One Call Away

Mulai dari awal
                                    

Aku menundukkan kepalaku sambil berusaha bernapas dengan susah payah. Sial. Apa semuanya harus berakhir di sini?

"Astaga Ivan, lo kenapa?"

Seseorang tiba-tiba masuk ke dalam gudang dan langsung menghampiriku. Dari suaranya, aku tau itu milik Gaby. Di balik tirai-tirai rambut sebahunya yang berjatuhan saat duduk dan menunduk untuk melihat wajahku, aku bisa dengan jelas melihat wajahnya yang berubah pucat.

"Are you okay?"

Aku ingin menjawab. Tapi rasanya susah sekali. Tuhan, haruskah aku menangis di depan cewek ini? "In... Ha... Ler. To... Long. Tas..." Aku berusaha menjelaskan. Semoga Gaby mengerti.

"Hah?" Gaby mengerutkan keningnya. Ayolah Gaby. Cepat. "Tas lo dimana?"

"Pin... tu. Lu... Ar. In... Ha... Ler. To... long. Gab."

Secepat kilat Gaby langsung bergerak ke luar dan mencari-cari tasku. Setelah menemukannya dia langsung membawa tas itu ke hadapanku dan mencari inhaler di depanku dengan tangan gemetar, panik.

Saat menemukannya, dia tidak langsung memberikannya padaku. Tapi Gaby membantuku duduk tegak dan menganggkat daguku. Membuka tutup inhaler, mengocoknya sebentar lalu memberiku perintah untuk menarik napas panjang. Setelah itu baru ia menyerahkan inhaler-ku.

Gaby juga membantuku memasang inhaler. Aku merapatkan bibirku dan berusaha bernapas melalui inhaler sambil menekan tombol untuk menyemprotkan obat.

Bisa kurasakan obat tadi menyentuh paru-paruku. Aku menahan napas beberapa detik lalu menghembuskannya. Setelah kurasa semuanya sudah baik-baik saja, aku melepas inhaler-ku.

Gaby langsung menerimanya dengan hati-hati lalu menutupnya. "Are you okay now?"

Aku berusaha tersenyum. Cewek itu langsung memasang tampang lega. Dan menaruh kembali inhaler-ku ke tempat semula. "Gue nggak nyangka lo ngerti cara make inhaler."

"Haha, kecil lah begitu doang," katanya lalu tertawa.

"Thanks, Gaby."

"Iya." Dia lalu mengacungkan jempolnya. "Lagian lo ngapain sih di sini?"

Ya ampun kenapa aku bisa lupa tugas Tania dan malah asyik ngobrol dengan Gaby?

Aku langsung berdiri dan mengambil kemocengku lagi. Saat tanganku sudah siap membersihkan alat-alat olahraga di depanku lagi, saat itu juga tangan Gaby menghalangiku. Apa-apaan dia?

"Lo gila ya?!" Matanya berkilat marah. "Lo barusan udah kayak orang pengen mati gitu terus sekarang lo tetep lanjutin perintahnya Tania? You stupid!"

"Apaan sih?!" Aku membentaknya "Nggak usah ikut campur! Bukan karena lo udah bantuin gue lo bisa ikut campur ya!"

Gaby merebut kemoceng di tanganku dengan kasar. Aku menatapnya marah. "Lo duduk. Biar gue yang lanjutin."

"Ap—"

"Lo milih gue rapiin atau gue acak-acak ruangan ini?" Aku bergeming. Dia menunjuk matras dengan kemoceng di tangannya. "Duduk."

Akhirnya aku menuruti permintaannya dan segera duduk di atas matras. Gaby mengambil masker hijau di saku roknya dan memakainya. Dengan cekatan dia membersihkan seluruh ruangan, menyapu, dan mengepelnya. Sementara aku hanya bisa menatapnya tak percaya saat gudang ini akhirnya rapi dan bersih.

Gaby melepas maskernya, menaruhnya di saku lagi, lalu duduk di sampingku. Saat aku ingin mengucapkan terimakasih dan langsung pergi, bisa kudengar saat ini Gaby sedang berusaha mengatur napasnya.

Behind Every LaughTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang