Prolog-

1.2K 78 6
                                        

                 

TW / Note: Seluruh isi cerita ini merupakan hasil penulisan otomatis oleh ChatGPT sesuai arahan penulis. yang bekerja berdasarkan arahan, konteks, dan detail yang diberikan oleh penulis. Setiap dialog, alur, deskripsi, maupun pengembangan karakter disusun oleh sistem AI sesuai instruksi yang diterima. Meskipun demikian, ide dasar, nuansa emosi, serta arah cerita tetap berasal dari penulis sebagai pemilik konsep utama. Cerita ini tidak merepresentasikan pengalaman nyata siapa pun, dan hanya bertujuan sebagai karya fiksi untuk kebutuhan hiburan.

....


             Ada wajah yang selalu ingin terlihat lebih terang daripada cahaya lampu ruang kuliah. Wajah itu bernama Eliot. Ia pandai menempatkan diri di kursi paling depan, duduk dengan punggung tegak, menyunggingkan senyum ramah yang terasa dipaksakan, lalu melontarkan kata-kata yang terlalu manis untuk tidak menimbulkan rasa muak.

Kipuka tahu betul tipe orang semacam itu lelaki yang hidup hanya demi dilihat. Bagi Eliot setiap pertanyaan dosen adalah panggung, setiap komentar sederhana adalah kesempatan untuk meraih sorot mata. Kipuka kerap menatapnya dengan dingin, menghitung diam-diam berapa kali Eliot mengangkat tangan, menyelipkan jawaban, atau mengangguk-angguk dengan ekspresi sok tahu. Dan setiap kali itu terjadi, bara kesal dalam dada Kipuka serasa disiram bensin.

Bukan iri Sama sekali bukan, Kipuka tidak pernah membutuhkan pengakuan murahan semacam itu. Ia terlalu dewasa untuk mengemis validasi, terlalu letih untuk memoles diri di hadapan siapa pun. Namun melihat Eliot berusaha keras mendandani kepintaran biasa-biasa saja agar tampak cemerlang, rasanya seperti menelan besi berkarat.

Ada malam-malam ketika Kipuka pulang ke kamar, menanggalkan kemeja yang masih berbau kapur kelas, lalu duduk di kursi dengan satu botol bir terbuka di tangan. Dan yang muncul di kepalanya bukan esai, bukan tugas esok hari melainkan wajah Eliot, dengan senyum licik dan suara yang terdengar merdu hanya karena dilatih untuk memikat, bukan karena ketulusan.

Kipuka tidak menyukai Eliot. Itu fakta sederhana. Tetapi di balik kesederhanaan itu, bersemayam sesuatu yang berbahaya, kebencian yang tidak lahir dari gangguan sepele, melainkan dari sesuatu yang lebih dalam, lebih dewasa, lebih personal.

Karena setiap kali Eliot 'mencari muka' di depan dosen, Kipuka merasa seolah ia sendiri diseret masuk ke dalam permainan yang paling ia benci permainan basa-basi, kepalsuan, dan kerakusan akan validasi. Dan Kipuka bukan tipe yang mau kalah.

Kipuka Qiu

 Kipuka Qiu

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

Huang Xing

Huang Xing

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.


Please Don't Go, EliotDonde viven las historias. Descúbrelo ahora