KABAR BAHAGIA UNTUK EVELINA

8.1K 406 22
                                    

"An excellence presentation and a very promosing research project. Congratulation! You have passed this milestone without any revision," kata ketua panel projek riset Raechan, Prof Daniel Cristhop dan tiga panelis lainnya di Uni Wien, Schottentor, Wina. Usai Raechan memaparkan rencana risetnya "A Nano Technology And Develoving World: Study for Indonesia " dengan gamblang dan meyakinkan. Ruangan ber-AC yang begitu dingin seketika terasa begitu hangat bagi Raechan sesudah mendapatkan sanjungan dan komentar dari para panelis. Ia begitu bahagia dan langsung berdiri menyalami para panelis yang ada di ruangan itu.

"Thausend dank, (terima kasih banyak)" ucap Raechan sambil menyalami mereka, penuh hormat. Ia ingin sekali buru-buru keluar dari ruangan itu, untuk kemudian menjemput Tania di sekolahnya dan pulang ke apartemen mereka untuk memberikan kabar bahagia kelulusan proposal risetnya kepada isterinya, Evelin. Evelina pasti sangat bahagia mendengar kabar ini. Ia dulu pernah berjanji akan membuat syukuran kecil di apartemen mereka seusai suaminya lulus dalam ujian proposal desertasi nanti dengan mengundang teman-teman mahasiswa Indonesia di Wina dan akan berlibur bersama di St Anton Am Arberg, sebuah pedesaan dan resor ski di daerah Tyrol. Raechan membayangkan mereka mencoba olahraga ski, membelah kebekuan salju dengan kehangatan canda dan tawa di salah satu resor ski terbaik di dunia itu.

Raechan tersenyum simpul. Ia buru-buru menuruni tangga marmer putih kampus tua dimana ini mendapat beasiswa PHD-nya. Lampu-lampu granit bundar berwara putih yang berbaris di kanan kiri tangga makin menguatkan karakternya sebagai kampus kuno. Beberapa puluh meter di belakang kampus sebuah parkiran luas dengan dihiasi rerimbunan pohon Matsee dan Klagenfurt. Raechan menstarter mobilnya menuju Henri Dunant-Volkschule di Dungatsse, 2, 1210 di mana anaknya, Tania bersekolah.

***

Symphone 40 Mozzart masih mengalun lembut ketika Raechan membuka pintu apartemennya. Tak seperti biasanya, setiap mereka pulang Evelin menunggu kedatangan mereka berdua di ruang tamu dan menyambutnya dengan ciuman kecil. Namun hari itu, rumah nampak begitu sepi, seakan tidak ada seorang pun di sana. Raechan memasuki kamar utama namun Evelina tidak ada di sana, ia pun menuju ke dapur, namun Evelin tidak ada juga. Apakah isterinya sedang berenang pikirnya dalam hati. Ah tidak mungkin Evelin berenang dijam seperti ini.

"Ayah, itu bunda," tunjuk Tania ke ibunya yang tengah tergolek di atas kasurnya. Betapa terkejutnya Raechan ketika melihat isterinya tertidur dengan tangan memegangi kompress yang penuh dengan darah. Raechan mengambil kompress yang digenggam isterinya untuk kemudian dia meletakkan kompress itu di meja belajar Tania. Dibersihkannya bekas darah yang membekas di hidung isterinya.

Mata Evelin mengerjap-ngerjap, sesudah ia sadar, ia tersenyum mendapati Tania dan Raechan sudah berada disampingnya. Ia kemudian bangkit dan mencium Raechan dan Tania.

"Bunda kenapa!?" tanya Tania kepada ibunya.

"Bunda tidak apa-apa kok sayang, tuh lihat bunda baik-baik saja kan!?"

"Tapi kenapa tadi banyak darah di hidung bunda?"

"Bunda hanya mimisan. Mungkin faktor cuaca yang sedang kurang bersahabat. Sekarang Tania ganti baju nanti bunda siapin makan yah sayang." Evalina pun beranjak dari kamar anaknya menuju dapur diikuti oleh Raechan.

"Bun, habis maghrib kita ke dokter yah?" ajak Raechan pada suaminya. "Belakangan ini bunda sering banget mimisan. Aku takut terjadi apa-apa sama bunda."

"Ayah tidak usah kuatir. Bunda tidak apa-apa kok."

"Tapi bunda harus tetap ke dokter bun yah?" Rechan menatap wajah isterinya dengan tatapan kasih sayang. Dibelainya rambut isterinya kemudian sebuah kecupan hangat mendarat di kening Evelina. Evelin tidak menjawab apa-apa. Dia hanya menganggukkan kepala sambil tersenyum, tanda setuju dengan ajakan suaminya.

***

Usai menjalankan shalat maghrib, Raechan dan Evelina pergi menuju tempat dokter praktek yang terletak beberapa blok saja dari apartemen di mana mereka tinggal. Dalam perjalanan, tidak seperti biasanya Evelina lebih banyak terdiam. Entah apa yang sedang ia pikirkan. Biasanya ia paling senang ia bercanda bersama Tania dan mengajari anaknya bermacam-macam hal. Sesekali Tania mengajaknya berbicara, namun Evelina menjawab seadanya.

"Bunda lihat deh rasi bintang itu bunda, indah sekali?" ujar Tania sambil menunjuk rasi bintang yang berbentuk pari atau layang-layang. "Bentuknya lucu ya bunda!" ucapnya lagi.

"Itu rasi bintang pari sayang." Jawab Evelin singkat.

"Kenapa disebut rasi bintang pari bunda?"

"Karena bentuknya seperti pari (crux) atau layang-layang makanya disebut rasi bintang pari."

"Kalau yang sebelah sana rasi bintang apa bunda?" Evelin mendongakan kepalanya melalui jendela, ia berusaha mengamati apa yang ditunjukan oleh anaknya.

"Oh itu namanya rasi bintang orion. Selain rasi ini dipakai sebagai penunjuk arah barat, rasi bintang orion juga dahulu dipakai oleh para petani di Indonesia dahulu sebagai awal untuk menggarap sawah dan ladang mereka."

"Tania, bundanya lagi sakit sayang, biarkan bunda istirahat," pinta Raechan kepada anaknya. Tania menuruti apa yang ayahnya bilang dan beberapa saat kemudian mereka sudah sampai di tempat praktek dokter. Sesudah dilakukan pemeriksaan terhadap Evelin, dokter memberikan resep obat untuk kemudian mereka pun undur diri.

"Genesungs galiebte, Evelina! (Semogacepet sembuh nyonya Evelina!)" ujar dokter Chiara Magdalena sambil menyalami Evelin dan Raechan. Dokter bermata biru itu dikenal begitu hangat dan santun dalam memperlakukan pasien. Rambutnya yang hitam kecokelatan tergerai panjang membuatnya begitu anggun. Alis matanya begitu indah berkarakter dengan bola mata hitam kecokelatan. Ia lebih mirip seorang foto model dibandingkan dokter.

"Thausend danke, arzt! (terimakasih, dokter!)" Ucap Evelina sambil tersenyum. Mereka berdua pun pergi meninggalkan praktek dokter Chiara. Chiara mengantarkan pasiennya sampai ke depan pintu sampai Evelin dan Raechan masuk ke dalam mobil dan meninggalkan tempat prakteknya. Jarum jam di tangan Chiara menunjukkan pukul 22.00. Sesudah ia lihat tidak ada lagi pasien yang mengantri di ruang tunggu, ia membereskan meja kerjanya untuk kemudian dokter berpostur tinggi semampai itu meninggalkan ruangan prakteknya.

***

Hayy guys!! Ini masih awal, jangan langsung move on yaa. Blm masuk ke konflik soalnya :) hayooo evelina sakit apa sih?? Penasaran? Baca dan tunggu kelanjutannya yaaa :)

Until My Last BreathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang