Bab 1

5.7K 439 12
                                    

"Darren Kevan. Panggil aja Darren."

Aku masih ingat gaya bicara dan nada suaranya. Sok akrab. Itu menurutku. Ramah sih. Aku paham, karena setiap hari menghadapi banyak orang. Aku tahu dia bekerja di sebuah kedai kopi. Aku biasa ke sana untuk menghabiskan sore, sepulang kerja. Hanya sekedar tahu dan aku tidak berminat untuk mencari tahu.

Dan siang itu, dua minggu yang lalu, mendadak Kania, teman kantorku dan aku kenal akrab, memaksaku untuk menemaninya ke kedai kopi tersebut. Aku tidak pernah berpikir jika dia akan mengenalkan aku dengan cowok itu. Tidak.

Kania juga memberikan nomor ponselku dengan alasan Darren merongrongnya. Dan hari-hariku selanjutnya bisa dibayangkan. Arena permainan Hysteria di Ancol bahkan kalah membuat jantung copot. Ada saja yang Darren lakukan untuk mendapatkan responku.

Mulai dari memberikan kopi cuma-cuma lengkap dengan art yang sempurna ketika aku berkunjung ke kedai kopi itu. Darren bekerja sebagai barista di sana. Lalu nekat duduk di hadapanku ketika memang jatah dia pulang datang. Menelponku tengah malam. Ucapan selamat pagi yang tak pernah absen. Perhatian-perhatian entah apapun itu.

Tapi sama sekali aku tidak memberikan respon hangat. Karena yang ada di otakku hanyalah, anak kemarin sore yang sedang mencoba mencari perhatian. Selebihnya ya sudah, lewat begitu saja.

Kania banyak cerita tentang dia setelah mengenalkannya padaku. Mulai dari perjuangannya keluar dari rumah. Selisih pendapat dengan ayahnya yang seorang dosen ekonomi. Ayahnya menginginkan anaknya terjun di dunia pendidikan juga. Sedang Darren bersikukuh mengambil kuliah jurusan IT. Itu membuatnya harus bekerja keras mencari uang sendiri untuk biaya kuliahnya.

Oke, sampai di sini, aku cukup memuji kegigihan anak itu. Tapi bukan berarti aku memberikan respon ramah untuk setiap caranya mencari perhatian. Entah apa yang anak itu inginkan.

Dan sore ini, kantorku menjadi geger gara-gara kedatangannya. Beberapa orang berbisik-bisik, adik siapa? Kakaknya mana nggak nongol-nongol. Kasihan nungguin dari tadi.

Ada juga yang menimpali, membuatku mengatupkan mulut diam-diam di hadapan laptopku dengan tatapan serius pura-pura tidak tahu. Bukan nyari kakaknya. Jemput pacarnya. Siapa ya pacarnya? Ganteng sih, banget. Tapi masih unyu.

Aku mengembuskan napas. Masih unyu itu mengarah pada umurnya. Aku tahu. Karena rata-rata perempuan yang bekerja di sini itu umurnya 24 tahun ke atas. Aku masih berusaha untuk diam di kursiku, bukan bekerja. Karena pekerjaanku sudah selesai beberapa menit lalu. Aku hanya berdiam menatapi lembar kerjaku.

Tapi kemudian, aku hampir tersedak napasku sendiri ketika Kania, berbeda divisi denganku, menyembulkan kepalanya di pintu, berseru hingga orang-orang di ruangan bersamaku, menoleh. Dia dan Darren tidak ada beda. Aku menggeram dalam hati.

"Nad! Nada! Pacarmu udah nungguin tuh di lobi!"

Seketika aku merasa duniaku berhenti. Aku terdiam tidak tahu kata apa yang harus kulontarkan untuk Kania. Terlebih ketika seluruh rekan kerjaku menoleh, menatapku dengan tatapan tidak percaya.

"Nad?"

Itu sebuah pertanyaan bernada meminta penjelasan atau sejenis klarifikasi dari Pak Jimmy, orang tertua di divisi kami. Beliau sesepuh kami meski bukan leader kami. Pria bermata sipit itu memberikan tatapan menelisiknya. Tatapan yang sama dari para rekan kerja satu divisiku.

Aku hanya bisa menggeleng. Tapi kemudian terduduk lemas ketika seseorang berbicara nyeletuk.

"Nad? Serius pacar kamu? Kayak masih bocah? Di sini banyak yang dewasa lho. Ini..."

"Nad! Buruan. Udah satu jam dia nungguin kamu!" seru Kania lagi.

Demi apa? Dia bukan pacar aku! Aku menjerit dalam hati. Hingga kemudian seseorang masuk membuat suasana semakin gaduh dan itu semakin menguatkan dugaan bahwa Darren, bocah sinting itu adalah pacarku.

I Love The Way You LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang