SM #1

4.6K 103 4
                                    


Jalanan Berlin siang itu terbilang sepi, mungkin karena semua orang sedang istirahat makan siang atau mereka enggan berpanas-panasan di jalan. Entahlah, yang jelas hal ini menguntungkan Davian yang sejak tadi berada di belakang kemudinya. Ia baru saja selesai makan siang dan sedang mengejar waktu untuk menghadiri rapat dengan klien pentingnya.

Ponselnya berbunyi untuk yang kesekian kalinya dalam satu jam terakhir ini.

"Ada apa lagi, Romilda?!" nada suaranya jauh dari kata ramah.

"Anda sudah ditunggu di ruang rapat, Pak," jawab sekertarisnya pelan.

Ia bisa membayangkan Romilda Pane, sekertarisnya, mengkerut di belakang mejanya. Tapi, ia tidak peduli, suasana hatinya sedang buruk tanpa perlu ditambahi dengan rapat dadakan dari kliennya.

Pagi-pagi ia sudah dikejutkan dengan telepon dari Papanya, Alexander Origa, yang terus-terusan menuntutnya untuk segera menikah. Untunglah ia berhasil menghindar karena harus pergi ke kantor, ia tidak mau memikirkan hal tidak penting seperti itu dalam waktu dekat ini. Pekerjaannya masih membutuhkan waktu dan tenaga ekstra, apalagi di saat krisis seperti sekarang ini.

Davian masih melajukan mobilnya dalam kecepatan tinggi ketika ekor matanya menangkap pemandangan aneh itu. Seorang gadis sedang berdiri di tepi jembatan di atas sungai Spree. Sebelah kakinya hampir menaiki besi pembatas jembatan dan tubuhnya sudah condong ke bawah.

"Ah, sial! Kenapa harus di saat seperti ini!" geramnya kesal, batinnya berperang antara pergi menolongnya atau tidak.

Akhirnya ia menepikan mobilnya di detik-detik terakhir dan tanpa pikir panjang, Davian segera berlari dan menarik pinggang wanita itu sampai mereka berdua terpelanting ke badan jembatan.

Tidak butuh waktu lama bagi Davian untuk bangkit sambil menepuk-nepuk celana dan jasnya yang berdebu.

"Apa yang kau lakukan? Dasar bodoh!" maki Davian kesal.

Wanita yang ditolongnya itu juga segera berdiri tidak jauh darinya dan melakukan hal yang sama pada pakaiannya.

"Sorry?" gadis itu memandangnya dengan bingung, logat Inggrisnya terlihat kental. Mungkin ia bukan berasal dari negara ini.

Untuk sesaat Davian terpaku pada mata biru jernih milik gadis itu sebelum ia menyadari kalau tadi ia berbicara dengan bahasa Indonesia.

"Apa yang Anda lakukan di sini, Nona?" tanyanya tenang, "bunuh diri itu tidak akan menyelesaikan masalah, Anda tahu itu."

Gadis itu mengerutkan keningnya, rambut cokelat terangnya berkibar ditiup angin sehingga menutupi sebagian wajahnya, namun ia segera merapikannya kembali dengan jarinya.

"Aku tidak mengerti maksudmu, aku sedang memotret ketika tiba-tiba kau datang dan menarikku dengan kasar," ucapnya setengah bersungut-sungut.

"Me-memotret?" Davian melongo mendengar jawaban gadis itu.

"Tentu saja. Aku ini fotografer, apa kau tidak melihat kamera di tanganku?" balasnya kesal, tapi seketika wajahnya berubah panik. "Hei, mana kameraku?!"

Gadis itu celingukan ke sana kemari ketika dilihatnya benda berwarna hitam itu tergeletak beberapa meter dari tempat mereka berdiri.

"Kameraku!" jeritnya histeris sambil berlari memungut kameranya dengan hati-hati seolah sedang memeluk seorang bayi.

Seketika Davian tersadar kalau ia sudah terlambat untuk pekerjaannya, ia tidak punya waktu untuk meladeni hal sepele seperti ini. Ia menyesal sudah berhenti dan 'menolong' gadis itu. Kalau tahu begini, seharusnya ia terus jalan saja.

Sudden Marriage (Wedding Series #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang