Prolog

30.8K 979 18
                                    

Inilah musim salju terdingin yang pernah melanda Atlanta dari penghujung Desember hingga awal Februari menjelang dan itu menandakan Natal akan segera datang, semua orang tampak bersenang-senang untuk menunggu waktu itu-para anak kecil kebanyakan sedang menunggu para Santaclaus untuk mengantarkan kado terindah di depan kamar mereka. Biasanya, momen penuh kehangatan ini dirayakan dengan berkumpul di depan perapian, menikmati sup atau secangkir cokelat hangat. Tapi tidak dengan bocah lelaki berumur 5 tahun itu, dia masih berdiri di depan jendela kamarnya, memperhatikan butiran salju yang tampak seperti kapas putih itu jatuh bebas ke atas tanah, menutupi jalan dan bunga-bunga mawar yang sudah nyaris gundul di taman rumahnya. Seakan ikut terlihat hampa dan mati rasa.
Sama seperti hatinya.
Anak lelaki itu berdiri dengan wajah menempel di kaca, hembusan nafasnya berhembus membentuk uap yang mengepul lambat dan teratur lalu akhirnya lenyap ditelan udara dingin. Di manakah keajaiban Natal sebenarnya? Apakah ini kado yang diberikan oleh kedua orangtuanya : Perpisahan. Tangannya mengigil sembari memeluk lengannya sendiri berusaha menghangatkan tubuh, tapi tidak ada kehangatan yang mampu menembus kulitnya. Tatapannya terus saja memandang keluar kaca, tepat di depan rumah. Ada mobil yang tampak terisi penuh dengan barang-barang milik ibunya. Kelopak mata mungilnya mulai terpejam, lalu muncul sekelebat bayangan senyum milik wanita cantik bermata abu-abu, senyum ayahnya dan senyum dirinya juga di sebuah pantai. Kenangan itu secara perlahan bergerak merasuki, seperti arah jarum jam yang berlawanan. Seakan melihat semuanya dari mata orang lain.
"Tidak, Mom. Kau tidak boleh meninggalkanku," tiba-tiba saja anak kecil itu berteriak. Dia membuka mata dan menghambur keluar dari kamar sembari membuka pintu, mendorongnya kasar hingga membentur dinding. Dia berlari untuk mengejar ibunya berharap bahwa sosok itu masih ada di depan rumah. Kenapa semuanya harus berjalan seperti ini-padahal, bocah itu sempat berpikiran untuk merancang liburan Natal dan Tahun baru pergi ke Disneyland, seperti para teman-temannya kebanyakan, mereka akan menghabiskan seluruh waktu libur sekolah bersama keluarga mereka. Air matanya sudah menetes keluar dari kelopak mata, membasahi pipinya yang memerah. Tiap gerakan kakinya terdengar terburu-buru, nafasnya terasa sesak saat berusaha mencapai pintu rumah secepat yang dia bisa.
Dan di sinilah dia berada. Di depan pintu rumahnya yang megah, tapi apalah arti kemewahan jika tidak ada kasih sayang di dalamnya? Tentu saja hampa. "Mom, ada apa dengan barang-barangmu? Apa kau ingin pergi, ke mana Mom? Kau sudah berjanji untuk berlibur bersamamu, aku ingin menagih janjimu itu," bisiknya dengan suara lirih dan gemetar, berusaha menahan air mata yang mendesak untuk meluncur di pipinya. Wanita itu tersentak mendengar sebuah suara ke arahnya, ada anaknya di depan pintu, memandang kedalaman pupil matanya dalam sorot penuh harap.
Bocah itu membuka telapak tangannya, ada tanggalan yang ditulis pena. Di setiap tanggal yang sudah terlewati akan disilang olehnya, dan tersisa satu hari lagi sebelum Natal. "Aku sudah menyiapkan kado untukmu dan juga untuk Ayah, kenapa ingin pergi?" wanita itu menatapnya dengan hembusan nafas dalam lantas menarik senyum sedih. Kenyataan yang terjadi, air mata justru dianggap tidak berharga dan tidak ubah hanyalah setetes air biasa seperti air hujan yang sewaktu-waktu dapat menetes ke bumi.
"Mom, kau tidak boleh pergi. Kau tidak bisa meninggalkanku. Kalau Mom pergi, berarti aku harus ikut pergi," teriaknya dengan suara gemetar. Bola mata abu-abu wanita cantik itu sempat terenyuh saat bertatapan, namun ternyata tidak ada yang dapat dia rasakan. Hanyalah luka dalam yang tersisa lalu semuanya terasa kebas dan digantikan dengan sebuah dendam. Wanita itu mendekat, meraih tubuh kecil bocah lelaki itu-memeluknya erat-erat. Begitu juga dengan bocah lelaki yang membalas pelukan tak kalah rapat di tengkuknya, keseluruhan lengan mungilnya melingkar seakan tidak ingin kehilangan sosok yang paling berarti dalam hidupnya. Kedua air mata itu menyatu, membentuk tetesan murni. Bukti kesedihan atau justru perpisahan menyakitkan?
"Kenapa kau masih ada di sini? Bukankah sudah seharusnya untuk pergi? Pergilah! Dan jangan sentuh anakku." Tiba-tiba saja suara berat menyeruak dengan nada suara penuh otoritas membuat pelukan keduanya terlepas secara paksa. Bola mata abu-abu wanita itu mendongkak, menatap ke arah seorang pria yang berdiri di hadapannya dengan tatapan sedingin gurun gobi. Tatapan itu memancarkan sejuta kebencian. Atau amarah, atau juga dendam, entahlah.
"Tidak, aku tidak mau Mom pergi. Mom, kau tidak boleh meninggalkanku." Tidak peduli dengan teriakan penuh harapan terarah kepadanya, jeritan yang terdengar memohon dia tetap ada di sini. Sebelum sepenuhnya masuk ke dalam mobil, wanita itu sempat berbalik lagi, menatap ke arah anak lelaki kecil yang berdiri di depan pintu. "Mommmm!!! Tidak, Mom!!" dia berteriak panjang, naik ke tingkat histeris namun ayahnya sudah mengambil gerakan lebih cepat. Pria itu menarik anaknya untuk masuk, menggendong paksa. Tanpa mengizinkan mengucapkan satu kata perpisahan.
Keduanya masuk ke dalam rumah, dengan gebrakan pintu kasar-menutup semua yang ada di hadapan mereka. Mulai detik itu, tidak ada lagi kasih sayang, tidak ada sambutan hangat atau pelukan nyaman. Karena semua sudah hancur dan mati, terkubur begitu dalam dan tidak bisa bangkit lagi. Kenangan itu hancur, gelap, pecah berkeping-keping seperti kaca yang tak kasat mata.

*****

Raindrop (By Erisca Febriani)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang