5 · Edelweiss

215 25 10
                                    

Walaupun kakiku sibuk mengayuh, otakku sibuk memikirkan satu-satunya bingkai yang paling bersih di kamarku. Aku selalu membersihkannya secara berkala, tak akan kubiarkan satu butir debu hinggap di atasnya. Bingkai itu berisi sertifikat kelulusanku, hari itu merupakan hari terakhirku menginjakkan kaki di sekolah.

Pertanyaan Harry saat tiga hari yang lalu ketika dia berkunjung masih terngiang jelas.

"Kau kuliah?"

Kurasa aku tak perlu lagi menjelaskan kenapa aku tidak bisa. Lembaran koran yang dijual Dad sudah sulit untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Bahkan walau dengan tambahan saat Dad mendapat panggilan sebagai pekerja bangunan tetap saja tidak membuat hidup kami lebih baik.

"Hey, Vay! Come here!" aku berhenti mengayuh sepedaku dan menyangga dengan kaki kiriku, aku menoleh dan melihat Louis memberiku gestur agar aku menghampirinya.

Dan itulah yang aku lakukan.

Aku mengubah haluan dan berhenti di depannya, "What's up?"

"Chill, girl. Bersenang-senanglah, aku jarang melihatmu bermain bersama lagi," tegur Louis, "Aku tahu kau sibuk, but I think you should loosen up a little bit."

Aku tersenyum sedih, "It's not that easy."

Louis memegang sepedaku dan mengangkat skateboardnya, "Ayo, kita bermain skateboard. Tinggalkan sepedamu di sini."

Aku melihat gerai tato milik Louis dengan tidak yakin, "Kau tahu keadaan di sini, Lou. It's not safe. Someone is gonna steal my bike."

Louis mendecak bosan, "Tak akan ada yang mau mencuri sepeda jelekmu itu."

"Hey! That was rude," aku memukul lengannya sambil tertawa, Louis mengaduh kesakitan padahal pukulanku tak seberapa. What a drama king.

_-_-_-_-_-_-_-_-_-_

"Louis, catch me!" aku menjerit sambil menjulurkan tanganku saat sampai di puncak landasan papan seluncur.

Louis mundur dan terbahak seperti manusia tak waras, "You can do better than that, Vay!" teriaknya geli.

Aku berputar di udara dan memegang erat skateboard Louis agar tidak lepas dari pijakanku. Roda skateboard kembali menyentuh landasan dengan mantap, aku kembali meluncur ke bawah dan naik ke atas seperti roller coaster dan melakukan atraksi kecil-kecilan.

Saat Louis melihatku meluncur lagi ke arahnya, kali ini dia mengulurkan tangannya. Aku meraihnya dan dia menarikku ke tempat yang datar.

"Having fun?" ledeknya.

Aku memicingkan mataku, berpura-pura kesal, "You are an arse, Louis."

"You are very welcome, Edelweiss," dia tertawa dan mengambil skateboard-nya dariku sebelum mengarahkanku untuk turun.

Aku merasa sangat aneh mendengar Louis memanggilku Edelweiss. Orang-orang di sekitar sini memanggilku Vay --kecuali Dad, yang bersikeras memanggilku pumpkin walaupun aku sudah berumur 21 tahun sekarang.

Mereka bilang, namaku terlalu indah untuk di ucapkan di tempat kumuh seperti ini. Louis pernah berkata, "Lidah jelata tak pantas memanggil namamu yang berkelas itu."

Jadilah mereka memanggilku Vay, berasal dari Weiss pada Edelweiss.

Harry dan Anne adalah pengecualian.

Mereka berdua selalu memanggilku Edelweiss. Bahkan setiap aku mengantar susu di rumahnya, Harry menyapaku dengan kalimat khasnya, "Good morning, Edelweiss like the flower. Have a nice day."

Mungkin lidah borju Harry dan Anne lebih cocok menyebut nama Edelweiss daripada Vay.

"So how's your girlfriend?" tanyaku sambil berjalan.

"What girlfriend?"

Aku berhenti berjalan dan menatapnya kaget, "Kalian putus?"

"I dump her."

"What? Why? That's cruel," aku melihat Louis dengan penuh ketidakpercayaan, tapi begitu aku menyelami mata birunya, aku tahu dia memiliki sebuah alasan.

Louis yang selalu jenaka kini melepas topengnya, dia membalas tatapanku, "I'm not good enough for her, Vay."

Kaki Louis kembali melangkah, tatapannya jatuh ke tumpukan salju di bawah sepatu kami, "Aku sadar dengan diriku sendiri. Aku bukanlah siapa-siapa, hanya seorang pemilik gerai tato yang hampir bobrok. Suatu hari nanti aku pasti akan berkeluarga, aku tak mau menyeretnya ke dalam kesusahanku. Biarlah dia mencari lelaki yang lebih baik daripadaku."

Aku melingkarkan tanganku pada tubuh Louis, memberikannya sebuah pelukan yang kuharap bisa sedikit mengurangi rasa sedihnya.

Ini bukanlah pelukan romantis. Pelukan ini berarti aku mengerti. Aku mengerti bagaimana rasanya terjebak di lembah kesengsaraan.

No matter how hard you work, no matter how hard you try. You'll always end up here.

Lingkaran kemiskinan ini terus berjalan tanpa terjamah orang luar. Merenggut mimpi dan cita para insan muda. Merebut kebahagiaan yang seharusnya bisa kita rasakan.

Lengan Louis mulai bergerak membalas pelukanku. Semakin lama, rengkuhannya makin erat. Dari napasnya yang bergetar, aku tahu dia berusaha keras untuk tidak menangis.

"I'm sorry," bisikku pelan, "I understand."

_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_

A/N

GUYZZZ KAREN MAU CURHAATT :( wkwk

Foto ktp gua jelek banget HAHAHAH MANA SEUMUR HIDUP HIKS MAU GARUK ASPAL GUA RASANYA

Pas lagi foto tuh koplak banget, gua ga tau kalo gua udah difoto jadi muka gua pongo kek kambing bloon :((

Maaf ya numpang curhat wkwk aku kesepian :(

Love, Karen xo

The Lost Edelweiss // h. styles [A.U] {DISCONTINUED}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang