Part XI - Jeda yang Tak Selalu Tenang

29 8 0
                                        

Junghwan menatap layar laptopnya yang masih menyala, meski video call dengan Doyoung sudah berakhir hampir satu jam lalu. Suara napas Doyoung masih terngiang di telinganya, tapi bukan itu yang membuat dadanya sesak. Bukan juga karena rindu. Tapi karena rasa yang tak bisa ia beri nama.

Ia menghela napas, lalu berdiri dan berjalan ke dapur kecil di pojok kamarnya. Air panas mengalir ke dalam cangkir, tapi tangannya gemetar sedikit saat menuang. Ia menatap uap yang naik pelan, lalu berkata pelan pada dirinya sendiri, "Kenapa gue ngerasa kayak gini, ya?"

Beberapa hari terakhir, Junghwan merasa ada yang berubah. Bukan dari Doyoung—tapi dari dirinya sendiri. Ia mulai merasa cemburu pada hal-hal yang tak bisa ia lihat: pada Martin yang sering disebut Doyoung di email, pada salju yang tak pernah ia alami bersama Doyoung, pada galeri seni yang tak pernah mereka kunjungi berdua.

Ia mencoba menepis pikiran itu. Tapi malam-malam panjang di ruang diskusi yang kosong membuat pikirannya liar. Ia mulai bertanya-tanya: apakah Doyoung masih merindukannya dengan cara yang sama? Atau apakah ia hanya menjadi bagian dari masa lalu yang perlahan memudar?

Suatu malam, Jaehyuk masuk ke ruang diskusi dan mendapati Junghwan menatap layar kosong.

"Lo kenapa?" tanya Jaehyuk sambil duduk di seberang.

Junghwan mengangkat bahu. "Gue ngerasa kayak... gue yang ketinggalan. Dulu gue yang selalu bikin Doyoung ketawa. Sekarang kayaknya Martin yang ngelakuin itu."

Jaehyuk menatapnya lama. "Lo percaya sama Doyoung, kan?"

Junghwan mengangguk pelan. "Percaya. Tapi gue nggak yakin gue percaya sama diri gue sendiri."

Jaehyuk terdiam. Lalu berkata, "Kalau lo takut kehilangan, jangan diem. Tapi juga jangan maksa. Kadang, yang kita butuhin bukan jawaban, tapi keberanian buat nanya."

Malam itu, Junghwan menulis pesan panjang. Tapi sebelum ia kirim, ia hapus semuanya. Lalu ia ketik ulang, lebih singkat:

"Kamu bahagia di sana?"

Ia menatap layar. Jempolnya ragu di atas tombol kirim.



~~~

Doyoung sedang duduk di café kecil dekat sungai, jari-jarinya menggenggam cangkir kopi yang mulai kehilangan hangatnya. Salju di luar jendela turun pelan, seperti biasa. Tapi malam ini terasa berbeda. Ia baru saja membuka pesan dari Junghwan.

"Kamu bahagia di sana?"

Doyoung menatap layar lama. Pertanyaan itu sederhana, tapi terasa seperti pintu yang dibuka ke ruang yang selama ini ia jaga rapat-rapat. Ia tahu Junghwan sedang gelisah. Ia tahu, karena ia pun merasakannya.

Ia mengetik pelan.

"Aku bahagia, tapi bukan karena tempatnya. Aku bahagia karena aku tahu kamu masih ada di sana. Tapi kadang aku juga takut. Takut kalau kebahagiaan ini bikin kamu ngerasa ditinggal."

Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan.

"Aku nggak pernah ninggalin kamu, Junghwan. Aku cuma lagi belajar berdiri sendiri. Aku masih pengen kita jalan bareng, meski jalannya beda dulu."

Doyoung menekan tombol kirim, lalu menatap salju di luar. Ia merasa lega, tapi juga waspada. Ia tahu, hubungan mereka sedang diuji bukan oleh jarak, tapi oleh perubahan.

Beberapa menit kemudian, Junghwan membalas.

"Gue ngerti. Tapi jujur, gue lagi belajar buat nggak ngerasa kalah sama hal-hal yang bukan gue."

Doyoung membalas cepat.

"Kamu nggak kalah. Kamu justru jadi alasan kenapa aku bisa kuat di sini."

Mereka saling diam lagi. Tapi kali ini, diamnya penuh makna. Seperti dua orang yang sedang berdiri di sisi sungai yang berbeda, tapi tetap saling menatap.



