Yang Tak Diinginkan

1.2K 58 16
                                    

Di sudut ruangan itu tertata rapi buku-buku yang sering keluar masuk dari tempatnya, kesunyiannya seolah menjadi hal biasa di jam masuk pelajaran.

Seorang gadis masih sibuk dengan tugasnya merapihkan setiap buku pada tempatnya. Pekerjaan yang seharusnya bukan tugasnya. Satu mata pelajaran terlewatkan karena kesalahannya tak mengikuti extra kulikuler pramuka yang di adakan disekolahnya.

"Nai!!!" tegur Raisya saat melihat saudaranya sedang sibuk memasukan tumpukan buku dari dalam kardus ke rak kayu. Yang dipanggil menoleh, seketika dia tersenyum menampilkan gigi gingsul yang berada disebelah kiri.

"Sya? ngapain lo disini?"

"Seharusnya gue yang nanya itu, Nai. Ngapain dijam pelajaran seperti ini lo malah berkutat dengan buku-buku kotor ini?"

Lagi-lagi gadis berhijab itu tersenyum, dia tak risih dengan debu-debu yang menempel pada buku itu. Justru aktifitasnya seolah nyaman tak terganggu sedikitpun.

"Gue dihukum, gara-gara kemarin gak ikutan kegiatan pramuka. Pradananya sendiri yang ngehukum gue." jelas Naila tanpa menghentikan aktifitasnya. Raisya menggeleng-gelengkan kepalanya, heran dengan tingkah saudaranya itu.

"Ayah sama Ibu pasti kecewa. Lagi-lagi lo dihukum, Nai."

Naila mendadak membeku saat Raisya melontarkan pendapatnya, dibanding Raisya dirinyalah yang sering mengecewakan kedua orang tuanya itu.

"Kemarin gue ikutan murotal. Dari pada ketinggalan ngaji, lebih baik gak ikutan pramuka."

Acuh. Sangat acuh, Raisya hanya mengedikan bahu tanda tak tahu harus berkomentar apa. Dua detik kemudian gadis berkucir itu melenggang pergi dengan membawa buku yang hendak dibawanya. Naila melanjutkan kembali pekerjaannya sampai tak terasa jam istirahat tiba, dan para siswa siswi pun mulai berdatangan memenuhi perpustakaan sekolah.

"Nai... ke kantin yuk?"

Dira, memberi usul saat melihat temannya itu baru duduk ditempatnya. Wajah lelah terlihat jelas setelah Naila memasuki kelasnya.

"Enggak. Lo ajah gue cape. Mau istrihat terus ngejar pelajaran yang tertinggal." jawab Naila acuh.

Dira hanya menghembuskan nafas. Apa dia bilang? istirahat? ngejar pelajaran yang tertinggal? tapi dengan posisi wajah yañg dibenamkan ke atas meja, sudah menjelaskan kalau gadis itu hanya tidur. Astagfiruaallah...

___________

Naila POV

Aku yakin tak salah melihatnya, yang didepan gerbang sekolah adalah  Kak Rizal. Yah itu benar Kak Rizal, senyum diwajahku terbit, sudah lama sekali Kak Rizal tidak pulang dan kini dia ada disini, didepan sekolahku, menjemputku. Mungkin.

Aku setengah berlari menghampirinya, kaos berwarna putih dengan celana jeans hitam yang mengerucut dibagian bawahnya, menjadi tampilannya saat ini. Dia selalu jadi idola ku, karena hanya Kak Rizal yang selalu memikirkan perasaanku.

"Hei..." dia terkekeh saat aku sengaja menghambur ke pelukannya. Tak terasa air bening keluar tanpa permisi. Sudah lama aku merindukannya.

"Pasti mau menjemput Raisya?"
tanya ku spontan setelah ku renggangkan pelukanku pada tubuh tegapnya.

"Siapa bilang?" pertanyaan yang dijawab pertanyaan lagi.

"Jadi? Kakak kesini khusus untuk menjemputku?" aku menatapnya dengan wajah yang berbinar, saat Kak Rizal menganggukan kepalanya sebagai jawaban. Aku kembali memeluknya, mengacuhkan teman-teman sekolahku yang berlalu lalang dan memandang iri padaku.

"Kak Rizal?" seseorang memanggil, aku segera melepaskan pelukanku itu lalu  berbalik badan. Ku temukan Raisya dan Fatur berdiri tak jauh dari kami. Wajah Raisya tak terlalu bersahabat bahkan dia tak tersenyum, pada Kak Rizal sekalipun.

"Hai princess... pulang bareng bersama kami? atau diantar ke tempat les dulu?" Kak Rizal melewati ku dan menghampiri Raisya yang sedang cemberut lalu mengelus puncak kepalanya.

"Gak usah. Aku pulang bersama Fatur. Lagian Kakak kesini karena Naila bukan? KHUSUS UNTUK NAILA." dari nada bicaranya, sepertinya Raisya kurang suka jika Kak Rizal menjemputku. Aku diam tahu diri dan hanya memperhatikan mereka.

