bukan siti nurbaya

Mulai dari awal
                                    

 Aku baru bertemu dengannya kemaren pagi di kantin kampus. Dia memang terlihat istimewa diantara gadis-gadis yang lain. Aku juga merasakan desir-desir halus itu setiap kali pandangan kita bertemu. Tapi, aku bukanlah lelaki yang mudah memikat wanita, bukan seorang perayu handal yang bisa menembakkan panah-panah asmara cukup bertemu sekali saja. Ini saja aku baru berani menelponnya setelah mencoba memantapkan hati sepanjang malam, dan itupun gagal. Ah, andai saja aku bertemu dengannya lebih cepat dari hari kemaren, mungkin kondisi ini tak perlu terjadi.

‘Tring..Tring..Tring...’

Aku mengangkat telpon dengan malas. “Halo. Assalamu’alaikum.” Sapaku lebih dulu dengan datar. Pasti orang ini akan memarahiku habis-habisan.

“Wa’alaikumsalam. Gimana, Kak, berhasil kan?” Suara lembut itu langsung menodongku.

“Maaf, Mey, saya tidak bisa.” Jawabku pelan, hampir tidak terdengar.

“Ah, Kakak gimana sih? Nggak oke banget!” Omelnya sengit di seberang sana. “Cuma Kakak yang bisa menyelamatkan Rana dari perjodohan itu. Kakak harus ingat, Rana sudah lama memendam rasa suka terhadap Kakak. Kalau perjodohan ini dibiarkan terjadi, hidup Rana akan sengsara. Kakak tega banget, sih, jadi orang?” Sambungnya penuh emosi.

“Iya, saya ngerti, Mey. Tapi lidah ini masih berat sekali untuk mengatakan itu. Tolong, fahami saya juga.” Balasku memohon pengertiannya.

“Ya sudahlah, maaf, sudah terlalu banyak melibatkan Kak Ari dalam hal ini. Cinta memang tidak bisa dipaksa. Bye!” Sahut Memey ketus lalu memutuskan sambungan telepon.

Haduh, aku semakin pusing saja!

                                                                            ***

Author POV

Sehabis menunaikan shalat Shubuh Rana buru-buru mengambil teleponnya di atas kasur. Tangannya dengan cekatan mencari sebuah nama di kontak dan langsung menghubunginya. Terdengar suara ‘tut tut tut’ sebelum telepon diangkat oleh pemiliknya.

“Mey! Lama amat, sih, lo?” Rana menggerutu di telpon.

“Sori. Tadi gue lagi wudhu’. Ada apa, ada apa?” Jawab Memey antusias di ujung telpon.

“Lo ngapain lagi sih nyebar-nyebar berita bohong lagi ke kak Ari? Emang mau sampai kapan gue digosipin penyakitan? Lo yang minta dia kan telpon gue jam 3 pagi tadi? Apa sih, maksud lo?” Cerocos Rana murka.

“Iya, Na, gue yang maksa dia nelpon elo. Tapi, kalau boleh tahu si Ari yang sok ganteng itu bilang apa ke lo?” Tanya Memey penasaran.

“Ya, dia nanya-nanya seputar kesehatan gue, gitu-gitu deh, sampai akhirnya gue sempat merasa cinta gue sedikit lagi akan berbalas. Tapi ujung-ujungnya dia ngaku juga kalau lo yang nyuruh dia nelpon gue, gue kan sakit hati, Mey, pake muji-muji lo segala lagi. Baru aja gue ngerasa sedikit senang, dia langsung menghancurkan impian gue. Ya, setidaknya walaupun lo yang maksa dia buat nelpon gue, kan nggak harus ngomong jujur gitu di depan gue, hargain perasaan gue sedikit dong. Kasih gue kesempatan bahagia walau hanya sesaat. Hiks! Hiks! Hiks!” Rana yang tadinya mau marah-marahin Memey malah jadi curhat.

“Memang goblok tu orang.” Ujar Memey geram.

“Maksud lo apa?” Rana mencoba menghentikan tangisnya. Ia sedikit kaget mendengar komentar Memey.

“Gue nyuruh dia nembak lo.” Jawab Memey kalem.

“Hah? Gila lo!” Rana terkaget-kaget. Hampir saja telepon di tangannya jatuh ke lantai. “Jadi, dia udah tau kalo gue suka ama dia? Lo cerita, Mey? Ya, ampun!” Cecar Rana histeris.

“Gue kasian sama lo, Na. Gue nggak rela lo dijodohin dengan orang yang nggak lo cintai. Makanya gue beraniin buka rahasia lo ke kak Ari, karena gue rasa dia punya feeling yang sama dengan lo.” Jawab Memey membela diri.

“Tapi nyatanya apa, Mey? Gue semakin nggak punya muka dan harga diri di depan dia!” Suara Rana terdengar menjerit-jerit dari seberang, sampai Memey harus menjauhkan telpon selulernya dari telinga untuk beberapa saat.

“Maaf, Na. Gue nggak bermaksud bikin lo marah. Gue pengen nolongin lo aja. Tak ada maksud lain.” Ujar Memey hampir menangis. Di seberang sana, Rana jadi merasa bersalah memarahi Memey, harusnya ia sadar memang kayak gini cara Memey menunjukkan rasa sayangnya; Melakukan hal-hal yang tidak terduga.

“Maafkan gue juga, Mey. Gue juga nggak pengen marahin lo. Lain kali kalau mau bertindak kasih tau dulu ya?” Katanya dengan halus. “Yang berlalu biarlah kita simpan jadi kenangan untuk ditertawakan di masa depan.” Sambung Rana bijak.

“Lo baik banget, Na. Makasih banget ya. Gue jadi pengen meluk elo sekarang.” Balas Memey tergugu.

“Gue juga. Sahabat seperti elo dan Siska yang membuat gue tetap bertahan sampai saat ini. oh, iya, Mey, gue nggak masuk kuliah hari ini. Bonyok bilang gue harus dipingit, mereka takut kali gue kabur dari acara pernikahan besok.” Ucap Rana tersenyum getir.

“He he he... anak baik-baik kayak elo mau coba kabur kemana, sih? Ari, nggak usah diharepin lagi. Pecundang.” Sahut Memey dengan sengit. “Gue doain suami lo nanti biar punya kekurangan tapi tetap seorang ksatria sejati, bisa lindungin lo dan mencintai lo tanpa keraguan. Insya Allah, semuanya akan baik-baik saja. Positive thinking selalu ya, Cinta.” Sambungnya lembut.

“Insya Allah, makasih banyak, Sweety. Ya udah, sana shalat Shubuh.” Rana teringat Memey yang belum menunaikan kewajibannya menemui Tuhan pagi ini.

“Oh, iya, ya. Hampir saja gue lupa. Kalau gitu gue tutup ya.” Ucap Memey mengakhiri pembicaraan mereka seraya mengucap salam dan mengakhiri sambungan telepon.

***

Bukan Siti NurbayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang