05. I Wish I Could

37K 3.4K 154
                                    

Daisy menepuk pundak sahabatnya yang sedang membaca buku dengan serius itu—kelewat serius malahan. Padahal, ini sudah yang ke sekian kalinya Diandra mengulang membaca buku-buku Haruki Murakami, mulai dari yang terkenal seperti Norwegian Wood, Colorless Tsukuru Tazaki, dan 1Q84, sampai South of The Border, Sputnik Sweetheart dan Kafka On The Shore yang bukan merupakan buku favorit orang-orang kebanyakan—tapi anehnya, Diandra malah sebaliknya. Ia paling suka kedua novel itu!

Pernah suatu ketika Daisy bertanya kenapa Diandra suka membaca buku-buku Haruki Murakami yang di dominasi adegan-adegan erotis dengan pendeskripsian yang sangat detail dan terkesan blak-blakkan itu, ternyata jawaban Diandra sangat mengejutkan. Membuat Daisy akhirnya ikut membaca karya Haruki lainnya selain yang paling populer tentu saja, Norwegian Wood.

"Adegan yang erotisnya itu kayak cuma di permukaan aja, Dai. Itu cara Haruki mengekspresikan fantasi-fantasinya. Tapi jauh lebih dalam, kalo lo baca berulang kali, lo bakal ngerti esensi dari buku-bukunya yang bikin gue mikir berhari-hari setelah selesai baca."

Ya, ketika berbicara mengenai buku, obrolan Daisy dan Diandra tidak akan ada habisnya. Maklum, selera mereka sama. Kalau sudah bertemu, berjam-jam bisa mereka habiskan untuk membahas buku, mulai dari novel-novel karya John Green sampai novel klasik sekelas The Great Gatsby, dan berakhir di obrolan yang ngalor-ngidul.

Hari ini mereka sedang janjian untuk bertemu. Seperti biasa, tempat favorit mereka kalau bukan kedai kopi, pasti perpustakaan—dan kali ini mereka berada di Japan Foundation Library yang terletak di kawasan Sudirman, dekat dengan kantor Diandra, sekalian ia menghabiskan jam makan siangnya. Dan karena Daisy hanya tinggal menunggu wisuda, ia bisa pergi-pergi dengan leluasa.

Daisy memang telat satu tahun dibanding teman-temannya yang lain karena ia tidak diterima di universitas negeri pada awalnya, kemudian ia memilih untuk menunda kuliah dan mencoba tes tertulis lagi pada tahun depannya. Dan hasilnya? Voila! Ia berhasil mendapatkan jurusan Teknologi Kebumian di ITB, jurusan yang ia idam-idamkan sejak dulu.

"Eh, kenapa Dai?" Diandra terkesiap.

Daisy langsung tertawa meledek, "Konsen amat baca bukunya, Bu? Itu baca buku apa ngelamun?"

"Baca laaah! Gue lagi merenung aja, kan lo tau quotes nya Haruki bikin mikir banget," jawab Diandra gelagapan, seolah-olah takut Daisy dapat menebak apa yang sedang ia pikirkan saat ini.

"Kayak gue nggak tau lo aja!" timpal Daisy datar, kemudian ia melanjutkan, "Mikirin apa sih, sampe galau banget gitu? Lo diajakin nikah sama Adrian?"

Diandra langsung menatap sahabatnya itu dengan galak, "Nikah, nikah! Gue cuma temenan deh, sumpah. Lagian gue juga nggak mikirin dia kok."

"Terus mikirin siapa dong?" goda Daisy, masih tidak mau kalah.

Kali ini Diandra malah cengengesan, senyumnya mengembang dan membuat pipinya merekah merah. Ia belum mengatakan apa-apa saja Daisy sudah mengerti. Ada spark yang berbeda di sana, di mata Diandra, yang seolah-olah sudah menceritakan semua yang perlu Daisy ketahui. Spark yang sejak pertama kali muncul, tidak pernah mati.

Daisy tersenyum ketika ia mengingat kutipan sederhana Beau Taplin di bukunya, Hunting Season.

"One day, whether you are 14, 28 or 65, you will stumble upon someone who will start a fire in you that cannot die. However, the saddest, most awful truth you will ever come to find—is they are not always with whom we spend our lives."

Kadang ia berharap bisa bertemu dengan orang yang dimaksud oleh Beau Taplin tersebut, merasakan apa yang selama ini mereka gambarkan melalui buku, musik, dan film.

Yah, selama ini pengalaman Daisy tentang percintaan memang sedikit, walaupun ia belajar banyak dari cerita-cerita teman-temannya. Sampai selesai SMA saja ia tidak pernah pacaran sama sekali. Ia baru mulai 'mencoba' pacaran ketika semester dua, dan hanya berlangsung selama beberapa bulan sebelum akhirnya harus selesai karena diselingkuhi oleh teman kost-nya sendiri. Tragis memang, tapi toh ia memang sudah punya prinsip yang kokoh mengenai hal-hal yang berbau percintaan—dan ia tidak butuh waktu lama untuk recovery.

"Hmm, waktu hari Minggu pas reuni itu loh, Dai..." Diandra mulai membuka pembicaraan dengan malu-malu, membuat senyum Daisy semakin terkembang.

Tuh kan, bener! celetuk Daisy dalam hati sambil masih diam, menunggu Diandra melanjutkan omongannya.

"Ah, tapi kayaknya nggak mungkin, Dai. Masa sih after all these time...?"

Daisy menggeleng-gelengkan kepalanya, "Kebiasaan deh, belom apa-apa udah pesimis duluan."

"Abisnya dia gitu sih, Dai. Gue kan jadi—"

"Di, jangan bahas yang dulu-dulu. Siapa tau dia udah berubah? Nggak ada yang tau kan?" potong Daisy cepat sebelum akhirnya menambahkan, "Nah, jadi gimana waktu hari Minggu itu?"

Diandra menghembuskan nafas berat, "Kayaknya nih, kayaknya sih ya... dia ngeliatin gue deh, Dai. Eye to eye, kita liat-liatan gitu!"

"Lagi bengong kali?" canda Daisy, mencoba mencairkan suasana. Komentarnya itu langsung sukses membuat Diandra tertawa.

"Sialan!"

"Lanjutin dulu cepet!"

"Dia sambil ngobrol gitu sama Brigitta, lamaaa banget! Sambil ketawa-tawa lagi! Gue kadang iri deh, pengen juga bisa temenan sama dia dan bukannya malah jadi stranger kayak gini."

Nih orang nggak tau aja, kalo yang mereka obrolin itu elo. Duhh! Emang apa-apa jadi susah deh, kalo udah berhubungan sama cinta-cintaan, batin Daisy.

Waktu itu sebenanya Daisy tidak berniat sama sekali untuk nguping, sumpah. Tapi yaa, berhubung Brigitta dan Arjuna ngobrol-ngobrol di dekat tempat salad dan kebetulan juga dia lagi milih-milih buah dan sayuran, jadi kurang-banyak kedengeran deh apa yang lagi mereka obrolin hehehe!

"Tumben lo nggak nanya ke Brigitta mereka ngomongin apa?" tanya Daisy memancing.

Diandra langsung menggeleng cepat, "Itu privasinya dia kan, Dai, walaupun gue kepo banget sebenernya! Yah, paling gak jauh-jauh dari ngobrolin gebetannya dia sih, si Elena yang ketemu di London itu."

Hening beberapa saat sebelum Daisy memberanikan diri untuk bertanya.

"Emang lo nggak kangen Di, bertahun-tahun nggak ketemu dia? Nggak mau ngomong apa gitu?"

Pertanyaan itu sontak membuat Diandra mematung cukup lama. Matanya langsung menatap buku yang dipegangnya dengan tatapan hampa, seolah-olah ia tidak disana.

Sejak mengenal Diandra, satu-satunya orang—terutama laki-laki—yang selalu ia bicarakan hanyalah Arjuna Dewangga. Kalau ditanya apa yang membuatnya begitu 'jatuh', Diandra langsung diam. Hubungan mereka kalau dianalogikan, kurang lebih akan jadi seperti orang yang naik roller coaster ketika sedang hujan badai.

Ya, seburuk itu.

Diandra tersenyum samar, kemudian menutup buku Kafka on the Shore yang sudah ia baca sampai halaman ratusan itu.

"I wish I could, Dai."

***

Halo! Untuk yang bingung, saya mau kasih catatan kecil tentang beberapa hal yang saya 'angkat' di bagian ini yang mungkin nggak semua orang ngerti.

1. Haruki Murakami itu penulis asal Jepang yang karyanya melegenda banget, untuk yang belum tau, bisa mulai baca-baca bukunya yang emang populer kayak Norwegian Wood dan 1Q84. Kalo saya pribadi suka sama Sputnik Sweethart, ceritanya nggak ketebak banget!

2. Beau Taplin itu poet yang saya temuin di quotes-quotes yang ada di Tumblr. Karena penasaran sama kalimatnya yang bagus-bagus banget, saya coba untuk nyari tau tentang dia dan ternyata dia udah bikin lumayan banyak buku, salah satunya yang paling populer itu Hunting Season.

Enjoy the story!

Senja di JakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang