"Lo harus jujur sama gue VERONIKA!" Ucapnya dengan menekankan namaku. Aku tahu ini berbahaya, tapi bagaimana.

Aku menundukan kepalaku, aku takut. Astaga, tak bisa kah aku menghilang begitu saja? Aku tidak bisa jujur. Ini sama saja merusak semua yang aku punya, termasuk persahabatanku.

"Be, sampai kapanpun lo nunduk ga bakal kita temui akhirnya. Mending sekarang lo cerita sama gue atau gue pergi dari hidup lo se-la-ma-nya."

Aku mendongak ketika dia berkata seperti itu. Aku merasa seperti ada yang menusuk jantungku, aku tidak mau dan tidak ingin ini terjadi.

"Gue..." Haruskah aku jujur?

"Semua di dalam buku itu kenyataan ro." Akhirnya aku bisa menjawabnya.

Aku memang mencintai bahkan sejak dulu kita bersahabt, namun aku tidak bisa mengungkapkanya karena aku takut. Ini hanya akan membuat jarak di antara kita. Sentuhan hangat mengalir begitu saja di pipiku. Aku takut menghadapi kenyataan di depan yang akan terjadi denganku.

"Ssst, lo jangan nangis be." Ujarnya.

Aku pun membuka mata dan menghapus, mengapa? Mengapa aku harus menangis? bukankah everything will be alright?

"Kalau lo suka sama gue, gue minta lo buktiin sama gue."

Deg! Kata-kata itu langsung membuat aku diam sejenak, apakah ini pertanda?

"Bukti apa?" Aku membalasnya. Mataku tetap saja tertuju pada dirinya. Dia tersenyum,

"Gue mau lo sempurna di mata gue. Lo tahu seperti apa wanita idola gue? Gue harap lo seperti dia. Gue kasih lo waktu selama 1 bulan ini, dan kita tidak kontak ataupun bertemu."

Penjelasannya semakin membuatku terhantam. Jantungku seperti kaku,

"Baiklah, aku setuju."

Bodoh! Kata itu begitu saja keluar dari bibirku. Bagaimana sekarang? Aku tidak ingin kehilangan dia, tapi dia memberiku tantangan yang berarti sama saja aku harus mengikutinya. Karena kalau tidak semua akan hancur.

Loves make you stupid.

Setelah sore tadi berjalan dengan penuh jantung, aku bisa pulang. Aku hanya bisa terdiam di dalam kamarku. Memikirkan segalanya apa yang akan aku jalani ke depanya untuk mendapat dia. Aku bukan wanita cantik yang seperti dia inginkan, aku bukan wanita feminim yang ia inginkan. Lalu bagaimana aku bisa menjadi itu semua? Aku bukan wanita penyuka bunga seperti idamanya. Cinta ini benar-benar membuatku bodoh.

Dengan gampangnya aku bilang 'iya'. Padahal aku tahu itu terlalu berat untuk aku jalani, lalu bagaimana?

Aku biarkan saja air mata ini mengalir, menyusuri pipiku. Aku merasa aku tak bisa, tapi aku harus bisa.

I gave it up. But i guess it was enough.

Sudah dua minggu ini aku mencoba menjadi apa yang dia inginkan. Tapi sama saja, aku sudah mencoba untuk meminum obat peninggi, tapi hasilnya nihil. Hanya satu yang berhasil.

Aku mulai menyukai bunga tulip. Aromanya entah bagaimana bisa menimbulkan ketenangan di pikiranku. Hanya ini satu-satunya yang bisa membuatku fokus kembali pada apa yang ingin aku jalani. Aku sama sekali tidak mendengar kabar Vero.

Yah, ini lah yang sudah kita berdua sepakati sampai sebulan kedepan. Aku tidak akan pernah menghubunginya dan sebaliknya walau aku tahu ini sungguh menyakitkan. Bagaimana rasa rindu ini seperti ingin menususk dadaku hingga aku tak lagi bisa bernafas.

She watched me try.

Aku terus mencoba. Sebentar lagi adalah waktuku, aku ingin dia melihat perubahanku. Walau aku tahu ini tidak semencolok apa yang menjadi idamanya. Setidaknya aku sudah berusaha untuk berubah menjadi apa yan ia mau walau aku tahu, aku tidak menjamin apa hasilnya nanti.

Who Is (OneShoot)Where stories live. Discover now