02.

92 13 1
                                        


Ian berdiri di balik tirai, matanya mengikuti gerakan Karina yang turun dari mobil hitam. Ada seorang pria keluar dari sisi kemudi dengan sigap membawa tas Karina. Senyumnya ramah.

Ian mendengus pelan, "Lah itu siapa dah? Ngapain sih deket banget sama mamah gue!" gerutunya kesal.

Tapi rasa kesalnya makin jadi pas dia lihat Sion, kakaknya, keluar dari mobil yang sama. Sion terlihat akrab dan berbincang lama dengan pria itu.

"Apa-apaan sih kakak gue! makin kesel ngeliatnya!"

Ian yang melihat hal itu udah gak tahan, dia buru-buru keluar kamar menghampiri mamanya.

"Ma, itu siapa tadi? Kenapa tas mama dibawain dia segala? Kakak juga bareng dia! mama tuh sebenernya-"

"Ian, dia cuman teman mama. Tadi mama..." belum sempat Karina menjelaskan, Ian berlari ke arah tangga dan membanting pintu kamarnya.

BRAKK...

"Padahal gue cuman khawatir kalo papah liat itu dan saling salah paham, nanti takut hubungan mereka retak." Ian ngedumel sendiri sambil duduk dipojokkan kasur, wajahnya cemberut.

Tok...
Tok...

"Dek ini kakak, buka dulu pintunya."

"Masuk aja."

Pintu terbuka, Sion masuk perlahan. "Dek, jangan marah-marah dulu sama mama. Kalo mau marah, marah sama kakak aja, ya?"

Ian mengernyit, wajahnya penuh heran sekaligus jengkel. "Ngapain kakak ngomong gitu? Aku cuman pengen mamah sama papah tuh akur! Kenapa gak ada yang bisa ngertiin pikiran aku?"

Sion menghela napas, maju duduk di tepi kasur. "Ian, bukan berarti mamah salah kalo tadi di bantuin orang. Itu cuman teman mama, kebetulan ketemu. Kakak juga kenal, makanya bareng. Jangan langsung mikir yang aneh-aneh."

"Tapi kan," Ian potong cepat, suaranya meninggi. "Kalo papah liat gimana? Kalo papah salah paham? Terus mereka jadi berantem? Kakak gak mikir sejauh itu, kan?"

Sion terdiam, berusaha memikirkan kata-kata yang tepat. Tapi lidahnya terasa kelu duluan saat melihat adik perempuannya menatap nyalang.

"Kakak keluar dari kamar aku!"

Setelah mengingat pertengkaran kemarin, Ian mulai merasa tidak enak pada kakaknya, itu pertama kalinya dia menyentak Sion

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Setelah mengingat pertengkaran kemarin, Ian mulai merasa tidak enak pada kakaknya, itu pertama kalinya dia menyentak Sion.

Ian berdiri di depan gerbang, menunggu jemputan yang biasanya datang. Namun, baru ia ingat kalau hari ini jemputan tidak bisa datang.

Jadilah ia menunggu sendirian. Ia sempat ingin menelepon Mamanya, tetapi pasti sibuk dan tidak akan diangkat. Menelepon Sion juga terasa mustahil karena gengsi masih menahannya. Akhirnya ia mencoba menelepon Papanya

"Halo?" Begitu tersambung, yang terdengar di telinga Ian bukan suara ayahnya, melainkan suara asing seorang wanita.

Ian terperanjat. "Papa? Papa mana? Kenapa bukan Papa yang angkat?" suaranya terdengar cemas dan terburu-buru.

Perempuan itu menjawab tenang, "Pak Jeno sedang keluar sebentar. Beliau meminta saya untuk memegang ponselnya."

Sekejap, senyum getir muncul di wajah Ian. Ia mengenali suara itu—suara Lia, wanita yang beberapa kali ia lihat bersama Papanya.

Ian memutuskan panggilan sepihak.

Disaat itu, Keonho datang dengan wajah ceria, sengaja mengusik Ian yang sejak tadi termenung. Biasanya Ian akan langsung membalas setiap usilannya.

"Woi Ian sopiyan!" ujar Keonho jahil sambil menarik tas Ian.

Namun kali ini berbeda. Begitu diusik, Ian justru menunduk, bahunya bergetar, tangisnya pecah begitu saja.

