Personal Assistant

42.2K 1.8K 3
                                    

Tiffany POV

Aku mendorong pintu laundry. Menyebabkan bell yang digantung dipintunya berbunyi nyaring.
Aku langsung disambut pria setengah baya berkepala botak dengan senyum lebar yang kutebak merupakan pemilik dari usaha laundry ini.

"Selamat sore, ada yang bisa saya bantu?" tanyanya dengan senyum hangat.

Aku meletakkan kantongan berisi jas itu dimeja.

"Bisa ini siap besok?" ucapku menyodorkan jas yang sudah terbungkus rapi.

"Besok? Sejujurnya masih ada banyak pesanan lain yang menunggu, mungkin paling cep--"

"Saya tambahkan dua puluh dollar dari harga yang biasa. Bagaimana?" Potongku cepat, membuat Pria tua didepanku terlihat terkejut lalu dengan gagap mengiyakan. Sejujurnya aku sangat tidak rela me ghabiskan dua puluh dollar ku yang berharga di tanggal tua ini. Tapi ya sudahlah, aku tidak mau memperpanjang masalah dengan Christopher.
"Baiklah."
"Terimakasih. Kalau begitu saya akan kembali besok."

Aku keluar dari laundry itu. Berjalan menuju subway untuk pulang kerumah, kakiku terasa sangat pegal setelah Ms. Pam bolak balik menyuruhku ini itu.

"Tiff!" Aku menoleh mendapati adikku, Ellie. Berdiri disana dengan senyum mengembangnya.

"Kenapa kau disini?" Tanyaku.

"Ah, tidak. Aku tadinya mau pulang bersamamu karena kebetulan teman-temanku mengajakku makan didekat sini."

"Ah, Yasudah ayo."

Aku merangkulnya dan kami berjalan ke halte bus.

**

"Benarkah? Bagaimana wajahnya? Apa tampan?" Ellie bertanya dengan wajah berseri saat kukatakan kantorku kedatangan CEO muda kami yang selama ini menetap di kantor cabang di Paris.

"Baiklah. Dia memang tampan. Namun gayanya angkuh sekali," balasku sambil membuka bungkusan kripik kentang.

"Benarkah? Wahhh pasti keren! seperti di novel yang kubaca!!" Teriaknya antusias membuatku kaget dan hampir saja melempar pisau yang sedang kugenggam.

"Gila kau," Aku merenggut dan berjalan masuk ke kamarku.

Aku hanya tinggal berdua dengan Ellie dirumah ini. Rumah ini adalah warisan dari kedua orang tua kami.
Ini satu-satunya warisan yang ditinggalkan orang tua kami. Aku bersyukur sekali setidaknya kami masih mempunyai rumah ini sebagai kenangan dari mom dan dad.
Saat orangtua kami baru saja pergi, aku ingat sekali keadaan kami berdua kacau. Mulai dari Ellie yang depresi dan aku yang hampir depresi juga. Aku ingat saat itu Ellie hampir bunuh diri dengan memotong urat nadinya. Beruntung aku sempat menyelamatkannya. Sejak kejadian Ellie yang hampir bunuh diri, aku mulai tersadar dan perlahan bangkit dari semua masa kelam di hidupku. Aku mencari pekerjaan dan memulai hidup yang baru bersama Ellie. Memang tidak mudah, namun aku terus mencoba dan tidak menyerah. Akibatnya, kehidupan kami sudah jauh lebih baik sekarang. Ellie yang pendiam dan datar kini sudah tergantikan oleh Ellie yang sebenarnya, si ceria yang selalu tersenyum.

"Kak, ayo makan"

Ellie menyembulkan kepalanya dari pintu kamarku.

Aku mengangguk dan bangkit dari tempat tidur.

"Kurasa aku harus mandi dulu. Kau makanlah," dia hanya tersenyum dan menghilang dari pandanganku.

**

Keesokan harinya aku bangun pagi-pagi untuk membuat sarapan.
Setelah berpakaian rapih, aku keluar dari rumah dan berjalan ke halte bus.

Aku akan pergi ke laundry semalam untuk mengambil jasnya si -kaya-angkuh-yang- menyebalkan itu.

Extraordinary LoveWhere stories live. Discover now