Benang Merah

396 15 9
                                    


Kudorong pelan sebuah pintu kayu yang sudah agak bobrok. Sudah cukup lama aku tidak ke sini, gudang di rumah orang tuaku. Tempatku menyimpan barang-barang lamaku yang tidak kubawa ke rumahku dan rumah suamiku.

"Uhuk," aku terbatuk karena ada debu yang memasuki lubang hidungku saat aku sedang membuka pintu dari sebuah lemari. Segera kututup hidung dan mulutku dengan sebelah tanganku. Dan aku kini hanya diam memandang isi lemari itu. "Sudah lama sekali," gumamku.

Aku hanya memperhatikan barang-barang itu, mencari kalau-kalau ada sesuatu yang bisa kubawa ke rumahku sekarang. Kemudian mataku menangkap sebuah punggung buku yang terselip di antara punggung buku lainnya, cukup menarik perhatianku. Aku sangat ingat, itu buku harianku semasa SMA.

Segera kuambil buku harian itu dan membersihkan debu-debu yang menghiasinya. Aku sudah lama mencari buku ini. Ternyata ada di sini. Kupikir aku sudah membawanya bersama novel-novel kesayanganku.

Aku membuka lembar demi lembar buku harian itu. Tersenyum ketika melihat goresan tinta pulpen yang sudah agak memudar itu. Kisah-kisah yang kutulis itu benar-benar membuatku ingin tertawa. Rasanya aku ingin menunjukan buku ini padanya.

Sampai akhirnya aku sampai di halaman belakang, di mana di halaman itu ada seutas benang rajutan yang kutempelkan di halaman itu. Pantas saja terasa mengganjal.

Aku tersenyum simpul. Benda yang sangat berharga untukku. Benda yang mempertemukanku dengannya. Benang merahku.

------------------------------------------------------

"Pagi!" seru Leyna sambil memasuki ruang kelasnya. "Pagi Ley!" sahut beberapa temannya. Leyna hanya tersenyum kepada mereka dan segera menghampiri kedua temannya yang sudah datang terlebih dahulu.

"Hai Ley!" sapa Dinda, diikuti oleh senyuman dari Tiara. "Seperti biasa, datang paling siang," sahut Tiara dan disambut tawa oleh Dinda. "Diamlah," kata Leyna sambil melempar tasnya di kursi di sebelah Dinda.

"Tasmu baru ya, Ley?" kata Dinda yang memperhatikan tas baru yang baru saja dilempar oleh Leyna. "Beli di mana?" tanya Tiara. "Ini enggak beli, tapi hasi rajutan terakhir alamarhumah nenekku," jawab Leyna dengan muka sedih.

"Ini hadiah yang diberikannya sesaat sebelum dia meninggal."
Dinda dan Tiara hanya berpandangan. "Tas ini harus kamu jaga baik-baik Ley," kata Tiara sambil menepuk-nepuk pundak Leyna. "Tentu saja. Ini adalah barang yang sangat berharga," sahut Leyna kembali tersenyum.
Tidak lama kemudian, bel masuk pun berbunyi tanda dimulainya pelajaran pada hari itu.

*****

"Eh, nonton anak futsal yuk!" ajak Dinda merajuk pada kedua sahabatnya. "Ngapain sih? Kurang kerjaan aja ngeliatin anak futsal," sahut Leyna sambil merapikan perlengkapan sekolahnya.

"Ayolah, aku ingin melihat dia," bujuk Dinda memasang wajah memelas. "Ya ampun Din, kamu benar-benar sedang jatuh cinta," seru Tiara sambil tertawa. "Padahal cuma cinta monyet," sambung Leyna yang juga tertawa. "Diam!" jerit Dinda dengan wajah merah padam. Tiara dan Leyna hanya tertawa melihatnya.

"Oke, oke, ayo kita lihat anak futsal. Kita temani teman kita yang sedang jatuh cinta ini," kata Leyna sambil berlari menghindari cubitan Dinda.

"Kau! Cepat sini!" seru Dinda mengejar Leyna. "Tidak mau!" balas Leyna sambil menjulurkan lidahnya ke arah Dinda tanpa melihat ke depan.

Brugh.

"Eh, sori, sori," ternyata Leyna menabrak seorang laki-laki yang berjalanan berlawanan arah dengannya. "Lo gapapa kan?" tanya anak laki-laki itu. "Ah, tidak apa-apa kok kak," jawab Leyna bangun dari jatuhnya.

Benang MerahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang