Nalani sebenarnya tidak ingin kuliah di jurusan Manajemen, tapi apalah daya karena neneknya meminta Agung untuk membujuk Nalani kuliah Manajemen. Nalani lebih suka kuliah Tata Boga saja, tapi neneknya tidak setuju entah karena apa. Nenek Nalani bilang (lagi-lagi melalui Agung) bahwa Nalani tidak perlu kuliah hanya untuk menjadi koki atau ya semacam juru masak, jika Nalani mau maka Nalani tinggal kursus memasak bersama koki terkenal yang Nalani mau. Namun Nalani tidak bisa melakukannya, kuliah saja sudah menyita waktu bersamanya dengan Adnan apalagi ditambah dengan kursus?! Nalani akhirnya menyalurkan hobinya dengan belajar memasak secara otodidak.

Nalani menghembuskan napas lega begitu tugasnya selesai dan siap diantar ke kampus oleh sopirnya.

***

Nalani mendesah cukup keras setelah kelasnya selesai. Tadi dosennya memberikan kuis mendadak dan Nalani tidak bisa mengerjakannya. Nalani menghampiri sosok yang menjemputnya.

“Tadi kuis mendadak,” kata Nalani.

“Bisa nggak?”

“Nggak ngedadak aja gak bisa apalagi ngedadak.”

Sosok itu tertawa lalu merangkul Nalani.

“Kita makan es krim dulu deh biar kamu gak bete,” kata sosok itu sambil berjalan menuju mobilnya.

“Ngopi aja,” kata Nalani.

As you wish, My Lady.”

Nalani tersenyum mendengarnya.

***

 

Mungkin gue rela kalau dia sama orang lain. Nggak ding, gue gak pernah rela ngeliat dia jalan sama orang lain. Mana rela gue ngeliat dia jalan sama orang lain terlebih orang itu terlalu asing di mata gue. Bukan Rayagung yang di sampingnya, cuma seorang lucky bastard yang dipilih nenek Nalani untuk menjadi pendamping hidupnya.

Radina menghembuskan napasnya sambil menjauh dari Starbucks. Sebenarnya ia sudah berniat datang untuk minum secangkir Latte, tapi pemandangan di hadapannya membuatnya kehilangan keinginan itu.

Semua harapannya pupus, semenjak empat tahun yang lalu...

***

Agung menggendong Adnan ke dalam rumah setelah melihat mobil Radina menghilang dari pandangannya. Ia melihat Nalani yang sedang memeluk dirinya sendiri di balik pintu yang tidak terbuka. Isakan Nalani terdengar cukup jelas di telinganya. Dengan langkah perlahan Agung membawa Adnan ke kamarnya lalu menidurkan buah hati Nalani itu ke ranjangnya. Agung segera kembali menghampiri Nalani yang masih belum mengubah posisinya.

“Sabar, Lani, sabar,” bisik Agung sambil melepaskan tangan Nalani yang sedang memeluk dirinya sendiri.

 Agung menarik Nalani ke dalam pelukannya, membiarkan Nalani menangis semampunya di dadanya sementara ia sendiri menepuk-nepuk punggung Nalani dengan perlahan.

Agung tidak berkata apa-apa, hanya menepuk punggung dan sesekali mengelus kepala Nalani hingga Nalani tertidur karena kelelahan.

“Lani...” Agung memanggil Nalani dengan pelan, memastikan kalau Nalani benar-benar tertidur.

Nalani tidak menjawab dan karena itulah Agung berani meregangkan lehernya yang kaku lalu menggendong Nalani. Agung melihat kalau ibu angkatnya itu memerhatikan apa yang ia lakukan. Agung pura-pura tidak melihat dan membawa Nalani menuju kamar. Pelan-pelan Agung membaringkan Nalani.

faster than a weddingWhere stories live. Discover now