"Tadinya Kakak mau ngajak kalian berdua nonton di bioskop. Tapi, sepertinya princess yang satu ini lagi sibuk dengan temannya." nada Kak Rizal masih sangat lembut. Princess... itu panggilan Kak Rizal khusus untuk Raisya. Menggelikan? aku juga sama saat mendengarnya. Tapi, jika itu untuk Raisya, sangat pantas sekali. Dia cantik. Sangat cantik.

Aku memalingkan wajah saat menunggu Raisya yang sedang dibujuk oleh Kak Rizal supaya mau ikut dengan rencana Kak Rizal untuk pergi ke bioskop.

Alih-alih mencari pemandangan lain, tatapanku tak sengaja bertemu dengan tatapan Fatur. Sejak kapan dia memperhatikanku? aku buru-buru memalingkan wajah dan berbalik badan. Tak ingin lebih lama mendapat tatapan aneh dari teman sekelasku yang setahuku dia sangat dingin terhadapku. Lagi pula islam tak menghalalkan tatapan yang seperti itu. Karena termasuk kedalam zina mata. Naudzubilah himindzalik...

"Ya udah aku ikut. Tapi, naik motor bersama Fatur. Nanti kita ketemuan ditempat yang Kak Rizal kasih." Jawab Raisya dengan nada manja. Aku kagum dengan Kak Rizal yang selalu berhasil membujuk Raisya.

"Kenapa tidak naik mobil saja?" Kak Rizal memberi usul. Tapi, di tolak langsung oleh Raisya.

"Kak setelah ini aku langsung pulang saja. Aku lupa kalau sore ini ada janji dengan Kak Arya." potongku cepat saat Raisya dan Kak Rizal terus bercengkrama.

"Arya pengurus mesjid itu?"

Aku mengangguk menjawab pertanyaan Raisya. Kak Rizal menatapku heran, tapi pada akhirnya mengajakku pulang juga. Aku tahu Raisya tidak suka jika aku dekat dengan Kak Rizal, jadi aku membuat alasan palsu kalau aku memiliki janji dengan Kak Arya. Padahal sebenarnya tidak.

"Lalu nontonnya gimana? apa kita batalkan saja?" Kak Rizal menatapku bingung. Aku menggeleng cepat.

"Jangan dibatalkan, Kakak pergi saja, kan ada Raisya dan Fatur juga." jawabku sambil menatap Kak Rizal dengan penuh keyakinan.

"Memangnya kenapa gak mau ikut?"

"Aku kan sudah bilang. Kalau sore ini aku punya janji dengan guru ngajiku itu." Kak Rizal hanya menganggukkan kepala.

___________

Sampainya dirumah, Ibu menanyakan tentang Raisya, dia sempat memarahi Kak Rizal kalau kami meninggalkannya. Padahal nyatanya tak seperti itu.

"Kak... kamu tahukan Raisya gak boleh naik motor, kenapa kamu gak paksa aja dia ikut bersama kalian. Atau setidaknya Naila yang naik motor. Ibu yakin Raisya terpaksa ikut bersama temannya karena kamu hanya menjemput Naila." aku tak sengaja mendengar omelan Ibu saat menaiki anak tangga. Apalagi ini? kadang aku selalu sedih jika Ibu selalu lebih memperhatikan Raisya. Padahal anak bungsu disini bukan dia. Tapi, aku.

"Raisya sendiri yang menolaknya, Bu. Lagian Kakak juga mau ketemu lagi sama dia di bioskop. Jadi, jangan terlalu khawatir." aku terus melangkah menuju kamar diiringi suara Ibu dan Kak Rizal yang membuat hati ku sakit kala mendengar mereka memperdebatkan tentang Raisya.

Terkadang aku sering berfikir, apa yang membuat Raisya begitu disukai banyak orang. Apa karena dia pintar? atau cantik?

Lama sekali aku termenung didalam kamar. Seragam sekolah belum ku ganti. Otak ku sibuk memikirkan tentang siapa aku sebenarnya dirumah ini. Apakah aku anak yang tak diinginkan?

"Naila... Naila..."

Aku terlonjak kaget saat suara ibu memanggilku dengan nada keras. Reflex aku menjawab dan segera membuka pintu kamar ku.

Ku lihat Ibu berdiri didepan kamar dengan menyerahkan secarik kertas putih yang segera ku ambil. List belanjaan yang harus ku beli sore ini. Seperti biasa. Aku yang selalu melakukannya. Yah selalu aku.

"Ibu sangat memerlukan bahan-bahan itu untuk memasaknya. Pilih daging yang bagus, bagian paha dan dadanya"

Jelas Ibu padaku. Setelah itu dia segera turun ke lantai bawah. Aku masih mematung di depan pintu kamar, mataku mengikuti langkahnya yang semakin lama semakin tak terlihat.

Ada setitik hantaman kecil didadaku. Rasanya sakit. Selalu sakit. Ibu... aku merindukanmu. Aku rindu Ibu menghawatirkanku, aku ingin Ibu perhatikan.







Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 05, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Aku Bukan Anak PungutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang