BAGIAN KEDUA: SIKAP ASLI TUAN PUTRI

554 34 0
                                    

"Hei, pelayan baru!"

Riki berhenti dan berbalik. "Ada apa, tuan putri?"

"Kamu tahu di mana kamar mandinya?!"

"Hmm... Tidak tahu, tuan putri."

"Dasar! Rito, antarkan pelayan bodoh ini!"

"Baik, tuan putri."

Rito menunjuk pintu sebelah dari lantai dasa ini. Riki berjalan menuju pintu yang ditunjuk Rito. Setelah membuka pintu itu, terlihat ada dua kain tertempel di atas. Kain berwarna merah tertulis "wanita" sedangkan yang biru tertulis "pria". Mirip dengan tempat pemandian umum.

"Aku harus masuk yang mana?"

"Masuk yang bertuliskan "wanita", lalu nyalakan mesin pemanas yang ada di atas di samping kau masuk, tekan tombol hijau." Rito sudah ada di samping Riki.

"Terima kasih, Rito." Rito berjalan menuju kain yang bertuliskan "wanita".

Sesampainya di dalam, Riki melihat ada mesin yang menempel di samping pintu masuk. Riki menekan tombol hijau. Lampu merah menyala.

"Kau tunggu di sini, tunggu sampai lampu merah itu berubah menjadi hijau. Setelah itu, panggil aku."

"Begitu, ya. Terima kasih banyak, Rito." Rito diam beberapa saat, memandangi Riki dengan senyuman kecil. "Ada apa?"

"Tidak, bukan apa-apa." Lalu Rito pergi. "Oh, iya. Kau sudah mendapatkan handphone khusus untuk di sini?"

"Sudah." Riki mengeluarkan handphone itu dari saku jas.

"Kalau begitu, berikan. Aku ingin memasukan data nomornya." Riki menyerahkan handphone itu. "Nanti hubungi aku setelah lampu itu berubah menjadi hijau, ya?"

"Baik. Sekali lagi, terima kasih banyak, Rito."

Sekali lagi, wajah pria yang ditutupi dengan kacamata ini, tersenyum kecil. "Kalau begitu, aku pergi."

Riki berdiri melihat lampu merah itu dengan bosan. Kadang-kadang Riki menggaruk kepala yang tidak gatal, melipat tangannya, memainkan poni rambutnya. "Ternyata cukup lama juga, ya. Oh, iya. Entah perasaanku atau memang telingaku yang seperti ini. Rasanya Rito terdengar seperti seorang gadis, bukan pria yang dengan kemampuan tinju yang mengerikan. Apa benar itu hanya perasaanku saja? Atau memang benar?" gumam Riki.

'TRING' lampu itu berubah menjadi hijau. Riki membuka handphonenya, memanggil Rito.

"Sudah berubah menjadi hijau."

"Terima kasih, Riki. Sebaiknya kau segera keluar dari ruangan itu. Kalau tidak mau kena amarah dari tuan putri."

"Tanpa kau suruh pun, aku pasti keluar." Riki menutup panggilannya itu. Lalu berjalan keluar ruangan itu.

Di ruangan belakang istana, Pamelia, dan Riki sedang duduk menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Sejak kapan sikap tuan putri seperti itu?" tanya Riki.

"Dua hari setelah kepergian Akira."

"Jadi saat Ayah meninggal, ya. Sungguh kebetulan sekali. Apakah tuan putri seperti itu karena Ayahku meninggal?"

"Iya."

"Apakah karena sikapnya itu, semua pelayan yang bekerja di sini pergi, dan hanya tersisa kalian?"

"Iya."

"Berarti benar cerita Ayah adanya. Aku merasa bersalah."

"Riki..."

"Baiklah, aku akan mengubah sikap tuan putri seperti semula, seperti yang Ayahku selalu cerita." Riki pergi menuju kamar tuan putri.

"Selamat berjuang, Riki."

PELAYAN SETIA HARUS SEPERTI BIASAWhere stories live. Discover now