Nineteen; "Correlation doesn't make causation."

1 0 0
                                        

Tidak mudah bagi Angga untuk mengatakan hal tersebut begitu saja karena mengatakan kalimat tersebut sama saja dengan membuat Viola kecewa. Namun Viola sudah tidak ada di sini, yang sekarang berada di antara Angga adalah Thalea, dan Angga tidak ingin ia kehilangan Thalea juga.

Bagi Angga, biarkan bayangan tentang Viola itu pergi. Selama ini ia berusaha melepaskan dirinya dengan tidak membahas hal itu, namun tanpa ia sadari, dengan aksinya, ia malah membelenggu dirinya sendiri dengan masa lalu.

Jadi Angga sudah memutuskan sebelum ia memesan tiket pesawat tersebut untuk menyusul Thalea, bahwa ia akan membantu gadis itu apa pun rencananya selama Thalea masih waras dan tidak membahayakan dirinya sendiri dan Angga.

"Maksud lo?" Thalea menatap Angga dengan wajah terkejut. Suara gadis itu bahkan naik satu oktaf.

Angga menghela napas panjang. Mungkin ambisi Thalea sangat besar untuk menemukan si pelaku tanpa sadar bahwa sebenarnya Thalea tidak tahu apa-apa tentang kejadian tersebut.

"Fuck off!" Angga mendorong gadis yang baru saja memegang Viola dengan tidak sopan sekeras yang ia bisa. Persetan dengan aturan bahwa laki-laki tidak boleh menyakiti wanita, Angga tidak peduli—lebih tepatnya akalnya sudah berhenti bekerja ketika melihat pemandangan tersebut.

Angga bisa mendengar rintihan pelan dari belakangnya, kemudian tangisan pelan yang sudah tidak bisa dikendalikan lagi.

Viola bersandar dengan lemah di dinding yang kasar di sebuah gang sempit di antara bangunan hotel dan minimarket tersebut. Pakaiannya sudah tidak utuh lagi, kantong plastik berisi es krim dan camilan lainnya sudah berceceran jauh dari tempat Viola duduk.

Angga tidak tahu apa yang telah terjadi, lebih tepatnya ia tidak yakin dengan pikirannya sendiri. Dengan penuh amarah, dengan suara yang ia sendiri tidak tahu ia punya, ia bertanya pada gadis lain yang terlihat masih kehilangan kesadaran tersebut, "What have you done?"

Seakan-akan terhipnotis dengan suasana, Angga mendekat ke arah gadis yang mengenakan jaket kulit tersebut dilengkapi dengan tank top yang menampilkan belahan dadanya dan tato burung kecil di atasnya. Tangan Angga mengepal erat, siap menghantam wajah yang masih di bawah pengaruh alkohol tersebut.

"Ngga, don't." Namun suara lemah yang datang dari belakangnya itu menghentikan semuanya, menarik Angga kembali ke realitas. Angga berkedip berkali-kali sebelum akhirnya sadar bahwa ada Viola yang butuh perhatian di belakangnya.

Angga menoleh, Viola sedang berusaha memperbaiki bajunya yang sudah tidak berbentuk tersebut. Sadar dengan jaket yang sedang menempel di tubuhnya, Angga segera menghampiri sahabatnya, menanggalkan jaketnya, kemudian mengenakannya pada Viola dengan ragu.

Mungkin saja Viola akan takut dengan dirinya, namun gadis itu menerima perlakuan Angga begitu saja.

"Here."

Viola tidak membalas apa-apa. Gadis itu bisa mendengar suara langkah yang meninggalkan mereka berdua dengan terburu-buru dan Angga yang terlihat ingin berdiri, berniat mengejar orang lain tersebut.

"Don't." Namun Viola lagi-lagi mencegahnya dengan tubuh yang masih bergetar hebat, dengan air mata yang masih terus mengucur deras membasahi kedua pipinya yang memerah.

"Vi—"

Viola mencengkram bahunya yang dilapisi dengan jaket Angga sekuat yang ia bisa. Napasnya masih belum teratur dan ia masih menangis sesenggukan. "Please, I want to go back." Ia bahkan masih belum mampu menatap Angga.

Flip!Where stories live. Discover now