~~~

Junghwan duduk di ruang diskusi, laptop terbuka tapi belum menyala. Di depannya, ada buku catatan kosong dan pulpen yang sudah lama tak ia sentuh. Ia menarik napas dalam, lalu mulai menulis.

"Gue nggak tahu kapan mulai ngerasa kayak gini. Tapi gue tahu, kalau gue diem terus, gue bakal tenggelam di rasa yang nggak jelas bentuknya."

Ia menulis tanpa henti selama dua jam. Bukan tentang Doyoung, tapi tentang dirinya sendiri. Tentang rasa takut, tentang harapan, dan tentang keinginan untuk tetap jadi versi terbaik dari dirinya—bukan buat orang lain, tapi buat dirinya sendiri.

Setelah selesai, ia menutup buku itu dan berdiri. Malam sudah larut, tapi ia tahu siapa yang masih ada di kampus.

Ia berjalan ke lantai atas, ke ruang asisten. Jaehyuk sedang menatap layar, wajahnya lelah tapi tetap fokus.

"Hyung," sapa Junghwan pelan.

Jaehyuk menoleh. "Lo belum pulang?"

Junghwan duduk di kursi sebelah. "Gue pengen ngomong."

Jaehyuk mematikan layar laptopnya. "Iya.Ada apa Junghwan?"

Junghwan menatap lantai. "Gue ngerasa kayak... gue takut Doyoung berubah. Tapi gue juga takut kalau gue nggak berubah bareng dia."

Jaehyuk diam sejenak, lalu berkata, "Lo tahu nggak, perubahan itu bukan buat ditakutin. Tapi buat ditemenin. Kalau lo pengen tetap ada di hidup dia, lo harus berani ikut jalan meski jalannya beda."

Junghwan mengangguk pelan. "Gue mulai nulis lagi, hyung. Buat diri gue biar ga ngerasa semua itu sia-sia. Gue sayang Doyoung. Gue ga mau Doyoung ngerasa gue ga berguna buat dia.

Jaehyuk tersenyum. "Itu langkah pertama yang bagus. Tapi lo harus ingat, ga ada yang ga berguna. Jangan underestimate diri lo sendiri. Gue saksi nyata gimana perubahan sikap anak itu selama kenal lo. He fell but quickly got up because of you. Ini kalo Doyoung denger lo ngomong kayak gini apa ga makin dia kepikiran?"



~~~

Keesokan harinya, Junghwan masuk ruang diskusi lebih pagi dari biasanya. Haruto dan Jeongwoo sudah duduk, masing-masing dengan ekspresi khas mereka: Haruto tenang seperti biasa, Jeongwoo sibuk dengan slide yang entah untuk apa.

"Gue punya ide," kata Junghwan sambil duduk.

Jeongwoo langsung menoleh. "angan aneh-aneh lo ya. Gue perhatiin lo akhir-akhir ini kayak kehilangan arah. Doyoung hyung nggak bakal pergi."

"Tenang aja," jawab Junghwan sambil tersenyum. "Gue beneran ga berbuat yang macam-macam. Paling lima macam buat kita semua wkwkwk. Gue punya ide buat program riset," 

Haruto mengangkat alis. "Kita?"

Junghwan menatap mereka satu per satu. "Gue tahu kita semua udah kelar skripsi dan revisi. Sekarang kita lagi nyiapin bahan buat program riset, kan? Buat dasar materi sebelum koas. Gue pengen kita bikin ruang diskusi ini jadi tempat yang kita pengen datengin, bukan tempat yang kita hindarin."

Jeongwoo tertawa. "Lo abis baca buku motivasi ya?"

"Enggak. Gue cuma abis nulis," jawab Junghwan.

Haruto menatapnya lama. "Wah beneran gila nih anak."

Junghwan mengangguk. "Gue lagi belajar berubah. Biar gue nggak cuma nunggu orang lain balik, tapi juga bisa jadi tempat yang layak buat balik."

Jeongwoo terdiam. Lalu berkata pelan, "Gue suka ide lo. Tapi gue tetap presentasi minggu depan, ya."

"Revisi kita semua kan udah selesai Jeongwoo. Lo mau presentasi apa lagi? Heran banget gue, pikiran lo seneng banget presentasi." ujar Haruto sambil capek menghadapi tingkah Jeongwoo.

Mereka tertawa. Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, ruang diskusi terasa hangat lagi.


#tbc
Hi semua,
aku kembaliiiii. Maaf ya ga update minggu kemarin buat cerita ini.

Selamat membaca yaa. Jangan lupa like and commentnya yaa. Terima kasih.


When I left my bag 🐥 HWANBBYWhere stories live. Discover now