Seolah satu-satunya cara untuk tetap bersamanya adalah dengan mengingatnya lebih banyak—tanpa pernah meminta untuk tinggal lebih lama.
—
Sesekali, Seulgi akan sibuk di dapur—meracik adonan, menuang rasa, dan menunggu sesuatu mengembang dengan harap.
Itu bukan rahasia.
Bahkan ketika adonannya bantat atau glasurnya meleleh tak sesuai rencana, ia tetap menyebutnya uji coba resep baru.
“Ini seni,” katanya suatu waktu.
“Dan seni itu… butuh rasa percaya diri meski hasilnya belum tentu layak jual.”
Ia sering memintaku mencicipi kue buatannya. Kadang dibawa dalam kotak kecil, kadang langsung disodorkan ke piring di depanku—hangat, belum sempat dingin, dengan mata berbinar menunggu reaksi.
Dan aku selalu mencoba.
Bukan karena aku lapar.
Bukan pula karena aku pecinta manis.
Tapi karena aku tahu betapa seriusnya ia berdiri lama di dapur kecil itu, menyempurnakan sesuatu yang tidak pasti—demi satu komentar dariku.
"Kalau kamu tidak suka, jangan pura-pura bilang enak ya," katanya.
Namun aku tetap memujinya.
Bukan karena kue itu sempurna. Tapi karena aku suka melihat bagaimana wajahnya bersinar setiap kali mendengar kalimat:
"Ini enak, Seulgi."
Ada semacam bahagia kecil di sana. Yang muncul dari keberhasilannya, atau mungkin… dari perhatianku.
Dan aku tahu, kue itu bukan sekadar kue.
Itu caranya menjaga sesuatu tetap manis di antara kami.
Meski kami tak pernah bicara soal perasaan,
di antara gula yang terlalu banyak atau tekstur yang masih keras—tersimpan hal-hal yang tidak pernah kami ungkapkan dengan kata.
Dan setiap kali aku habiskan satu potong kue darinya,
aku merasa seperti ikut menyimpan satu bagian kecil dari dirinya yang diam-diam ia berikan hanya padaku.
—
Perasaanku tidak pernah aku sampaikan.
Kupikir, ia tidak pernah melihatku dengan cara yang sama. Maka aku memilih diam—menjaga batasan antara kebersamaan dan harapan, karena kupikir... aku hanya satu-satunya yang merasa.
Sampai satu waktu, tubuhku menyerah. Aku jatuh sakit, menghilang dari rutinitas, dari percakapan, dari dunia yang biasanya mempertemukan kami.
Dan ketika aku kembali—membayangkan semuanya akan seperti biasa—aku melihat Seulgi menatapku, bukan dengan senyum hangat seperti biasanya, tapi dengan mata yang penuh amarah yang samar-samar kutangkap sebagai bentuk... rindu.
“Aku mencarimu ke mana-mana,” katanya, suaranya rendah namun tidak gemetar. “Aku bahkan menelepon teman-temanmu. Menunggu kabar, apa pun.”
Ia menunduk sebentar, menahan sesuatu yang jelas tidak ingin ia sembunyikan lagi.
“Aku menulis pesan—banyak. Tapi setiap kali hendak kukirim, aku hapus. Karena aku takut. Takut terlihat terlalu khawatir, terlalu peduli. Takut kamu akan merasa tidak nyaman.”
Aku tak sanggup menjawab. Sementara ia melanjutkan.
“Dan saat akhirnya kamu muncul… kamu bicara soal orang lain. Kamu tersenyum, memuji masakan orang lain. Padahal aku... aku sudah menyiapkan resep baru hari itu. Untuk kamu. Hanya untuk kamu.”
Sejenak ia berhenti. Lalu menatapku, dalam dan jujur.
“Aku tidak marah karena kamu sakit. Aku marah karena kamu tak memberi aku ruang untuk merawatmu.”
“Aku tidak marah karena kamu menghilang. Aku marah karena aku merasa kehilangan sesuatu yang bahkan belum sempat aku miliki.”
Napasnya berat. Terdengar seperti seseorang yang akhirnya berhenti menahan semua yang selama ini dijaga rapat.
“Kamu pikir hanya kamu yang berusaha tenang dengan semua ini? Aku juga. Tapi tahu tidak? Aku lelah menjadi yang mengerti, menjadi yang menunggu kamu sadar.”
“Aku menyukaimu. Bukan baru-baru ini. Sudah lama. Dan aku tidak tahu apakah kamu butuh waktu atau hanya menutup mata.”
Aku menatapnya. Jantungku berdegup pelan, tapi keras. Kata-kata itu menusuk, tapi hangat. Menyakitkan, tapi indah.
“Kupikir perasaan ini hanya milikku sendiri.”
Seulgi menggeleng. Lalu melangkah lebih dekat.
“Kamu tidak pernah sendirian,” katanya.
“Aku hanya terlalu takut menjadi orang pertama yang berkata, ‘Aku jatuh cinta padamu.’”
Dan malam itu, tanpa perayaan, tanpa janji, tanpa pertanyaan besar... kami akhirnya berdiri di titik yang sama.
—
Ia menatapku, senyumnya tenang.
“Aku takut,” katanya lirih.
“Aku takut kamu pergi, dan aku tidak sempat mengatakannya... bahwa semua ini bukan sekadar perhatian biasa. Bahwa aku mencintaimu, dan selama ini aku hanya menunggu kamu menyadarinya.”
Aku tersenyum, menggenggam tangannya.
“Jangan pergi lagi,” ia menambahkan. “Biar aku belajar menjaga yang tak sempat kujaga sebelumnya.”
Dan untuk pertama kalinya, aku mengangguk—bukan karena mengerti, tapi karena hati ini juga bicara hal yang sama.
Kini, tak ada yang perlu dikatakan terlalu keras.
Tak ada pengumuman, tak ada nama baru untuk hubungan ini.
Hanya dua orang yang akhirnya memilih untuk tidak lagi menyangkal apa yang sudah terlalu lama tinggal di dada.
Suara yang dulu hanya kudengar lewat malam, kini ada di sisiku.
Menatapku.
Memanggilku.
Dan aku tidak ingin ke mana-mana lagi.
---
END
—
Untuk kamu yang request cerita—aku lagi prosesin satu per satu, ya!
Thank you udah sabar & terus support.
Next up?
YOU ARE READING
Half of Everything - Jaeyi Seulgi
FanfictionCerita pendek tentang Jaeyi dan Seulgi, dalam berbagai versi semesta. Ini project ketigaku setelah Until You Notice dan Beside the Office Desk, tapi beda-Half of Everything cuma kumpulan cerita pendek. Semoga suka ya.
All This Time, Only You
Start from the beginning
