2. Penculikan

4.8K 314 32
                                    

Madaharsa dibangunkan dengan suara ribut yang berasal dari luar kamarnya. Bergegas dia bangun, mengucek matanya, menyesuaikan pendengarannya, lalu turun dari ranjang. Madaharsa dibuat terkejut dengan anjing besar yang sekarang berada di tengah-tengah ruang tv. Ruangan ini biasanya dipakai untuk kumpul bersama sesama penghuni kos. Lebih banyak saat weekend, mereka bertukar cerita sambil sesekali bercanda. Sofa nyaman berwarna biru navy, tempat biasanya Wulan bergelung dengan laptopnya dan sesekali menyeruput tehnya, kini sudah dalam posisi terbalik, dengan beberapa kerusakan akibat koyakan.
"Mada awas!" Bu Mayang yang menyadari kehadiran Mada langsung memindahkan Mada ke sisinya dengan teleportasi, begitu anjing besar itu berusaha menyerang Mada. Yang membuat Mada kebingungan. Bagaimana Bu Mayang tadi melakukannya? Jadi, Bu Mayang juga mempunyai kemampuan supranatural? Sama seperti dirinya? Belum sempat Mada fokus kembali dengan keadaan sekitarnya setelah diteleport begitu saja, anjing seukuran kuda itu keburu menyerangnya kembali. Anjing besar itu seakan-akan mempunyai dendam pribadi terhadap Mada. Matanya berwarna merah gelap, menyalak galak terhadapnya. Mada entah mengapa bisa memanfaatkan kemampuan telekenisnya untuk membuat anjing itu diam tidak bergerak di udara, seperti di pause. Di saat itulah, Wulan menusuk anjing itu dengan pisau yang terbuat dari perak. Kedua mata Mada melotot saat anjing besar tersebut mengkaing-kaing, hingga perlahan berubah menjadi manusia. Ya manusia! Karena terdistraksi, Mada menjatuhkan entah mahkluk apa itu ke lantai, menimbulkan bunyi gedebuk yang nyaring. "Dia segawon, salah satu siluman kelas menengah," Bu Mayang menjelaskan sambil menarik tangan Mada. Mada yang bingung dan shock, hanya bisa mengikuti kemana Bu Mayang menggeretnya. Bu Mayang setengah memaksa, memasukkan Mada ke mobil di kursi belakang.
Di mobil, Mada masih mencerna apa yang baru saja terjadi. Serangkaian kejadian tadi membuatnya tidak hanya bingung namun sedikit trauma. Walaupun anjing besar itu berusaha menyerangnya, namun melihat anjing jadi-jadian itu dibunuh di depan matanya, membuat Mada mual dan muak. Perasaannya kacau.
Di dalam mobil hanya ada Bu Mayang, Imam dan Mada. Wulan sendiri masih berada di rumah untuk melakukan pembersihan. Melenyapkan mayat segawon dan membuat rumah kos mereka terlihat baik-baik saja.
"Mereka sudah tahu keberadaan Mada," Bu Mayang terlihat berbicara dengan panik namun berbisik di telepon. "Iya! Ini kita lagi ke sana! Suasananya genting!" wajah Bu Mayang nampak kesal dan marah. "Itu sebabnya dulu aku tidak setuju! Seharusnya Mada mendapatkan pendidikan sihir yang layak! Dia atherion!" Bu Mayang mengumpat beberapa kali, "kejadiannya tidak akan seperti ini jika Mada diajari sihir!" Mada sedikit berjengit. Atherion seperti buku yang dia baca semalam? Atherion yang memiliki kekuatan untuk meminjam kekuatan alam? Yang benar saja!
Percakapan di telepon itu didominasi oleh teriakan-teriakan dan caci maki Bu Mayang. Imam yang berada di belakang kemudi, hanya diam, sesekali melirik ke belakang, menengok Mada yang masih dalam kondisi trauma. Mobil mereka memasuki perumahan Gading Villa.
***

"Selamat datang Yang Mulia Madaharsa Ararya, ─"
"Nanti basa-basinya, Aga!" Bu Mayang menyela orang yang baru saja menyapa Mada. Aga bertubuh jangkung dengan wajah imut. Wajahnya menampilkan rasa penasaran yang tinggi ketika menatap Madaharsa. "Dimana Pandu?"
Aga mengedikkan bahu kanannya, seperti kode, karena Bu Mayang langsung berjalan cepat, meninggalkan Mada sendirian. "Tenang saja, di sini aman. Tempat ini dilindungi oleh sihir," kata Aga lebih ke Mada karena melihat remaja tanggung itu nampak kebingungan. Sementara Imam langsung menelepon, mengecek kondisi Wulan. "Yuk ikut aku." Mada secara naluriah mengikuti Aga. Membaui pemuda jangkung tersebut, yang mengeluarkan aroma vanilla lembut. "Aku baru saja selesai membuat muffin, mau coba? Enak kok," kata Aga lagi, kali ini sambil tersenyum.
Senyum itu menenangkan Mada entah bagaimana. Aga membawa Mada ke dapur, terdapat kitchen set yang lengkap. Oven masih menyala dan mengeluarkan wewangian kue yang langsung membangkitkan nafsu makan Mada. Dia belum sarapan saat anjing besar itu menyerang kos-kosannya tadi pagi. "Susu atau jus?"
"Susu," itu kata pertama yang keluar dari mulut Mada pagi ini. "Sedikit ditambah garam," pintanya lagi. Aga tersenyum. Mengambil beberapa muffin, meletakkannya ke dalam baki kecil, Aga mengambil gelas, lalu menuangkan susu, dia taburi sedikit garam dan mengaduknya, sebelum segelas susu itu bergabung bersama muffin di atas baki kecil. "Selamat sarapan," ujarnya. Masih dengan senyum ramah tersungging dari bibirnya. Membuat wajahnya nampak bocah sekali.
"Ada yang aneh?" tanya Mada saat Aga masih memandanginya dengan tatapan antusias.
"Aku belum pernah melihat atherion sebelumnya," jawab Aga lugas.
"Aku bukan─"
"Atherion?" potong Aga. Mada mengangguk ragu. "Sayangnya iya, kamu adalah atherion."
"Aku tidak bisa sihir," debat Mada. Atherion adalah penyihir murni yang kekuatannya setara dengan bangsawan setan dan dewa-dewi, menurut buku yang Mada baca dan Mada merasa tidak memiliki kekuatan sebesar itu.
"Belum," sahut Aga mantap. "Kayak orang yang punya bakat main gitar, tapi kalau nggak diberi gitar dan diajari bermain gitar, gimana dia bisa nunjukkin bakatnya, coba?" Mada merasa analogi ini ngaco namun ada benarnya. Mada diam saja dan memilih untuk mengunyah muffinnya, tidak mengomentari analogi ngaconya Aga.
Setelahnya, Aga benar-benar menjadi tour guide yang menyenangkan untuk Mada. Dia bahkan mengijinkan kamar mandinya untuk dipakai Mada. Ajaibnya, Aga juga sudah menyiapkan pakaian ganti yang somehow pas di tubuh Mada.
Setelah agak siang, Aga membawa Mada untuk menemui Pandu, orang yang tadi disebut-sebut oleh Bu Mayang. Aga hanya mengantarnya hingga pintu, Mada masuk sendiri. Mendapati dirinya ditunggu oleh lima orang pria berpenampilan necis. Bu Mayang ada di antara mereka. Mereka menundukkan kepalanya saat Mada masuk. Satu diantara mereka bahkan seperti ingin menangis. "Selamat datang kembali, Yang Mulia Madaharsa."
"Yang Mulia?" Mada sedikit kebingungan.
"Dia masih sangat muda," kata satu orang yang dari tadi nampak sekali ingin merangkul Mada. Dia lalu berjalan tergesa menghampiri Mada, matanya berkaca-kaca. "Sudah sarapan?" tanyanya lembut, "Namaku Tristan," ucapnya sambil menggenggam tangan Mada. "Kamu mirip sekali dengan ibumu."
"Tristan," Pandu berbicara dengan nada dalam. Dan seperti tersadar, Tristan kembali ke dalam posisinya. Namun dia masih sempat melemparkan senyumnya untuk Mada. "Aku secara pribadi meminta maaf atas kejadian pagi ini, Madaharsa. Seharusnya pelindung itu tidak bisa ditembus oleh siluman menengah."
"Pasti ada penyihir tingkat atas yang terlibat! Kan aku sudah bilang!" Bu Mayang berkata dengan gusar.
"Mayang, di Indonesia, penyihir tingkat atas sangat jarang," jawab Pandu. "Bahkan di dunia sekalipun," tambah Pandu dengan nada sedu, "kamu tahu alasannya."
"Aku sedang bersama lima penyihir tingkat atas saat ini," ujar Bu Mayang sambil menatap satu per satu pria di hadapannya.
"Lancang! Kau menuduh salah satu dari kami berkhianat?" satu pria yang duduk disamping Pandu berdiri, matanya menyiratkan ketidaksukaan atas tuduhan Bu Mayang. "Beraninya kau!"
"Kalau begitu, bisakah salah satu dari kalian menjelaskan mengapa aroma Mada bisa dibaui siluman kelas menengah?" Aroma? Mada tanpa sadar menciumi tubuhnya sendiri. Perasaan Mada, aroma tubuhnya tidak begitu terlalu berbeda dengan aroma manusia kebanyakan. Di usia remajanya, Mada sudah memakai deodoran untuk mengurangi bau badan. Jadi Mada bingung sendiri dengan apa yang dimaksud oleh Bu Mayang.
Tristan tersenyum melihat tingkah Mada. Dia lalu menjelaskan bahwa setiap penyihir murni memiliki aroma yang memikat.
Eloqui misalnya, memiliki wewangian yang bisa membuat mahkluk dunia bawah gila, seperti zat addictive. Begitu juga dengan Illuminem yang memikat untuk kalangan kahyangan. Bahkan ada rumor, ada salah satu Illuminem yang berhasil memikat malaikat, dan mereka jatuh cinta lalu memiliki anak. Hanya rumor. Kebenarannya tidak bisa dibuktikan. Atherion memikat dunia manusia. Rata-rata hewan, tumbuhan, akan terpikat oleh aroma atherion. Tetapi pada dasarnya, ketiga penyihir murni memiliki aroma berbeda yang bisa menarik perhatian. Baik dunia atas maupun dunia bawah. Manusia juga mudah terpikat dengan atherion. Dan seperti biasa, penyihir murni dianugerahi penampilan fisik yang indah.
Energi sihir yang diberikan langsung oleh Sang Sumber, terefleksi di keindahan fisik tubuh mereka.
Tristan sendiri masih mengamati Madaharsa. Rambutnya yang berwarna hitam segelap malam, begitu juga dengan alis, bulu matanya yang panjang, dan matanya yang bulat. Bibir bawah Mada sedikit lebih besar dari bibir atasnya, berwarna merah muda. Philtrumnya bulat. Dia seperti Resha versi lokal dan laki-laki. Tristan bertanya-tanya, apakah semua penyihir murni akan terlahir mirip dengan pendahulunya? Tristan merupakan penyihir paling tua, sekaligus pemimpin coven ini. Dia tahu Resha Valentine. Atherion yang dibunuh di usianya yang baru menginjak delapan belas tahun.
Terbunuhnya Resha di masa lampau mempengaruhi keputusan yang dibuat oleh coven ini saat tahu atherion terlahir di dalam coven mereka. Tidak ingin kejadian yang dialami Resha dan covennya melanda coven ini juga, para tetua memutuskan untuk 'membuang' Mada ke dunia manusia. Berharap dengan begitu, bangsa bawah dan bangsa atas tidak akan menghancurkan coven mereka seperti yang mereka lakukan kepada coven milik Resha. Namun menilik garis keturunan Mada, mereka tidak ingin membuang Mada begitu saja. Memantau pertumbuhannya, mengirim Bu Mayang, Wulan dan Imam untuk melindungi Mada. Namun baru berusia enam belas, Mada sudah ketahuan. Sekarang mereka semua kebingungan.
***

"Phemastos . . . incendia . . ." api itu muncul melahap kayu bakar di dalam perapian. Aga bergumam wow berkali-kali. Sedangkan Mada terkejut dengan apa yang bisa dia lakukan. Aga mengajarkan mantra tersebut tadi.
"Aku baru bisa memunculkan percikan api," Aga berkata. Sedikit iri dengan bakat yang dimiliki Mada. Dia baru mencoba sekali namun sudah berhasil mengundang kobaran api. "Atherion memang beda," Aga tersenyum. "Mau mencoba sesuatu yang lebih asyik?" tanyanya lagi.
