Persetan dengan ruangan security yang entah kedap suara atau tidak ini, Thalea sedang kesal. Ia kesal dengan Viola yang berbohong padanya, ia kesal dengan Angga yang tidak ingin membeberkan kebenaran padanya, namun yang paling membuatnya kesal adalah dirinya sendiri yang nyatanya selama ini tidak tahu apa-apa tentang kasus ini. Ini yang membuat Viola mengakhiri hidupnya, dan Thalea tidak tahu apa-apa? Sahabat macam apa dirinya?
"To protect you," balas Angga dengan wajah memelas.
Thalea tidak merespons, hanya menatap Angga dengan penuh amarah dan tentu saja ia tidak percaya dengan kalimat laki-laki itu.
Angga mendengus. Ia akhirnya menyalakan komputer yang terletak di tengah-tengah monitor-monitor yang menampilkan apa yang kamera CCTV tangkap. "Mumpung kita lagi di sini, I'll show you."
Rekaman tersebut tentu sudah tidak ada di dalam data. Hal tersebut terjadi nyaris satu tahun yang lalu dan data tersebut pasti sudah dipindahkan ke tempat lain yang aksesnya lebih rumit lagi. Namun mereka masih bisa melihat daftar pengunjung di data.
"Mereka bertiga dari sini, Ya. Mereka bertiga ada di malam itu." Angga menunjukkan tiga nama yang keluar tepat sekitar kejadian tersebut. Nama Calvin, Nuri, dan Aaron berada di sana dengan rapi.
"Tapi pelakunya bukan Calvin," lanjut Angga cepat.
Thalea membeku, matanya menatap dengan penuh kebencian pada nama-nama tersebut. Tiga orang itu adalah tamu VIP yang sangat dihormati dan dijaga oleh orang lain namun memilih untuk merusak orang lain pula.
Semuanya masuk akal sekarang. Tentang notes itu, tentang Calvin yang mengaku di atas mobil tersebut, kemudian tentang hubungan Nuri dan Calvin. Semuanya bisa Thalea lihat dan sialnya ia baru bisa melihatnya sekarang.
Namun bukan berarti Thalea sudah bisa menjawab semuanya. "Tapi Viola bilang—"
"She was lying, Ya. Dia nggak tahu Calvin punya kalung. Gue juga gak yakin dia tahu kalau Calvin dan Nuri itu saudara kembar," jelas Angga.
Thalea sontak menoleh. "Maksud lo?" tanyanya bingung.
Angga menghela napas. Ia mengacak-acak rambutnya frustrasi. Calvin dan Nuri memang berhubungan dekat, namun Angga tidak yakin Calvin bisa disalahkan tentang aksi Nuri pada Viola saat itu.
"They're um ... twins."
Thalea menggeleng. "Nggak mirip."
Angga mendengus. "Ya kan nggak identik, makanya nggak mirip. Otak lo stereotipe banget, deh," balasnya gemas.
"Jangan nangis lagi," lanjut Angga.
Thalea mendelik. Laki-laki ini, ia masih bisa bercanda dalam keadaan yang seperti ini.
Thalea dengan cepat mengusap air matanya sembari membalas, "Gimana caranya gue mau nangis kalau lo ngeselin gini?"
***
"So?"
Thalea menghela napas panjang, menatap sekitarnya. Kota ini sepertinya masih belum pantas disebut seperti itu; atau mungkin hanya perasaan Thalea saja.
Setelah berhadapan dengan kebenaran yang sangat melelahkan tersebut, mereka harus keluar dari ruangan itu dengan mengendap-endap akibat Thalea yang tidak ingin dilihat oleh si karyawan wanita—lebih tepatnya ia tidak ingin ketahuan habis menangis saja karena wajahnya menjelaskan hal tersebut dengan sangat jelas. Angga kemudian membuka 'seragamnya' dan mengembalikannya pada pemilik yang sebenarnya.
Nyatanya Angga memberi uang untuk laki-laki tersebut. Di negara ini, nyatanya uang dan koneksi masih hal yang paling mendominasi dan mungkin Angga sadar dengan hal tersebut, makanya ia tidak ingin memperkarakan Nuri, karena gadis itu memiliki keduanya.
Lihat saja statusnya sebagai ketua klub.
Selanjutnya, Angga mengajak Thalea untuk bersantai—lebih tepatnya beristirahat—di sebuah kafe yang cukup jauh dari hotel tersebut yang terletak di dalam pusat perbelanjaan namun ditolak oleh Thalea. Jadilah mereka duduk di warung kopi yang terletak di pinggir jalan dihiasi dengan polusi dan asap rokok di mana-mana.
Thalea menyipitkan matanya ketika angin berembus dan menerbangkan rambutnya. "Sumpek, ya," komentarnya sembari menatap kopi hitamnya yang tidak terlihat menggiurkan tersebut. Ia bahkan ingin muntah sekarang.
Angga menyeruput kopinya, tersenyum tipis. "Pilihan siapa dulu," ingatnya.
Thalea hanya menaikkan bahunya. Ia tidak ingin masuk ke dalam mall dengan keadaan mata merah dan bengkak seperti ini, apalagi bersantai di dalam sebuah kafe. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri sebelum akhirnya tersenyum dan berkata pada Angga, "Thanks, ya."
Angga meletakkan gelas beningnya di atas piring yang kebersihannya sudah bisa dilihat dari mata telanjang. "For what?"
"Udah ...," Thalea menarik napas, "entah. Gue juga nggak tahu," jawab Thalea jujur.
Angga tersenyum usil, lantas mengaku, "Kadang gue sebenarnya bertanya-tanya kenapa Viola mau temenan sama lo."
Thalea mengangkat bahunya. Ia sendiri juga tidak mengerti mengapa. "Maybe because I'm too precious?" tebaknya dengan percaya diri.
Angga menatap Thalea sejenak sebelum membalas, "Indeed."
Tawa mereka berdua pecah.
"Beneran tapi, Ya. Lo tuh kayak ... apa, ya? Berharga banget gitu buat Viola," Angga melanjutkan dengan tulus. Sebenarnya bagi dirinya sendiri pun, Thalea adalah sesuatu yang berharga. Namun Angga tidak akan mengatakan hal itu pada Thalea.
Ada suatu hal yang Thalea punya, yang tidak bisa dideskripsikan dengan kata-kata yang bisa membuat seseorang ingin melindungi dan menjaga gadis itu. Begitu saja.
"Jadi habis ini apa, Ya?" Lagi-lagi Angga bertanya.
Thalea menarik napas panjang. Menatap Angga sejenak. Satu-satunya yang ia pikirkan adalah kasus Viola.
Ada sebuah fakta yang tidak bisa ditutupi; bahwa pelaku pemerkosaan rata-rata berjenis kelamin laki-laki. Namun bukan berarti perempuan tidak bisa menjadi pelaku dan terkadang banyak orang lupa dengan hal tersebut; asal menuduh laki-laki saja walau perempuan pun bisa menjadi pelaku.
"We need to punish kak Nuri no matter what and how," jawab Thalea pelan namun mantap.
Angga menghela napas panjang. Ini sebenarnya suatu hal yang tidak mudah. "Gimana caranya?"
Thalea menyeringai. "I have an idea."
***
ESTÁS LEYENDO
Flip!
De TodoPlease pay attention that this story contains sexual abuse, self-harm, etc, so it does not suitable for people under 17 at all. Pay attention for what you are reading.
Nineteen; "Correlation doesn't make causation."
Comenzar desde el principio
