"Kau baik-baik saja?" tanya Haechan, mendekat dengan tatapan cemas.

Renjun mengangkat wajahnya, matanya sayu. "Entahlah... kepalaku sedikit pusing."

Haechan meraba dahi Renjun, lalu matanya melebar. "Yak! Kau demam!"

Renjun terdiam, baru menyadari tubuhnya benar-benar terasa berat. Saat ia mencoba berdiri dengan bantuan Haechan, pandangannya berkunang. Dan dalam sekejap, tubuhnya ambruk tak sadarkan diri.

Kegaduhan pun terjadi. Beberapa prajurit panik memanggil Kapten.

Jeno yang tadinya beristirahat di sudut segera berlari. Wajahnya pucat, matanya langsung mencari satu sosok. Dan saat melihat Renjun terbujur lemah di tanah, napasnya tercekat. Tanpa pikir panjang, ia mengangkat tubuh kecil itu ke pelukannya, langkahnya cepat menuju ruang kesehatan.

♔ × ♚

Di ruang kesehatan, aroma antiseptik memenuhi udara. Renjun berbaring di ranjang putih, wajahnya pucat dan lemah. Jeno berdiri di sisi ranjang, jemari tangannya mengepal begitu erat sampai buku-bukunya memutih.

"Sebaiknya biarkan tenaga medis wanita yang mengganti pakaiannya, Kapten," ucap sersan medis Kim Jiyeon dengan sopan.

Jeno hanya mengangguk, menelan ludah berat. Rasa bersalah menusuk dadanya-ia yang tadi memaksa Renjun terjun tanpa memberi waktu, kini menatap gadis itu tak berdaya.

"Dia hanya kelelahan. Tapi jangan khawatir, saya sudah memberinya vitamin. Ia hanya perlu istirahat," jelas Jiyeon sebelum pamit.

Kini hanya tersisa mereka berdua. Sunyi.

Jeno meraih tangan mungil Renjun, menggenggamnya erat, lalu menempelkan ke dahinya. Matanya terpejam, bibirnya bergetar menahan emosi.

Renjun... kumohon bangunlah. Maafkan aku. Aku janji... aku tidak akan menjauhimu lagi. Tapi jangan tinggalkan aku seperti ini.

Seolah mendengar panggilan hatinya, Renjun perlahan membuka mata. Pandangannya kabur, tapi ia bisa merasakan hangatnya genggaman itu. Bibirnya melengkung tipis.

"Kapten..." suaranya lirih.

Jeno langsung membuka mata, sorotnya penuh kelegaan. Ia mengusap dahi Renjun dengan lembut, seakan takut menyakitinya. "Kau sudah sadar. Apa yang kau rasakan? Masih pusing?"

Renjun mengangguk pelan. Saat matanya menyapu pakaian yang kini berganti menjadi baju tidur, wajahnya sedikit memerah.

"Ah..." Jeno buru-buru menjelaskan, "Aku meminta tenaga medis wanita yang menggantinya. Pakaianmu basah... jadi..."

Renjun menarik selimut sampai ke lehernya, menyilangkan tangan seolah ingin melindungi diri. Tapi matanya tetap menatap Jeno, kali ini lebih lembut.

"Terima kasih..."

Tanpa menunggu lagi, Jeno meraih tubuh kecil itu dalam dekapannya. Pelukan erat, penuh rasa bersalah yang akhirnya pecah. "Maafkan aku, Renjun... aku gagal menjagamu. Maafkan aku..."

Renjun terkejut, namun akhirnya tangannya ikut terangkat, membalas pelukan itu dengan ragu tapi tulus. "Kapten..."

Setelah beberapa saat, Jeno melepaskan dekapannya, lalu segera menyiapkan makanan. Tangannya cekatan membuka kotak, menuangkan bubur ke mangkuk, lalu menyuapkan sendok pertama pada Renjun.

Renjun hanya bisa menatapnya, senyum samar menghiasi wajah pucatnya.

"Kenapa Kapten menjauhiku?" akhirnya ia bertanya, suaranya bergetar pelan.

Jeno terdiam, sendok di tangannya berhenti di udara. Ia menunduk, lalu menghela napas panjang. "Aku hanya ingin... bersikap netral. Tapi sepertinya aku tidak bisa."

[End] CHECKMATEWhere stories live. Discover now