Si Cinot

2K 11 9
                                    

"Cinot!!! Bangun atuh, mau sekolah tidak??" Ambu berkata dengan logat sunda sambil menarik-narik selimutku. Udara dingin langsung menyerang tanpa ampun tapi mau bagaimana lagi, mata masih mengantuk tidak bisa di ajak kompromi. "Bentar lagi Ambu," aku berusaha menahan selimut dengan mata masih terpejam.

"Eh, solat subuh dulu, pamali kalau anak gadis siang-siang baru bangun." Si Ambu sudah berhasil merebut selimut yang aku pakai. Mau tidak mau aku harus bangun. Setelah melakukan ritual menguap dan menggaruk-garuk rambut, aku mengambil handuk bertuliskan Liverpool yang tergantung di belakang pintu kamar. Handuk yang kata Si ucup lagi trend di kota. "Dingin..." Teriakku dari kamar mandi saat segayung air membasahi kakiku. Aku tinggal di daerah pedesaan yang masih terdapat hamparan sawah luas, kebun dan sungai yang airnya berasal dari pegunungan asli. Udara di sini mah masih bersih, tidak seperti di kota yang kata teh lilis sudah penuh asap polusi.

Berhubung airnya dingin hari ini mandi bebek sajalah, seperti biasa sikat gigi dan cuci muka. Walau agak jorok dalam kamus seorang gadis, mandi bebek solusi paling tepat buat para remaja manja alias mandi jarang.

Setelah solat subuh aku cepat-cepat ganti baju tidur dengan seragam putih abu, tidak lupa semprot parfum sana sini biar wangi. Tempel jepit rambut kanan-kiri lalu pake gelang warna warni biar keliatan kota-an. Biar tinggal di desa jangan ketinggalan gaya harus selalu up to date kata Si Ucup.

"Ambu, Cinot pergi dulu." Aku menghampiri Ambu setelah menghabiskan sarapan teh manis dan lima goreng pisang.

"Pulangnya jangan main dulu, nanti siang kita keterminal jemput anaknya teman Si Abah yang mau PKL di sini katanya." Ambu sedang menggoreng singkong kesukaan Si Abah.

"Iya Ambu, nanti Cinot langsung pulang." Setelah mencium punggung tangannya, aku melangkah keluar rumah menghampiri Abah yang sedang memberi makan ikan di kolam samping rumah.

"Abah, Cinot pergi sekolah dulu. Jatahnya Bah?" Aku menadahkan tanganku. Si Abah membuka pecinya lalu mengambil beberapa lembar uang dari sela pecinya. "Nih dua rebu," aku mengerutkan halis memandang dua lembar uang bergambar pahlawan Pattimura di tanganku. "Yah Abah, jaman sekarang dua rebu, tambah lagi atuh?" aku merengek. "Jaman-jaman, jangan nurutin jaman capek." Si Abah malah asik melempar makanan ikan ke dalam kolam. "Ah Abah mah, ga asik," aku mengeluarkan jurus memanyunkan bibir lalu mencium punggung tangannya. "Assalamualaikum...." Teriakku sambil berjalan dengan kesal. "Walaikumsalam, awas bibirnya nabrak Not...." Si Abah tertawa.

Ah, Abah waktu SD paling gede cuma ngasih jatah lima ratus rupiah, SMP seribu, nah sekarang SMA kelas dua cuma dua rebu. Padahal sekarang segala macam harga barang dan makanan naik, baso Mang Ujang saja seporsi tiga ribu setengah, cendol Mang Ipong juga segelas dua rebu setengah masa setiap beli harus setengah porsi terus. Ah Si Abah mah pelit-lit-lit-lit.... Aku mengerutu di hati. 'kring-kring' Suara sepeda mengagetkan aku yang sedang berjalan menyusuri jalan setapak dengan kesal.

"Pagi-pagi ngelamun, Hilang gigi ya Not?" Seorang pria seumuran denganku tersenyum menampakan gigi serinya. "Enak aja, tuh gigi kamu yang hilang." Jawabku kesal, bikin soda api keluar saja. "Jangan marah atuh Not, Ucup kan cuma becanda." katanya sambil merapikan rambut depannya yang mencuat keatas, lagi trend katanya mirip artis.

"Becanda sih becanda tapi kata orang kota harus tau sikon dong." Aku menjiplak kata-kata Teh Lilis yang baru pulang jadi TKI di negara tetangga seminggu yang lalu.

"Sikon goreng maksudnya? Yah kalau yang itu Ucup juga tahu, Itu mah makanan kesukaan Ucup sejak bayi." Katanya dengan percaya diri. Aku memejamkan mata sambil menarik nafas untuk meredam rasa kesal yang bertambah menjadi tiga kali lipat. Emang susah berbicara sama orang kaya Ucup yang suka pura-pura bolot, sok tahu dan ke-PD-an, lama-lama aku bisa berubah jadi naga yang menyemburkan api kemana-mana. "Ya terserah mang Ucup sajalah, cepat ah, belum ngerjain PR Sejarah nih...." Jawabku lalu duduk di boncengan sepeda milik Ucup.

"Siap laksanakan putri Cinot-not, pegangannya di sini saja atuh yah?" Ucup menunjuk pinggangnya. "Genit ih, tarik mang...." Aku berteriak lalu berpegang pada belakang kemeja putihnya sambil tertawa. Ucup juga tertawa lalu mengayuh sepedanya dengan semangat empat lima. Sejak SD sampai sekarang kami berada di satu kelas yang sama, dan selalu bermain bersama. Rumahnya tepat berada di depan rumahku, cita-citanya jadi dokter anak. Ucup paling pintar di sekolah, kebalikan dari aku yang selalu mendapat nilai ulangan berwarna jambu air di semua mata pelajaran kecuali biologi karena gurunya super ganteng, jadi semangat deh.... (Maksudnya ngecengin-nya).

***

"Kiri mang...." aku berteriak, Ucup langsung menghentikan sepedanya di depan pintu gerbang sekolah.

Wajahnya merah, kemejanya basah oleh keringat dan napasnya selang seling.

"huh-hah-huh-hah, Neng Not-not teh sarapan apa sih?"

"Sarapan ala inggris, kenapa gitu? Berat yah?" aku merapikan rambut panjangku dengan jari sambil tersenyum.

"ho-oh" Si Ucup manggut-manggut.

"Besok mah sarapan ala desa saja yah? Biar tidak berat di boncengnya," Kata ucup lagi sambil menuntun sepedanya.

"Sip...lah, nanti Cinot bilang ke Ambu. Tapi nanti pulangnya bonceng lagi yah? Ambu nyuruh cepet pulang soalnya mau jemput anaknya temen Abah di terminal." Aku dan Ucup masuk ke dalam kelas.

"Dari kota yah? Mudah-mudahan perempuan" Ucup tersenyum.

"Yee... Maunya!!!" aku tertawa.

"Ya-iya atuh"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 04, 2011 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Si CinotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang