Perfect?!

31 0 0
                                    


Pagi yang cukup damai pada awalnya sampai aku menyadari telepon selulerku mati dari kemaren siang, ini pasti akan menimbulkan masalah. Dan tebakan ku tepat sasaran, alat komunikasi ini menayangkan banyak pemberitahuan dan lebih setengahnya adalah dari dia. Perlu kesabaran ekstra untuk menunggu sampai alat komunikasibutut ini bisa bekerja semestinya setelah menerima bom pesan.

Jemariku mulai menari membuka pesan-pesan yang dia kirim. Aku hanya bisa tertawa renyah membayangkan bagaimana ekspresi wajahnya saat membuat semua pesan ini, tapi aku menyukai sifat itu. Baru beberapa saat aku akan mulai mengetik beberapa kata ajaib untuk membalas semua bom pesannya, foto orang itu terpampang di layar 4,5 inci tersebut.

"Aku udah di depan, kamu siap-siap. kita akan keluar." Ucapnya dari seberang telfon dengan suara dingin serta langsung memutuskan percakapan tanpa menunggu reaksiku.

Cukup dengan waktu setengah jam aku bersiap-siap untuk menemui sang pangeran yang masih terus bersemayam di hati dan pikiran. Saat aku melihat dia bercengkrama dengan ayah tidak terlihat sedikitpun ekspresi kesal dari wajahnya apalagi ekspresi bom yang akan meledak. Aktingnya benar-benar mengalahkan aktor-aktor tanah air, menyebalkan.

"Aku sudah siap," laporku.

"Om saya izin pinjam Diranya dulu ya Om," izinnya pada ayah.

"Emang aku barang yang bisa dipinjam," gerutuku. Aku pasang wajah sejutek mungkin, emang dikira hanya dia yang bisa akting, me too. Tapi aku hanya dapat tatapan aneh dari ayah, dan dia hanya terseyum kecut menanggapi akting burukku, ah lagi-lagi menyebalkan. "Yaudah, Yah Dira izin pergi dulu," salamku diikuti mencium punggung tangan yang sangat berarti dalam sejarah hidupku.

"Ray jagain Diranya ya jangan sampai lepas, dia anaknya suka kabur-kaburan." Seperti biasa ayah selalu menggodaku saat akan pergi dengan dia.

"Siap om, kita izin dulu."

Kemudian dia membawaku ke sebuah restaurant tempat biasanya. Selama perjalanan tidak ada percakapan yang dimunculkan, mungkin dia sedang berkonsentrasi dengan setirnya atau memang sudah kehabisan topik karena tertutup dengan pertanyaan yang akan diintrogasinya nanti kepadaku. Aku siap kok Ray, apapun pertanyaanmu jawabannya tetap sama aku mencintaimu apupun alasannya.

Setelah sampai di tempatpun dia belum juga memulai ritual yang mungkin sudah dia persiapkan. Suasana masih dingin, dia memegang buku menu dan aku juga. Biasanya ritual itu aku yang memegang penuh kendali sebab seleranya buruk dan boros.

"Kamu tahu ya kalau aku belum sarapan, kamu belum sarapan jugakan? Biar aku yang pilihkan menunya." Agar kebekuan ini bisa sedikit dicairkan. Mau tidak mau aku yang harus memulai karena akulah penyebabnya. Tanggapannya masih dingin, tapi setidaknya dia sedikit bereaksi dengan menganggukkan kepala.

Setelah proses pemesanan selesai. Aku mencoba menatap manik mata coklat tua yang terus membuatku masuk lebih jauh ke dalam jurang yang ia buat. Aku terus menatap manik itu hingga dia merasa risih akan tindakanku, sempat kedua manik kami bertemu walau dia kembali berpaling.

"Aku minta maaf ya Ray, kemaren aku benar-benar lupa mengisi baterai handphone. Hanya masalah semacam itu kamu nggak mungkin sediam ini. Apa ada masalah lain Ray?"

Akhirnya dia bereaksi dengan apa yang kukatakan, dengan sedikit menarik napas panjang dia mempersiapkan kuda-kuda. "Kamu bilang hanya Ra? Hampir seharian kamu tidak bisa dihubungi. Aku mengkhawatirkanmu, aku menghubungimu berkali-kali tapi tidak ada jawaban. Aku tidak berani bertanya pada ayahmu karena takut beliau juga akan khawatir. Aku menghubungi beberapa temanmu tapi tidak ada yang tahu. Kemudian aku ke rumahmu tapi kata mbak kamu belum pulang. Aku mendatangi beberapa tempat biasa kamu ngumpul bareng temanmu tapi kamu tidak ada di sana." Dan akhirnya dia meledak juga walau dengan nada yang tidak begitu keras dan membentak.

Perfect?!Where stories live. Discover now