Latte dan Kamu (Part 3)

182 27 21
                                        

Trigger warning ⚠⚠ cheating ⚠⚠⚠

===================================

Langit sudah gelap sepenuhnya saat Rui melepas celemek kerjanya dan menyimpan notes menu di balik meja kasir. Di luar, mobil hitam yang sama menunggu di sudut jalan. Rui tidak perlu menebak dua kali siapa yang duduk di balik kursi kemudi.

Ia sempat berdiri ragu di balik pintu kaca, sebelum akhirnya menarik nafas, menunduk, dan melangkah menuju mobil itu. Kaca depan turun perlahan. Wajah yang familiar—senyum yang tak bisa dia lupakan sejak satu minggu terakhir dan wangi parfum mahal yang seolah melekat ke dalam sumsumnya—menyambut sebelum suara itu menyusul, lembut namun tegas.

"Masuklah. Aku cuma ingin bicara."

Rui masuk tanpa berkata apa-apa. Kursi penumpang yang terlalu nyaman membuatnya bertanya-tanya tentang yang tengah terjadi dengan hidupnya sendiri.

"Ini," kata Minghao, mengulurkan amplop—besar dan tebal—sangat tebal, "Untuk semua utangmu, atau kalau kamu perlu bantuan mengurusnya, aku bisa minta sekretarisku yang bereskan."

"Kenapa...?" Rui bersuara pelan, tidak menatap, "Aku nggak minta sebanyak ini."

"Aku tahu. Tapi aku tetap mau melakukannya." Jawab Minghao tenang, dengan senyum tipis menghiasi bibirnya.

Keheningan menggantung di antara mereka. Mobil tetap diam, tapi denyut yang mengalir di udara terasa seperti janji yang tak akan bisa mereka tarik kembali. Rui mengerjap pelan, mencoba menahan sesuatu yang mulai naik dari dadanya.

"Kalau aku bilang... terima kasih..." ucapnya lirih, "...itu belum cukup, kan?"

"Aku tidak butuh balas budi, Rui." Nada suara Minghao melembut, "Seperti yang aku pernah bilang, aku cuma ingin kamu hidup, tenang. Tanpa rasa takut yang terus mengejar. Kalau ini bisa membebaskan kamu, maka aku puas. Aku tidak mau apapun lainnya."

Rui menggigit bibirnya. Hatinya berdenyut aneh. Ia menatap keluar jendela mobil, lalu melirik pria di sebelahnya. Masih sama. Senyum itu masih bisa meluruhkan sisa-sisa logika yang ia pegang. Ia menarik nafas pelan.

"...Mau ke tempatku malam ini?" suara Rui keluar hampir seperti bisikan, "Aku bisa masak. Nggak mewah. Cuma masakan sederhana, tapi masih layak kok."

Minghao menoleh. Tatapannya sejenak melunak, seolah menahan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kelegaan.

"Kamu yakin?" tanyanya pelan.

Rui mengangguk, "Kalau kamu nggak keberatan duduk beralaskan karpet tipis, makan tumis kangkung dan telur dadar... seperti dulu."

Minghao tersenyum kecil, dan untuk pertama kalinya dalam tujuh hari, Rui ikut tersenyum pula. Retak itu masih ada, tapi malam itu, untuk sesaat saja, mereka mengabaikannya.

Kos Rui berada di gang kecil, masuk agak dalam di tengah komplek pemukiman padat. Mereka harus meninggalkan mobil mahal Minghao di parkiran umum, kemudian menyusuri jalan gang yang sempit dan sunyi, nyaris tak terdengar suara kendaraan. Kamar Rui ada di lantai dua, bukan kos yang mewah, tapi cukup—setidaknya bagi Rui sendiri.

Di dalam kamar lampu gantung temaram memantulkan cahaya lembut ke dinding lawas bercat krem lembut, tidak banyak perabotan. Kasur sempit yang hanya cukup untuk satu orang, lantainya dialasi karpet tipis murah, sebuah meja rendah di samping kasur dan rak buku kecil yang miring. Di pojok ruangan, dapur mungil terbuka menyatu dengan ruang tidur, berseberangan dengan kamar mandi berukuran sama kecilnya.

Minghao duduk bersandar di kasur dengan bantal usang yang ditata rapi. Kemejanya sudah dilepas sejak tadi, digantung di gantungan belakang pintu. Ia hanya mengenakan kaos polos milik Rui yang dipinjamkan padanya. Rui sedang sibuk di dapur, membalik telur dadar dengan teflon kecil yang mulai hangus di bagian bawah.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 12 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

About YouWhere stories live. Discover now