Mada, seperti remaja kebanyakan, langsung mengangguk. Keingintahuannya sangat besar. Penasaran dengan apa yang akan Aga ajarkan padanya. Mereka berdua berjalan ke dalam bangunan yang lebih dalam. Ketiga ada persimpangan, Mada mengikuti Aga belok ke kiri. Di hadapan mereka, terdapat lukisan besar, menggambarkan peperangan. Nampak laki-laki berkuda dengan pedang, perempuan menjerit. Lukisan itu membuat Mada tidak nyaman. Aga merapalkan mantra, membuat lukisan di hadapan mereka terbuka, membelah dua, menampilkan tangga spiral di hadapan mereka. Terkagum-kagum, Mada mengikuti Aga yang terus berjalan menuruni tangga.
"Terowongan ini dulu dipakai para penyihir pendahulu untuk kabur saat tempat ini dibakar oleh manusia." Aga mengamati wajah Mada, "engga semua manusia itu baik. Begitu juga dengan penyihir."
"Kenapa enggak dilawan?" sahut Mada gusar. Jika dilihat dari kemampuan penyihir, mengalahkan manusia bukanlah hal yang sulit.
"Kalah jumlah," Aga menyuruh Mada untuk menyalakan obor dengan mantra. Lagi-lagi, lelaki tersebut dibuat kagum dengan kecepatan Mada mempelajari mantra. "Kamu lihat sendiri, selain penyihir atas, atau penyihir murni, kami penyihir biasa tidak begitu kuat. Beberapa dari kami ahli dalam ilmu penyembuhan, atau meramal, selebihnya, kami membutuhkan energi lebih. Bisa dibayangkan jika kami harus melawan manusia, dengan jumlah mereka yang sangat banyak. Penyihir tingkat atas selalu menyarankan kami agar tidak bersinggungan langsung dengan manusia. Jika memungkinkan, bergerak di belakang layar," Aga menerangkan panjang lebar.
Mereka berdua menuruni tangga spiral tersebut hingga anak tangga terakhir membawa mereka ke dalam sebuah aula besar. Mada melihat ada beberapa remaja yang sedang berlatih sihir. "Ini tempat kami berlatih," jelas Aga. Namun Aga tidak berhenti di situ. Pemuda jangkung tersebut membawa Mada berjalan lebih jauh, menelusuri lorong yang cukup pengap. Aga membuka pintu di ujung lorong dengan kedua tangannya. Dia tersenyum senang ketika dilihatnya Mada menatap pemandangan di balik pintu dengan tatapan takjub. "Indah bukan?"
Mada mengangguk dengan semangat. Mada tidak menyangka bahwa dibalik lorong yang pengap terdapat taman yang begitu indah dengan udara yang segar. Di tengahnya terdapat pohon besar, yang seperti mengalirkan energi yang tidak ada habisnya. "Para penyihir percaya, pohon itu adalah peninggalan terakhir Qetsiyah," kata Aga ketika Mada menyentuh pohon besar tersebut dan merasakan suatu energi besar memasuki tubuhnya.
"Jadi kau berhasil membawanya."
Mada langsung menoleh ketika mendengar suara yang tidak asing namun bukan suara milik Aga. dia adalah tetua yang tadi tidak terima dengan perkataan Bu Mayang. Kini menatap Mada dengan tatapan bersalah namun juga tatapan lapar. "Maaf Mada, no hurt feeling ya? Tapi kamu adalah salah satu bagian dari rencanaku," kata tetua tadi sambil mengibaskan tangannya dan membuat Mada ambruk tidak sadarkan diri. Tetua tersebut lalu menoleh ke arah Aga. "Ini janjiku," katanya sambil meletakkan tangannya ke atas kepala Aga. Yang membuat Aga langsung merasakan energi baru masuk ke dalam tubuhnya. "Sekarang, kau bisa balas dendam kepada orang-orang yang sudah membulimu," kata tetua itu lagi sambil mendekati tubuh Mada yang masih tidak sadarkan diri. Tetua tadi lalu membawa Mada berpindah dengan teleport.
"Maafkan aku, Mada," lirih Aga ketika sang tetua sudah menghilang bersama dengan Mada.
***

DIPELUK KEGELAPANWhere stories live. Discover now