bukan siti nurbaya

Start from the beginning
                                    

“Kak Ari nelpon Rana hanya untuk menanyakan itu?” Aku sangat berhati-hati sekali mengucapkan kalimat ini karena sebenarnya aku menginginkan jawaban yang ‘lebih’.

Duh, Rana, ingat! Kamu sudah bertunangan dengan Ravi. Suara hati kecilku menghentak-hentak dari dalam, tapi kali ini aku tidak ingin peduli. Aku ingin tahu gimana rasanya bertelepon dengan orang yang sudah lama kita sukai. Tak salahkan jika aku sedikit egois kali ini, menyenang-nyenangkan hati sebelum masuk lebih dalam ke penjara perjodohan itu?

“Iya. Kakak sangat mengkhawatirkan kesehatanmu sampai Kakak tidak bisa memejamkan mata malam ini karena kefikiran kamu terus.” Jawabnya pelan, sangat pelan sekali, seakan-akan ia tidak mau ada yang mendengar ucapannya itu, tapi memang dasar receiver telingaku berfrekwensi tinggi kata-katanya bisa kutangkap dengan jelas.

“Ah, Kak Ari ada-ada saja.” Aku tersipu malu. Bisa dipastikan mukaku ini sudah berubah warna. Aku terjatuh ke dalam rasa yang hangat yang menentramkan. Aku sedang tidak bermimpi kan? Wuhahaha...Kak Ari mengkhawatirkanku sampai susah tidur??? Ingin rasanya aku meloncat-loncat sekarang, tapi takut mengganggu tidur Bapak dan Ibu.

“Kakak tidak berbohong, Rana. Meski Kakak belum jadi dokter, tapi sedikit banyaknya Kakak tidak salah kan ikut memantau kesehatan kamu. Apalagi kata Memey, kamu sama sekali tidak mau berobat. Dia sampai memohon-mohon ke Kakak di telpon.” Jelasnya lugas.

Glek! Memey?

“Kakak menelpon karena diminta Memey?” Suaraku tercekat di kerongkongan. Musnah sudah mimpi indah yang baru terajut itu. Berkeping-keping, tak bersisa.

“Iya, Na. Memey yang kasih nomor telponmu ke Kakak. Tampaknya Memey benar-benar seorang sahabat yang sangat setia kawan dalam suka dan duka ya.” Jawabnya lugu memuji-muji Memey setinggi angkasa. Kenapa aku begitu bodoh sampai tidak kefikiran kesitu. Lagi-lagi Memey ada di balik semua ini. awas tu anak, akan kucincang semua lemak di tubuhnya!

“Lalu, Kakak menanyakan kesehatanku karena masih beranggapan aku penyakitan juga, ya?” Lanjutku berusaha menyembunyikan lara hatiku. Ya, aku memang sakit, Kak, sakit karenamu. Kataku mengaku dalam hati.

“Karena Kakak care sama kamu, bukan karena kamu penyakitan atau sebagainya.” Jawabnya tegas. Tapi aku tak mau terbuai lagi. Aku tak mau lagi terjatuh karena terlalu mengharap cinta yang tak berbalas. Perih!

“Makasih banget ya, Kak, atas perhatiannya. Kalau begitu Rana mau istirahat lagi, Kakak juga harus istirahat, Rana baik-baik saja, kok. Rana akan sangat merasa bersalah sekali karena memikirkan kesehatan Rana Kakak ikut-ikutan jatuh sakit.” Ucapku getir seraya menggigit bibir bawahku. Aku baru tahu mencintai seseorang ternyata harus juga siap disakiti olehnya.

“Selamat istirahat lagi, Na. Wassalamu’alaikum.” Katanya mengucapkan kata penutup dan salam.

“Wa’alaikumsalam.” Balasku pendek, lalu terdengar bunyi ‘klik’ dari seberang, kemudian tak ada lagi suara yang terdengar dari sana. Aku menghempas smartphone-ku ke kasur seraya menelungkupkan wajah ke bantal, kuhabiskan sisa malam menangisi cintaku yang buntung. Sekejap saja ku tak diberi kesempatan merasakan cinta yang dipilih oleh hatiku sendiri.

***

Ari POV

Bodoh! Bodoh! Kenapa aku begitu bodoh di depannya? Aku menepuk-nepuk jidatku. Aku telah melakukan suatu kebodohan yang fatal. Aku telah mengecewakan hati seorang gadis. Dapat kupastikan hatinya pasti hancur remuk mendengar semua penuturanku tadi di telpon. Tapi mau gimana lagi, lidahku memang masih merasa sulit dan kaku menyatakan cinta, bukan karena aku tak bisa mencintainya. Bahkan, bisa-bisanya lidahku berkelit dengan alasan lain, menelponnya karena mengkhawatirkan penyakit kuning bualan Memey. Kenapa pula Memey harus kulibatkan dalam pembicaraan kami? Huh, aku memang tidak bisa diandalkan.

Bukan Siti NurbayaWhere stories live. Discover now