"Tuh Tathia. Untuk cewek seumuran dia harusnya sudah punya anak tiga!"

"Ih Setya sembarangan aja! Aku kan wanita modern yang berperinsip menikmati masa muda."

"Kamu udah gak muda!"

"Enak aja, aku baru 25!"

"Dua bulan lagi kan 26!"

"Sudah-sudah..." lerai Nila, yakin jika tidak ditengahi mereka akan terus saling mengejek. "Pakaian kalian udah selesai di kemas kan? Sekarang Ibu mau bantuin Ayah. Katanya kalian mau renang? Udah gak panas tuh."

"Setya mau renang asal Thia gak pakai bikini!"

"Dih kenapa? Jangan norak deh, ini Bali!"

"Gak ngaruh ini Bali atau bukan, aku gak mau mataku sakit ngeliat kamu!"

"Udah ah, Ibu pusing sama kalian!"

***

Jika kalian ditakdirkan bersama, kalian akan bertemu lagi, entah di manapun itu. Perkataan Ibunya terngiang di telinga Setya ketika dia melihat Hara di sana. Bersandar di kursi santai, menantang matahari sore yang sudah meredup. Kulitnya keemasan di banjiri sinar mentari. Setya tau, kulit itu selembut yang terlihat.

Beberapa kali Setya mengerjapkan mata, berharap apa yang ia lihat tidak salah, atau hanya sekedar bayangan, yang jujur saja, bayangan Hara kerap kali seperti mengikutinya.

Ternyata mereka satu hotel! Lalu untuk apa selama ini dia ke sana ke sini, mencari jejak-jejak gadis itu.

"Ngapain sih bengong? Mau duduk di mana?" Tathia menyenggolnya, menyadarkannya dari lamunan.

Kolam itu sepi, hanya ada beberapa pasang bule yang sedang berjemur. Dan Hara sendiri. Tempat di sisi Hara kosong, tapi hanya ada satu. Tathia pasti mengamuk jika Setya mengambil tempat di situ. Jadi mau tidak mau Setya mengambil tempat di sebrang tempat Hara, karena dua tempat di sisinya sudah terisi.

Tathia mualai mengoleskan lotion ke tubuhnya, sementara Setya lebih memilih diam, menatap Hara.

Gadis itu selalu sama. Bersikap seolah dalam dunia ini hanya ada dia sendiri. Tidak ada yang dia pedulikan, seolah tidak ada yang bisa menarik perhatiannya. Termasuk Setya. Setya yang selama ini menjadi pusat perhatian.

"Kamu gak pake sunblock?" tanya Thia.

"Ngga lah. Aneh, takut matahari kok mau berjemur."

Sunyi sesaat, sebelum Thia kembali bersuara. "Kamu kenapa ngeliaatin gadis itu terus? Jangan bilang...." suara Thia hilang, seolah adiknya itu takut untuk menyuarakan apa yang ada diotaknya.

Setya menoleh dengan dramatis, menatap Thia dengan senyuman mengejek yang tadi Thia lontarkan pada Setya. "Ya... aku menemukannya! Benar apa kata Ibu, jodoh gak kemana!"

"Jodoh emang gak kemana, tapi bakal kemana-mana kalau kamu di sini aja. Kenapa kamu ngga hampiri? Takut ditolak lagi?"

"Dia gak pernah nolak aku yah. Dia hanya bertaruh. Dan sekarang, aku yang menang dalam taruhan itu." Setya berdiri. Penuh dengan percaya diri, karena tau apa yang akan dia lakukan.

***

Hara merasa panas telah membakar kulitnya, namun dia tidak peduli. Kalaupun dia ingin kembali ke kamar, itu karena dia bosan dengan langit yang ia pandangi terus dari balik kaca mata hitam yang ia kenakan.

Ini sungguh membosankan. Tapi, untuk pulang kerumah, dia masih belum siap. Jangankan bertemu dengan Ibunya, mengangkat telpon wanita itu saja Hara belum siap.

"Ternyata kita bertemu lagi."

Suara dan gerakan yang berasal dari sisinya, membuat Hara menoleh, dan terkejut. Lelaki itu... Setya, jika dia tidak salah mengingat namanya. Lelaki itu duduk di sisi tempatnya, dengan santai menatap hara diiringi senyum superior miliknya.

Memories In BaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang