Kabut sore turun perlahan, seolah langit menahan air matanya di ujung hutan. Di sanalah Kipuka tinggal-di rumah kayu kecil yang sunyi, di antara bisik pepohonan dan bayang-bayang yang seolah bernapas. Ia hidup sendirian, menggantungkan hidup pada hutan yang sama yang ditakuti orang-orang.
Konon, di balik kabut yang tak pernah terangkat, berdiri sebuah kastil tua-tempat di mana malam bersemayam, dan vampir menjaga sunyinya. Namun bagi Kipuka, hutan bukan tempat kutukan, melainkan teman. Di sana, ia mendengar musik ranting dan angin, sesuatu yang dunia di luar sana tak pernah memberinya. Dan meski rumor tentang makhluk peminum darah menyebar, ia tetap melangkah, menantang gelap, karena lapar lebih menakutkan daripada legenda.
Awalnya, semuanya berjalan biasa. Hingga suatu hari, desanya diguncang oleh serangkaian kejadian mengerikan: beberapa penduduk ditemukan tewas tanpa setetes darah tersisa di tubuh mereka. Ketakutan menyebar cepat, dan keyakinan lama tentang vampir yang menghuni hutan kembali menyeruak. Suara amarah dan ketakutan memenuhi udara; mereka menuntut balasan atas teror itu.
Dalam pembicaraan yang penuh kegelisahan, Taren, putra kepala desa yang sombong namun disegani, mengusulkan agar seseorang dikirim untuk membunuh vampir itu. Semua terdiam,
menatap satu sama lain, hingga akhirnya tatapan Taren berhenti pada Kipuka yang baru saja tiba di pasar membawa ikatan kayu di punggungnya. Dengan senyum sinis, Taren berkata lantang, "Kipuka sering pergi ke hutan, dan dia baik-baik saja. Mungkin dia cukup berani untuk membunuh satu vampir."
Orang-orang mulai berbisik, lalu mendesak Kipuka dengan tatapan tajam. Salah seorang bahkan menyerahkan kapak kepada Kipuka-kapak tukang daging yang masih berlumur darah hewan. Kipuka hanya bisa menggenggam benda itu dengan tangan gemetar. Tak ada yang membelanya, dan ketakutan di mata mereka membuatnya sadar: ia tak punya pilihan selain menurut.
Sore itu juga, Kipuka berjalan ke hutan bersama empat orang desa, termasuk Taren. Mereka beralasan akan mengawasi Kipuka agar tidak melarikan diri, padahal semua tahu mereka hanya ingin memastikan Kipuka benar-benar pergi ke sana.
Perjalanan itu sunyi. Hanya suara ranting patah dan desir angin di antara dedaunan menemani langkah mereka. Hingga akhirnya, di tengah hutan, tampaklah kastil yang konon ditinggali makhluk malam itu. Dindingnya diselimuti tanaman rambat, namun bangunannya masih berdiri kokoh-terlalu kokoh untuk sesuatu yang katanya telah lama mati.
Anehnya, pintu kastil itu tampak bersih, bahkan berkilau samar diterpa cahaya bulan. Kipuka terpaku menatapnya, merasa seperti ditarik oleh sesuatu yang tak ia mengerti. Namun lamunannya terhenti ketika Taren mendorong punggungnya kasar. "Masuklah," perintahnya dingin. "Tunjukkan kalau kau lebih berguna dari sekadar pemotong kayu."
Dengan langkah berat dan jantung yang berdegup tak karuan, Kipuka membuka pintu kastil itu. Engselnya berderit pelan, seolah menyambut tamu yang sudah lama ditunggu. Ia menoleh ke belakang-tetapi Taren dan tiga orang lainnya sudah berbalik arah, meninggalkannya sendirian dalam bayangan.