"Heh, lu kenapa? Kok malah nangis?" Keonho terkejut, buru-buru menepuk bahu Ian.

Air mata Ian semakin deras. "Kenapa sih gak ada yang pikirin perasaan gue!" serunya disela isak, suaranya pecah.

Keonho panik. "Udah, udah, jangan nangis gitu." Ia mencoba menarik tangan Ian yang menutupi wajahnya, tapi tangisannya justru makin menjadi.

"Eh udah-udah. Ingusnya kemana-mana tuh." ucap Keonho lagi, meski terdengar gugup.

"Lo jahat!"

"Kok jadi gua?"

Akhirnya, tanpa banyak pikir, Keonho meraih tubuh Ian ke dalam pelukannya. Ian sempat meronta, tapi kemudian pasrah. Menangis semakin keras di dada Keonho.

Tangisan Ian semakin keras, sesekali diselingi dengan suara sesenggukan. Hidungnya memerah, dan tanpa bisa ia kendalikan, ia menarik napas panjang melalui hidungnya hingga terdengar suara lirih yang berisik

Keonho sempat terdiam, merasa canggung menyadari keadaan itu. Pelukannya ia kendurkan perlahan.

Lalu dengan raut kikuk, ia mengusap bagian bawah hidung Ian menggunakan ujung lengan bajunya sendiri. "Udah ya, lu jelek kalo nangis. Biar gua anter pulang."

Ian mengangguk pelan. Keonho bersiap melangkah pergi, tetapi ujung bajunya tertarik pelan dari belakang. Ian menunduk, suaranya lirih,
"Tapi... mau me time di taman. Anter ke situ gapapa?"

Keonho menoleh sebentar, menghela napas, lalu mengangguk.

"Iya. Gua anter."

Mereka pun berjalan beriringan menuju parkiran. Sepanjang jalan, Ian hanya diam sambil menunduk.

Perjalanan terasa sunyi. Hanya suara langkah kaki dan deru kendaraan yang sesekali lewat menemani. Ketika akhirnya tiba di depan taman kota, Ian menunjuk pelan.

"Turunin di sini aja, Ken."

Keonho noleh sebentar. "Iya. Kalo butuh apa-apa bilang aja ya?"

Ian nyengir tipis. "Gue butuh iPhone 17, Ken."

Keonho langsung menyentil jidatnya. "Ngelunjak lu!"

"Lah katanya tadi kalo butuh apa-apa bilang sama lo? Berarti kalo gue butuh duit, butuh makan, bilang ke lo dong?"

"Cuma basa-basi elah." Keonho berdecak kesal.

Ian menghela napas, lalu mendorong Keonho pelan. "Udah, sana pergi. Gue pengen sendiri."

Keonho menatap Ian sejenak, ragu, tapi akhirnya berbalik dan melangkah pergi. Dari kejauhan, ia sempat menoleh sekali lagi. Wajahnya terlihat cemas. Dengan gerakan cepat, ia mengeluarkan ponsel dari saku, lalu menelepon Jiwoo.

"Ji, Ian lagi di taman sendirian. Tolong chat dia nanti, ya. Gua takut dia gak pulang."




























Ian duduk termenung di bangku taman. Pikirannya bercampur aduk, tak menentu. Pandangannya kemudian tertuju pada danau kecil yang memantulkan cahaya sore. Perlahan ia bangkit, melangkah mendekat.

Saat menatap permukaan air, ia melihat pantulan wajahnya sendiri—kusut, mata sembab, dan bibir belepotan lip tint yang sudah luntur.

"Anjir... jelek banget," gumamnya pelan, malu sendiri. Ia berjongkok, bermaksud menyiduk air untuk membersihkan wajah.

Namun begitu tangannya menyentuh permukaan air, Ian merasakan tarikan kuat.
Byuuut!

Dalam sekejap, tubuhnya seperti tersedot masuk. Pandangannya gelap, kepala terasa berat. Ketika membuka mata kembali, ia terhuyung, napasnya terengah. Rasa pusing masih menghantui, dan saat matanya menelusuri sekitar, Ian tersentak—suasana di sekitar danau tampak berbeda dari sebelumnya.

TO BE CONTINUED.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 22 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

When Time Didn't WaitWhere stories live. Discover now