil berjalan memutari meja dan duduk di pangkuan Davian.

"Aku tidak punya alasan untuk memecatnya," kata Davian datar, ia berusaha melepaskan diri dari cengkeraman kuku-kuku tajam wanita itu yang juga dicat merah.

"Dia tidak mengijinkan aku masuk, bukankah itu cukup untuk dijadikan alasan? Dia tidak tahu siapa aku," dengusnya kesal.

"Itu berarti kehadiranmu memang tidak dibutuhkan di sini, Bridgitta!" Davian berkata lebih keras, membuat wanita yang dipanggil Bridgitta itu terkejut.

"Pergilah!" usir Davian dingin.

"Kau tidak bisa seperti itu, sayang. Bukankah kita sudah...."

"Itu hanya kesalahan," potongnya cepat. "Aku banyak pekerjaan hari ini. Aku akan menghubungimu nanti." meskipun dia ragu akan melakukannya.

"Baiklah. Jangan lupa aktifkan ponselmu, dua hari ini kau susah dihubungi," ucap Bridgitta lembut sambil mencium bibir Davian sekilas, hanya sekilas karena Davian sama sekali tidak membalasnya.

Davian menghela napas panjang setelah kepergian wanita itu. Ia menyesal karena pernah terlibat hubungan dengannya. Wanita itu seperti ular berbisa yang menganggap dirinya sebagai mangsa dan terus mengejarnya. Ia sadar semua adalah kesalahannya, kenapa ia harus mabuk dan melakukan one night stand dengannya. Kalau Papanya tahu, mungkin ia sudah habis dicincang oleh beliau.

Ia butuh udara segar, memikirkan kejadian waktu itu selalu membuat otaknya kacau. Baru saja ia melangkah keluar dari lift, matanya menangkap bayangan gadis yang dikenalnya. Tanpa sadar kakinya mengikuti gadis itu ke kantin yang berada di lantai paling bawah kantornya.

"Hei, kau! Sedang apa di sini?" tanya Davian ketika ia benar-benar yakin gadis itu adalah Lessi.

"Suka-suka aku, memangnya ini kantor milikmu?!" ujarnya cuek.

Baru saja ia ingin berkata bahwa kantor ini memang miliknya, ketika pelayan cafe membawakan jus strawberry dan cake strawberry padanya.

"Seperti biasa, Nona," kata pelayan itu, lalu matanya terbelalak melihat Davian dan memilih segera pergi setelah menganggukkan kepalanya.

Untung saja ini bukan jam makan siang, ia tidak suka menjadi pusat perhatian di luar hal pekerjaan meskipun oleh pegawainya sendiri.

"Kau sering ke sini?" tanya Davian curiga.

"Tentu saja. Pamanku kerja di sini dan aku sering menemuinya. Dan asal kau tahu jus dan cake strawberry di kantin kantor ini mengalahkan cake di restoran mana pun," ujarnya sambil menyeruput jusnya.

"Tentu saja, kantin ini memiliki chef terbaik di kelasnya," sahut Davian bangga. "Kau bilang pamanmu kerja di sini? Bagian apa?"

"Hm, apa ya? Aku tidak pernah bertanya. Nanti aku tanyakan pada pamanku," jawabnya setelah berpikir sejenak.

"Sudahlah, lupakan. Aku mungkin tidak kenal karena kantor ini memiliki banyak sekali karyawan."

"Kau sendiri bagian apa?" tanya Lessi.

"Menurutmu?" Davian merapikan jasnya yang sudah rapi.

"Ah, lupakan. Tidak penting kamu bagian apa. Mana ponselku?"

Semangat Davian untuk pamer hilang seketika, sepertinya gadis itu tidak peduli padanya. Lalu, kenapa ia tidak suka hal itu?

"Kembalikan dulu ponselku."

"Aku tidak membawanya. Bagaimana dengan kameraku?"

"Tunggu beberapa hari lagi, ada komponen yang patah dan harus dibeli di Inggris karena di sini tidak ada yang cocok," Davian menjelaskan dan gadis itu hanya menggangguk tanpa melihatnya.

"Ngomong-ngomong, aku pergi dulu. Aku ada janji dengan Louis."

"Louis?" Davian mengangkat alisnya.

"Calon suamiku. Kami akan menikah dua minggu lagi," jawab Lessi sumringah, kentara sekali ia bahagia.

Oh, jadi yang menelepon itu Louis, pikir Davian.

"Oh, iya, tolong bayarkan ya. Bye," pamitnya dengan langkah enteng meninggalkan Davian.

Gadis gila! Dia sering datang ke sini? Tapi kalau dipikir-pikir, wajar saja ia tidak pernah melihatnya, selama ini ia memang tidak pernah makan di kantin, selalu perjamuan bisnis dengan klien di resto atau rumah makan yang mewah. Lagipula, ia tidak nyaman dengan suasana yang ramai.

TBC

Sudden Marriage (Wedding Series #2)Where stories live. Discover now