Nineteen; "Correlation doesn't make causation."

Mulai dari awal
                                        

Angga menghela napas, berusaha menenangkan dirinya. Ia tidak percaya ini terjadi. Ia tidak percaya bahwa dengan rencananya untuk merayakan kelulusan sahabatnya, Viola yang harus menjadi korban malam itu juga. Rahangnya mengeras. Ia benci dengan gadis tersebut, namun ia lebih benci dengan dirinya yang tidak mampu menjaga Viola.

"Ngga, please."

Angga segera membantu Viola berdiri, tidak berkata apa-apa lagi dan tidak peduli dengan apa-apa lagi. Dunianya terasa runtuh sesaat ia melihat pemandangan Viola yang duduk tidak berdaya di sana dengan pakaian yang koyak. Pemandangan itu tidak akan bisa hilang dari kepalanya.

Viola menunjuk kantong plastik tersebut, seakan-akan ingin meraihnya membuat Angga dengan sigap meraih kantong itu, kemudian memapah Viola masuk ke dalam gedung hotel kembali tanpa berniat mengecek keadaan Viola.

Bukan karena tidak peduli, lebih tepatnya karena Angga tidak ingin mengetahui sejauh apa dirinya merusak sahabatnya malam ini.

"Jangan kasih tahu Thalea." Viola bahkan tidak peduli untuk membahas hal lain.

Angga tidak menjawab. Tangannya bergerak menekan tombol lift. Berusaha untuk tidak peduli dengan kalimat permohonan Viola.

"Angga," panggil Viola lemah, namun Angga bisa mendengar bahwa Viola menuntut untuk didengarkan.

Angga akhirnya menoleh. Rasanya hatinya diiris berulang kali dengan brutal saat melihat pemandangan di sampingnya, ini semua karenanya.

Viola menatap Angga dengan penuh permohonan. "Please, don't tell Thalea about this," Viola memohon. Wajahnya terlihat lelah, takut, dan marah, semuanya bercampur menjadi satu dan ia masih memikirkan tentang Thalea.

Angga masih tidak merespons. Ia yakin Thalea akan menanyakan hal ini, menuntut kebenaran, dan akan membalas dendam.

"Angga, look at me, please."

Angga menoleh, Viola menatapnya dengan penuh harap, dengan wajah yang benar-benar kacau. "Janji sama gue, lo nggak bakalan ngasih tahu Thalea soal ini." Gadis itu bahkan menekankan semua kalimatnya.

Angga terdiam, masih enggan merespons. Ia tidak ingin berjanji sesuatu hal yang ia tidak mampu lakukan.

"She's too innocent for this world. Dan gue tahu orang itu di jurusan dan kampus yang sama dengan Thalea nanti," Viola menjelaskan, masih dengan suara yang sangat pelan. "Jadi gue minta lo jangan kasih tahu apa-apa soal ini ke dia, oke?"

Thalea tertawa, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Tidak mungkin. Tidak mungkin. Ia menggeleng keras, kakinya melangkah mundur dari Angga yang baru saja mengatakan semuanya, membeberkan semuanya tanpa ada penghalang lagi, tanpa ada keraguan lagi. Ia menatap Angga dengan tidak percaya. Air matanya lagi-lagi membendung matanya yang sudah merah, lelah memproduksi air mata.

"Nggak mungkin."

Angga menunduk. "That's the truth, Ya. Gue minta maaf—"

"Tapi gue ingat banget Viola bilang kalau pelakunya pakai kalung burung, Ngga!" sentak Thalea, "Bukan tato, kalung." Ia menatap Angga dengan sungguh-sungguh, semua kalimatnya ia tekankan untuk meyakinkan Angga.

Namun Angga tetap menggeleng. "She was lying—"

"For what?" Lagi-lagi Thalea membentak. "Dia nggak pernah bohong sama gue, Ngga." Namun di relung hati Thalea yang paling dalam, ia tahu Viola akan melakukan apa pun untuk kebaikannya.

Flip!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang