1. Day-1

7.2K 483 17
                                    

8 tahun yang lalu, di sebuah sore yang mendung dan berawan, aku ingat pernah bertanya pada ibuku tentang Arvalond. Kemudian ibuku menceritakan sedikit. Namun dia berkata bahwa suatu saat nanti aku pasti akan mengetahuinya sendiri.

Aku tau, kata-kata ibuku akan terbukti. Sebentar lagi aku akan mengikuti Arvalond. Sejujurnya, membayangkannya saja sudah membuatku merinding. Dari cerita-cerita yang beredar, ujian ini tidaklah mudah. Memang sih, bukan berarti tidak dapat dilewati, tapi terdapat banyak rintangan yang harus dilalui. Dari cerita yang beberapa kali kudengar, katanya tidak sedikit yang gugur atau terpaksa mendekam di Black Mountain selama setahun.

Sebenarnya, bagiku kedua resikonya sama buruknya. Namun, jika harus mendekam di Black Mountain, setidaknya aku akan keluar dari sana setelah satu tahun berlalu. Tapi bagaimana jika aku gugur? Ah, membayangkannya saja sudah membuatku bergidik ngeri.

Perkenalkan, Aku Sharon. Sharon Eliesse. Usiaku saat aku bertanya pada ibuku 8 tahun yang lalu adalah 10 tahun. Artinya, sekarang aku berusia 18 tahun. Dan artinya juga, dengan usiaku sekarang, aku sudah dianggap siap mengikuti Arvalond. Aku menghela napas panjang. Membayangkan bahwa hanya tersisa 3 hari lagi sebelum aku berangkat ke Greenland, tempat dilaksanakannya Arvalond.

Aku berjalan ke arah tempat tidurku, dan menghempaskan tubuh ke atasnya. Oh sial! rutukku. Dalam keadaan tegang dan khawatir seperti ini aku merasa kehilangan semua informasi-informasi yang telah diberikan guruku. Informasi seperti apa saja yang ada di Arvalond, apa-apa saja yang harus dilakukan di sana, dan semua-semua yang penting. Semuanya yang sudah susah payah kuhafal dari catatan setebal 5 sentimeter. Semua yang penting, menghilang dari otakku. Tenang, tenang! Aku harus tenang.

Kurasa dengan membaca ulang catatanku bisa membantuku mengingat lagi.

Dan, oh! Mungkin bermain di danau bisa membantuku mengembalikan informasi-informasi itu. Maka aku bangkit dari tempat tidurku, mengambil catatan tebalku di atas meja, kemudian menyambar mantelku, dan segera bergegas menuju danau yang tak jauh dari rumahku.

Aku memandang sekeliling, suasananya sangat sepi dan sedikit misterius . Kemudian aku berjalan ke arah perahu dan menaikinya dengan hati-hati. Aku menaruh catatan di kakiku, lalu mulai mendayung perahu hingga ke tengah danau.

Aku memejamkan mata, mencoba berkonsentrasi. Setelah beberapa detik, aku membuka mataku dan mengangkat tanganku, mengarahkannya ke arah air.

Perlahan, aku menggerakkan tanganku ke atas, dan air mulai naik membentuk sebuah gelembung panjang mengikuti irama gerak tanganku. Aku menggerakan tanganku naik turun, kesamping, dan membentuk setengah lingkaran. Dan aku sangat menikmati gerakan air yang terbang kesana kemari mengikuti tanganku.

Jadi, ini namanya "bakat". Kemampuan khusus seorang Grieden. Bakat ada banyak macamnya. Seperti bakat api, bakat udara, bakat tanaman, bakat es, bakat air, dan banyak sekali. Aku sendiri terlahir dengan bakat air.

Bakat biasanya berasal dari keturunan. Dan bakat sama seperti ilmu lainnya, seperti belajar berjalan, belajar membaca, ya seperti itu. Pada awalnya kita tidak akan langsung bisa. Tapi harus berlatih terus agar dapat menguasai bakat kita dengan baik.

Aku membaringkan tubuhku di perahu. Menatap langit sore yang bergradasi biru keunguan lembut. Danau ini ada di tepi hutan. Keindahan dan kesunyiannya membuatku sangat suka kesini. Aku menggerak-gerakan tanganku dengan perlahan dan air bergerak pelan di atas wajahku.

Aku teringat akan catatanku, dan memutuskan untuk membacanya.
Namun perhatianku terus terarah gerak air yang bergerak pelan, sampai akhirnya gerakan itu berhenti sendiri bersama dengan kesadaranku yang terbang dengan mimpi.

***

"Jadi, bagaimana? Apakah kau sudah siap untuk besok?" tanya ibuku sambil mengaduk sup.

"Oh... ya tentu saja." aku berusaha menjawab setenang mungkin. Padahal kenyataannya, hatiku menjawab tidak, tidak sama sekali.

Aku merasa sangat bodoh. Jika mengingat 3 hari yang lalu. Saat aku pergi ke danau untuk menenangkan otakku demi mendapatkan kembali informasi-informasi itu. Tapi apa yang terjadi adalah aku tertidur. Dan terbangun pukul 7 malam dengan keadaan bingung. Dan pergi dengan melupakan catatanku.

Selamat tinggal catatan 5 sentimeterku!

"Tenangkan dirimu, Shar. Itu tidak akan sesulit yang kau pikirkan." tiba-tiba ibuku sudah berada di meja makan sambil membawa mangkuk sup jamur.

"Yang penting adalah kau percaya kalau kau pasti bisa" tambahnya.

"Iya Bu. Aku hanya.... sedikit khawatir" tanpa sadar aku meremas-remas tanganku, "bagaimana kalau aku gagal, aku gugur, atau aku-"

"Jangan konyol seperti itu . Kau seperti kalah sebelum berperang" ibu memotong ucapanku.

Aku hanya bisa mengangguk lesu.

"Baiklah, mari kita makan dulu" Ibu menggeser kotak ke tepi meja makan. Setelah makan kau bisa bertanya sepuasmu" ibu tertawa kecil.

"Iya Bu. " aku hanya mengangguk, "Oh ya, di mana ayah dan Nic?". Nic alias Nicholas kakak yang sangat menyebalkan tapi sebenarnya aku menyayanginya.

"Mereka bilang tidak usah menunggu mereka. Ada urusan penting katanya. Ah, tapi jangan khawatir sayang. Besok mereka akan ikut mengantarmu ke LockGate "

Aku hanya tersenyum kecil, sambil menyedokkan sup ke mulutku. Berharap kehangatan sup dapat memberikanku ketenangan.

Besok!  seruku dalam hati.

The Chronicles of ArvalondWhere stories live. Discover now