Udara di dalam kastil terasa aneh: tidak lembab seperti yang ia duga, melainkan hangat dan beraroma samar bunga mawar. Langkahnya bergema di lantai marmer, sementara kapak di tangannya ia genggam erat-satu-satunya hal yang membuatnya merasa aman.
Berjalan perlahan menyusuri lorong panjang yang diterangi cahaya remang dari lilin di dinding. Betapa ganjil-kastil yang dikira mati ternyata hidup dalam ketenangan. Tirai bersih, udara segar, seolah penghuninya baru saja lewat.
Di ujung lorong, cahaya yang lebih terang menembus celah pintu. Kipuka menelan ludah, mendekat dengan tangan gemetar, kapak masih ia genggam seperti perisai terakhir.
Saat pintu terbuka, ia terpaku.
Seseorang berbaring di sofa panjang, seolah tertidur di bawah cahaya bulan yang menembus jendela. Wajahnya pucat, indah, dan asing-campuran dari malaikat dan kematian. Kipuka menunduk perlahan, ingin membangunkannya, meletakkan kapak di sisi sofa.
Namun sebelum jemarinya menyentuh kain, sosok itu bergerak. Kelopak mata terbuka perlahan, memperlihatkan sepasang mata merah darah yang menyala lembut, seperti bara yang menatap balik dari kedalaman gelap. Tatapan itu menusuk, sayu namun tajam, dan berhenti tepat di leher Kipuka.
Seketika, dunia Kipuka terasa berputar. Sebelum sempat bereaksi, ia merasakan gigitan tajam menembus kulitnya. Tubuhnya menegang, napasnya tersengal, sementara kehangatan mengalir keluar dari lehernya. Rasa sakit itu anehnya bercampur dengan sensasi yang membuatnya tak bisa bersuara.
Ia hampir jatuh, tapi pelukan seseorang menahannya. Hangat. Lembut. Terlalu lembut untuk disebut monster. Ketika akhirnya dilepaskan, Kipuka jatuh terduduk, menggenggam lehernya yang masih berdenyut nyeri, dan perlahan mengangkat pandangan.
Di hadapannya berdiri sosok tinggi, pucat, berwibawa, dengan rambut hitam panjang dan sepasang mata yang tak seimbang: satu merah, satu tersembunyi di balik bunga mawar merah yang mekar dari kelopak matanya. Pakaian bangsawan menempel anggun di tubuhnya,
sementara jemarinya menyeka darah di ujung bibirnya.
Sosok itu menatap Kipuka-tajam, namun segera melembut. Ia meletakkan tangan di dada dan menunduk sedikit, seperti seorang bangsawan memberi salam. "Maafkan kelancanganku," ucapnya dengan suara tenang namun dalam. "Namaku Eliot."
Kipuka hanya menatapnya dengan mata membulat, napasnya tersengal, antara takut dan terpikat oleh keanggunan makhluk di depannya.
YOU ARE READING
[END] Binary Vampire (XINGQIU)
Vampire𝐼𝑎 𝑑𝑎𝑡𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑒𝑚𝑏𝑎𝑤𝑎 𝑠𝑒𝑛𝑗𝑎𝑡𝑎, 𝑡𝑎𝑝𝑖 𝑝𝑢𝑙𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑒𝑚𝑏𝑎𝑤𝑎 𝑘𝑒𝑎𝑏𝑎𝑑𝑖𝑎𝑛 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑏𝑒𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑐𝑖𝑛𝑡𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑎𝑘 𝑠𝑒ℎ𝑎𝑟𝑢𝑠𝑛𝑦𝑎 𝑎𝑑𝑎. 𝙰𝚍𝚊𝚙𝚝𝚊𝚜𝚒 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚏𝚊𝚗𝚖𝚊𝚍𝚎 𝙼𝚅 𝚁𝚎:𝚟𝚊𝚕𝚎 𝚍𝚎...
![[END] Binary Vampire (XINGQIU)](https://img.wattpad.com/cover/403841011-64-k581419.jpg)